Demokrasi Anti Koreksi?


Maya. A/ Gresik


Ujaran kebencian di media sosial yang berujung ke kasus hukum tengah mendapat sorotan masyarakat luas. Kasus ini kuat hubungannya dengan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Termutakhir, tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Mereka mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.

Tidak tanggung-tanggung, para anggota ini dicopot dari jabatannya masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari. Tak hanya itu, TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait konten negatif yang diunggahnya. (Kompas.com 12/10)

Kejadian semacam ini tentu bukan kali pertama. Berkedok pelanggaran terhadap UU ITE, penangkapan demi penangkapan seringkali menimpa mereka yang kritis terhadap jalannya pemerintahan. Tak heran jika kemudian banyak kalangan yang lebih memilih zona aman dengan bungkam daripada terjebak kasus serupa. Terlebih lagi mereka yang terikat kode etik karena statusnya sebagai ASN.

Ironisnya, sikap reaktif tersebut tidak sekalipun menyenggol para buzzer pro pemerintah, sekalipun konten yang diunggah memenuhi syarat ujaran kebencian.

Ambiguitas sikap semacam ini semakin mempertontonkan betapa tidak balance dan profesionalnya rezim demokrasi dalam menerapkan hukum yang digali dan di ACC nya sendiri. Jargon kebebasan yang dianggap sebagai salah satu nilai luhur demokrasi yang wajib dijunjung pun akhirnya terpatahkan. Karena fakta di lapangan,  rezim demokrasi  justru menutup rapat akses kritik yang berpotensi mengganggu panggung kekuasaan.

Jika dirunut lebih lanjut, fakta semunya kebebasan yang dijanjikan demokrasi akan mengarah pada tindakan tirani minoritas atas mayoritas. Dimana wujud real dari minoritas tersebut adalah kolaborasi antara para penguasa dan kapital yang menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk melanggengkan kepentingan individu / kelompok. Sementara si 'mayoritas' adalah rakyat keseluruhan yang eksistensinya hanya dibutuhkan di bilik suara.

Bertolak belakang dengan sikap diktator demokrasi dalam menghadapi kritik, sistem Islam justru membuka pintu selebar-lebarnya bagi rakyat, -siapapun dia- untuk menyampaikan muhasabah/kritik. Justru, adanya muhasabah dibutuhkan sebagai upaya kontrol atas jalannya pemerintahan guna mencegah terjadinya pelanggaran syariat.

Bahkan di awal pemerintahan Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar As-sidiq, untuk menumbuhkan keberanian rakyat mengoreksi aparat dan para penguasa, Khalifah Umar bin al-Khaththab dengan tegas menyatakan: “Jika kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam maka luruskan aku walaupun dengan pedang.”

Ucapan tersebut bukan sekedar bualan untuk menyenangkan dan memikat hati rakyat. Tapi terealisir dalam tindakan nyata beliau yang tidak sedikitpun merasa malu ketika dikritik di depan umum oleh seorang muslimah. Beliau justru mengakui kekhilafannya dalam menetapkan kebijakan tentang pembatasan mahar yang tidak boleh melebihi 12 uqiyah (setara 50 dirham).

Secuil kisah tersebut harusnya menyadarkan bahwa sinergitas antara rakyat dan penguasa adalah hal yang harus dijaga. Penguasa tidak boleh menaruh kecurigaan dengan menganggap bahwa kritik adalah alat penjegal dan wujud kebencian. Pun sama halnya dengan rakyat yang harus meletakkan aqidah dan syariat Islam sebagai dasar untuk melakukan koreksi.


Wallahu'alam Bishowab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak