Oleh : Anis Zakiyatul M
Aliansi Penulis Rindu Islam
Pasangan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 setelah dilantik pada Minggu (20/10/2019) lalu, di gedung DPR/MPR RI. Jokowi-Ma'ruf merupakan pemenang dalam pemilihan presiden 2019 lalu, mereka mengalahkan pasangan Prabowo Sandi dengan selisih mencapai 11 persen atau 16.957.123 suara.
Seusai sumpah pelantikan, Presiden Jokowi membacakan pidato pertamanya untuk masa jabatan yang kedua ini. Dalam pidatonya, Jokowi menyebutkan lima hal yang menjadi program kerja pemerintahannya hingga 2024 mendatang. Kelima hal tersebut adalah perbaikan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, perbaikan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi.
Direktur eksekutif PSHK, Gita Putri Damayana menilai kelima program pemerintahan Jokowi ke depan lebih banyak memfasilitasi kepentingan investor. Gita mempertanyakan sejumlah persoalan hukum yang menjadi masalah nyata di masyarakat yang justru tak diangkat dalam pidato Presiden Jokowi. (BBC Indonesia 21/10/2019)
Selain persoalan hukum, masih banyak persoalan yang menjadi PR bagi Jokowi. Misalnya, yang pertama adalah soal penuntasan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), masih menjadi problematika yang tak kunjung usai hingga kini. Greenpeace Indonesia mencatat 3,4 juta hektare lahan terbakar selama 2015-2018. Ditambah catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang menyebut 328.724 hutan dan lahan terbakar sepanjang Januari-Agustus 2019. Angka itu tidak statis dan masih bisa bertambah.
Yang kedua, tentang impor pangan mulai dari beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, daging dan masih ada 23 bahan lain yang akan diimpor oleh Indonesia. Jumlah impor yang terus melonjak tak ada beda dari tahun-tahun sebelumnya. Petani semakin dibuat sengsara pasalnya pemerintah impor disaat panen mereka melimpah ruah.
Ditambah lagi adanya penyusutan lahan sawah, yang banyak di alih fungsikan untuk pertambangan, perumahan, pertokoan, pabrik, arena olahraga bahkan infrastruktur seperti yang terjadi di kerawang. Dimana lahannya digunakan untuk membangun jalan kereta cepat yg menghubungkan Jakarta dan Bandung.
Yang ketiga, naiknya iuran BPJS. Sejak tanggal 1 Januari tahun 2014 PT. Askes Indonesia berubah menjadi BPJS Kesehatan. Hampir seluruh rakyat negeri ini dihimbau untuk mengikuti program BPJS, dengan membayar iuran setiap bulanya sesuai kelas yang pilih. Pilihan kelas dalam program BPJS menentukan pelayanan kesehatan yang diberikan.
Namun setelah 5 tahun berjalan, program BPJS mengalami defisit yang cukup besar. Hingga membuat pemerintahan mengambil langkah untuk menaikan iuran BPJS agar defisit tersebut tertutupi. Naiknya iuran BPJS tersebut hanya akan menambah beban hidup masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, pemerintah justru menaikan gaji direksi dan pengawas BPJS. Seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 112/PMK.02/2019 yang merupakan revisi dari PMK Nomor 34/PMK.02/2015 tentang Manfaat Tambahan Lainnya dan Insentif Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS.
Yang keempat kerusuhan Papua. Belum hilang dari ingatan kita bahwa pada bulan September 2019 terjadi peristiwa kerusuhan. Massa membakar gedung DPRD Papua Barat. Akibat pembakaran gedung DPRD Papua Barat, sejumlah ruas jalan ditutup. Disinyalir peristiwa tersebut berawal dari aksi protes warga atas dugaan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di sejumlah daerah di Jawa Timur. (kompas.com).
Meski kini tak ada lagi unjuk rasa, Papua masih memanas. Hal itu dibuktikan dengan adanya peristiwa teror yang kembali dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kepada masyarakat sipil di Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Sebanyak tiga orang tukang ojek tewas ditembak. Peristiwa itu terjadi pada Jumat (25/10) lalu, Ketiga korban mengalami luka tembak di kepala dan luka sayat akibat senjata tajam di sekujur tubuh. Permasalahan Papua jelas tak boleh dibiarkan terus berlarut. Sebab melihat kondisi yang kian mengerikan, jelas penyelesaian mesti segera disuguhkan demi menghilangkan amarah mereka.
Yang kelima, adalah masalah korupsi. Korupsi di negeri +62 ini memang tidak ada habisnya. Mulai dari anggota DPR, DPRD, pejabat kementerian, pejabat BUMN, gubernur, bupati hingga petinggi partai politik. Yang terbaru adalah kasus Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari. Ia diperiksa sebagai tersangka dalam kasus suap terkait proyek dan jabatan pada Pemerintah Kota Medan tahun 2019.
Korupsi seolah telah berurat berakar di masyarakat Indonesia. Alih-alih melawan tindakan korupsi pemerintah dan DPR justru kompak dan sistematis melemahkan KPK, terbukti dengan adanya revisi undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tiba-tiba saja disahkan pembahasannya dalam rapat paripurna Kamis (5/9/2019).
Belom lagi soal pemilihan menteri di Kabinet Indonesia Maju yang mengejutkan banyak pihak. Pasalnya, mereka yang terpilih tak terduga. Banyak menteri tak sesuai bidang dan berlatar pengusaha, hal ini dianggap lebih berisiko. Sebab, menteri yang tak sesuai bidang keahliannya justru lebih memakan banyak waktu untuk belajar, beradaptasi, dan kemampuan leadership yang berbasis keahlian. Tak heran jika masyarakat berfikir bahwa pemilihan menteri dan wakil menteri tak lebih dari sekadar berbagi kepentingan dan kue kekuasaan sebagai konsekuensi transaksi politik atas pemenangan pilpres 2019. Tak ada politik gratisan. Semua harus berbalas imbalan.
Segala permasalahan yang ada ini, tak lain karena di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini memilih untuk menggunakan kapitalisme sebagai aturannya dan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Meskipun dikatakan bahwa prinsip demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun kenyataannya kekuasaan diserahkan kepada segelintir kelompok saja (sebagai penguasa dan wakil rakyat) yang nyatanya terdiri dari para pemilik modal. Merekalah sang pembuat kebijakan yang seringkali tak mendukung keinginan rakyat bahkan kebijakannya sering merugikan rakyat.
Menyelesaikan berbagai persoalan di atas haruslah dimulai dari akarnya, ibarat bangunan yang sudah mau roboh maka kita harus mengganti pondasinya dengan benar. Islam adalah sebuah ideologi yang meyakini bahwa Allah adalah Al Khaliq sekaligus Al mudabbir. Maka di dalam sistem pemerintahan Islam segala aturan yang dibuat pasti bersumber dari Al Qur'an dan Sunnah. Begitu juga dengan pemimpin di dalam islam, ia akan senantiasa menjadikan Al Qur'an dan Sunnah sebagai acuan, serta menggunakan akal untuk memahami masalah dan memikirkan penyelesainnya sesuai dengan syariat islam. Oleh sebab itu tak heran jika Islam mampu menjamin keadilan, keamanan dan kesejahteraan rakyatnya karena aturan Islam sangatlah sempurna, baik habluminnallah (hubungan dengan Allah), habluminnafsi (dengan diri sendiri), dan habluminannas (dengan sesama manusia).