Oleh : Ratna Kurniawati
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di sejumlah wilayah Sumatera Selatan sampai saat ini masih terus terjadi. Akibatnya, Palembang terpapar kabut asap ekstrem, sehingga membuat jarak pandang berkurang drastis pada, Senin (14/10/2019). Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel menilai penanganan karhutla tidak maksimal. "Kebakaran besar seperti ini, pertama itu terkait tata kelola dan berasal dari lahan gambut. Ada 900 ribu hektare lahan dan 600 ribu itu dikelola nggak dengan baik," ucap Direktur Walhi Sumsel, Hairul Sobri ketika dimintai konfirmasi, Senin (14/10/2019).
Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Meteorologi Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang Bambang Beny Setiaji mengatakan, angin permukaan umumnya dari arah Timur-Tenggara dengan kecepatan 5-20 knot (9-37kilometer/per jam), mengakibatkan potensi masuknya asap akibat kebakaran hutan dan lahan ke wilayah kota Palembang.
Bahkan, kabut asap ini yang terparah sepanjang tahun 2019. Warga Palembang, Sumatera Selatan kembali mengeluhkan tentang kabut asap kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang pekat hingga mengganggu pernafasan serta jarak pandang. Beberapa warga menganggap kondisi hari ini, Senin (14/10) adalah yang terparah dan sangat mengganggu. Pantauan dari detikcom, kabut asap pekat sudah menyelimuti Palembang malam hari. Bahkan pagi ini, kabut asap kian pekat dan jarak pandang tidak lebih dari 50 meter. Pekatnya kabut asap terlihat saat mata memandang dari bundaran air mancur ke arah stasiun dan Jembatan Ampera. Di mana kedua icon Kota Pempek itu kini tidak lagi terlihat.
Sementara di perairan sungai Musi yang biasa ramai perahu lalu lalang, kini hanya ada satu atau dua yang melintas. Salah satu alasan sepinya perahu karena asap kini cukup pekat. Kabut asapnya parah sekali," kata seorang juru kemudi kapal, Mariana, saat ditemui di detikcom Jembatan Ampera, Senin (14/10/2019). kabut asap pekat juga menjadi alasan para juru kemudi tidak melintasi sungai Musi. Mereka khawatir karena mata tak dapat melihat dari jarak dekat.
Selain itu, sumber dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mencatat, beberapa titik panas di wilayah sebelah tenggara kota Palembang, memiliki tingkat kepercayaan di atas 80 persen. Hal itu berkontribusi masuknya asap ke wilayah kota Palembang dari Banyuasin, Pampangan, Tulung Selapan, Pedamaran, Pemulutan, Cengal, Pematang Panggang dan Mesuji. Total titik panas dengan tingkat kepercayaan di atas 80 persen untuk wilayah Sumsel, sebanyak 260 titik. Titik panas terbanyak berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dengan jumlah 139 titik panas dan Kabupaten Banyuasin sebanyak 67 titik panas.
Kenapa sampai sekarang masih terus terjadi?
Itu karena pemerintah tidak bisa mengatasi, baik pemerintah pusat maupun daerah. Pemerintah seharusnya buka data, jadi untuk data kebakaran buka saja, untuk apa ditutup-tutupi," katanya. "Jangan cuma ada segel-segel saja tapi nggak ada tindakan akhirnya. Lihat apa yang udah ditegakkan selama ini, hilang asap, hilang juga itu penegakan hukum," kata Sobri.
Sobri pun menilai penegakan hukum di lahan konsesi selama ini hanya bentuk gaya-gayaan. Tidak ada kasus yang dituntaskan setelah kabut asap di Sumatera Selatan selesai. "Penegak hukum kita tidak serius, hanya gaya-gayaan saja. Penegakan hukumnya ini tajam ke rakyat kecil, tapi ke korporasi tidak berani. Maka yang ditangkap juga jangan yang petani kecil," katanya.
Islam mengatasi karhutla
Inilah jika pengelolaan lahan gambut terus dikelola berlandaskan sekulerisme (hak konsensi). Dibarengi dengan ekonomi kapitalis yang berorientasi materi. Alhasil, lahan hutan dikelola asing/swasta, yang keuntungannya bukan lagi demi kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan asing dan swasta. Jadi tidak heran jika lahan hutan tidak pernah dikelola oleh negara sebagaimana mestinya.
Pembakaran hutan adalah salah satu cara termudah untuk membuka lahan baru demi kepentingan pribadi. Karena dari banyak kasus yang ada pelaku pembakaran hutan selalu berkaitan dengan industri.
Lain halnya jika dikelola dengan sistem Islam. Hutan tidak akan dikelola oleh segelintir orang maupun kelompok yang haus materi. Tidak pula problematika karhutla dituntaskan hanya dengan janji manis dan omong kosong. Namun praktik nyata yang akan dijalankan.
Khilafah akan mengelola hutan dan lahan gambut didasarkan pada paradigma yang shahih dan bijak. Semata-mata demi kesejahteraan rakyat dan diimbangi dengan pelestariannya. Maka dari itu hanya sistem Islam satu-satunya yang dapat menuntaskan problematika hutan dan lahan. Berlandaskan syariah yang membawa maslahat, bagi manusia dan juga alam. Insya Allah. Wallahu’alam.