Oleh: Chezo
(Aktivis BMI Community Cirebon)
Presiden Jokowi dan Ketum Gerindra Prabowo Subianto baru saja menggelar pertemuan tertutup di Istana Merdeka. Usai pertemuan, Prabowo menjelaskan soal substansi pertemuan yang dibahas keduanya.
"Kita bicara banyak, masalah ekonomi, masalah kondisi politik, keamanan, pertahanan. Kita bicara ibu kota di mana saya mendukung gagasan ibu kota," ujar Prabowo di Istana Merdeka, Jumat (11/10). (m.kumparan.com)
Seperti yang telah kita ketahui bersama, beberapa bulan belakangan ini hubungan keduanya terlihat begitu mesra setelah sebelumnya selama ini publik dibuat berestimasi bahwa mereka bermusuhan. Padahal, dalam kontestasi politik tidak ada yang namanya musuh dan teman abadi karena yang ada hanyalah kepentingan. Sebuah adigium yang sering kita dengarkan dalam perpolitikan saat ini.
Bahkan, politik itu bagaikan sinetron yang memiliki narasi cerita dan drama tergantung peran apa yang akan dilakukan. Untung rugi dalam politik menjadi ukuran, kepentingan menjadi nomor satu, dan kesetiaan ditempatkan pada nomor dua. Maka tidak heran, bila dulu merasa menjadi musuh karena keinginan untuk merebut kekuasaan, tapi begitu peluang memegang kekuasaan itu hilang, langkah pun merapat untuk menjadikan teman. Banyak dari para tokoh politik terkemuka yang dulunya berjuang bersama dalam satu koalisi, kini bercerai berai karena kepentingan yang berbeda. Sebaliknya, yang dulunya menjadi oposisi, kini bergabung dalam koalisi dan mengangkat satu visi.
Padahal sejatinya, sebagai seorang muslim maka wajib menyandarkan segala persepsi dan pemahaman dengan dasar Islam. Ajaran Islam yang harus dipahami masyarakat sesungguhnya tidak hanya berkutat pada ibadah dan sedekah saja. Karena ajaran Islam itu mendasar dan menyeluruh mulai akar permasalahan sampai mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Islam telah mengatur mulai dari ibadah, muamalah, ekonomi, sosial budaya hingga politik dan pemerintahan.
Politik Islam sangat kontras sekali dengan politik jaman sekarang yang penuh dengan kebusukan, dan bersandar pada uang, kekayaan, kekuasaan semata dan kepentingan pribadi dan golongan. Politik dalam Islam dikenal dengan istilah siyasah. Menurut terminologi siyasah memiliki arti mengatur, memperbaiki dan mendidik. Sedangkan secara etimologi, siyasah memiliki makna yang berkaitan dengan negara dan kekuasaan. Secara menyeluruh politik dalam islam adalah riayah suunil ummah (mengurusi urusan umat).
الامام ظل الله في الارض
“Pemimpin adalah naungan Allah di muka bumi.” (HR. Ahmad dan Ath Thabarani, Al Haitsami mengatakan para perawi Ahmad adalah tsiqat. Lihat Majma’ Az Zawaid, 5/215)
Hadits ini menunjukkan posisi penting kepemimpinan dalam pandangan Islam. Hal ini dikarenakan kekuasaan dalam Islam digunakan untuk melaksanakan hukum syara sebagai bentuk ketaatannya kepada Allah Azza Wajalla. Keunggulan sistem politik Islam bila dibandingkan dengan sistem politik manapun bisa dilihat dari kekuatannya dalam membangun keistiqomahan dan konsistensi standar pengaturan, sehingga keadilan dan ketentraman adalah sesuatu yang mudah didapat oleh rakyat jelata sekalipun. Pemenuhan kebutuhan hidup itu adalah pemenuhan yang sesuai dengan fitrah manusia sekaligus menentramkan, tidak menimbulkan kekhawatiran dan keragu-raguan. Di samping itu, jaminan bagi pemenuhan yang adil dan menentramkan ini juga diikuti dengan penegakan hukum oleh negara yang mengikat tidak hanya rakyat tetapi juga penguasanya. Tentu, sistem politik yang dibangun di atas landasan seperti ini merupakan sistem politik yang unggul. Hanya dengan politik Islam lah, umat manusia bisa menikmati kebahagiaan yang hakiki.
Sayangnya politik Islam ini tidaklah cocok diterapkan dalam alam demokrasi yang berdiri diatas pilar kebebasan seorang manusia dan bukan ketundukannya pada Sang Pencipta. Sistem politik Islam ini hanyalah bisa diterapkan dalam naungan Khilafah semata. Maka sudah selayaknya kita berusaha untuk menegakkan kembali Khilafah yang akan menerapkan politik Islam di muka bumi.