BPJS : Tanggung Jawab Pemerintah atau Rakyat?



Oleh :  Sri Ayu Susanti

Amburadul. Itulah kata yang layak disematkan untuk kondisi  Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) saat ini. BPJS hadir tak seindah harapan masyarakat. Kemudahan pelayanan kesehatan yang layak untuk masyarakat ternyata hanya gigit jari.

Pelayanan kesahatan semenjak hadirnya BPJS kesehatan justru dinilai semakin memburuk dan memprihatinkan. Dari pelayanan kesehatan yang lamban, satu persatu jaminan yang diberikan dicabut, bertambahnya sejumlah jenis penyakit yang tidak lagi ditanggung BPJS hingga persoalan tunggakan klaim yang belum juga tuntas dibayar oleh BPJS disejumlah rumah sakit. Ditambah lagi, kini BPJS memutus kerjasama sejumlah rumah sakit di berbagai daerah dengan dalih tidak memenuhi syarat akreditasi (Tirto.id, 5/01/2019). Dan pembaharuan sertifikasi akreditasi ini dimulai per 1 januari 2019, disaat tunggakan-tunggakan kepada rumah sakit belum tuntas tertangani.

Siapa yang jadi korban? Lagi-lagi rakyat yang jadi korban, layanan kesehatan untuk pasien BPJS terganggu sampai akhirnya tertolak. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan komite III DPD RI Desember 2018 lalu, Sekjen Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu, Patrianef menyatakan perlindungan sosial kesehatan di Indonesia ambigu karena mencampuradukkan sistem jaminan sosial dan asuransi. Akibatnya, program jaminan kesehatan tidak memuaskan.

Dari sini masyarakat bisa melihat, sejatinya jaminan kesehatan yang dimaksud bukanlah negara yang menjamin penuh pelayanan kesehatan, melainkan rakyatlah yang dipaksa menjamin kesehatan mereka sendiri dengan membayar sejumlah iuran wajib BPJS. "Harusnya konsep perlindungan sosial kesehatan di Indonesia itu sepenuhnya tanggung jawab pemerintah. Jadi rakyat miskin kalau mau berobat sepenuhnya ditanggung oleh negara. Akibat konsep pelindungan sosial yang menggabungkan pola jaminan sosial dan asuransi, pengelolaan BPJS Kesehatan menjadi kacau balau. Buat apa BPJS Kesehatan dipertahankan kalau keberadaannya justru mengorbankan banyak pihak," Patrianef menjelaskan. (Indopos.co.id, 5/12/2018). 

Bertambah saat ini banyaknya wacana sanksi yang akan diberikan untuk para penunggak BPJS, mulai dari sulitnya berbagai pengurusan surat penting (IMB, paspor, SIM, STNK, Sertifikat Tanah dst) diperparah lagi dengan dikerahkannya penagih mulai dari kalangan relawan JKN hingga jumlahnya mencapai 3.288 orang. Rakyat diburu ibarat mangsa oleh debt kolektor seperti orang yang punya hutang kepada rentenir, na'udzubillah.

Padahal, komitmen pemerintah menjalankan program JKN juga masih rendah. Hal tersebut dilihat dari minimnya APBN yang dialokasikan untuk bidang kesehatan hanya sekitar lima persen. Padahal, idealnya alokasi APBN untuk bidang kesehatan sebesar 10% persen. Kenapa hanya rakyat yang dikejar? 

Dalam sistem kapitalis, negara memang hanya sebatas regulator dan fasilitator. Sehingga meminimalis peran negara dalam hal riayah (kepengurusan) urusan umat. Ruh inilah yang hadir dalam konsep jaminan sosial kesehatan di Indonesia. Maka dari sinilah sumber masalah itu muncul. Oleh karena itu, jaminan sosial kesehatan ala kapitalis ini sudah tak layak untuk dipertahankan. Maka selayaknya umat ini mengambil solusi dari Islam.

Sesungguhnya Islam memandang bahwa pelayanan kesehatan adalah bagian dari pelayanan dasar publik yang harus ditunaikan. Hal ini digambarkan dalam sebuah hadits Nabi, “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapat keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah olah dunia telah menjadi miliknya” (HR. Bukhari)

Sedangkan pelaksanaannya adalah tanggung jawab penuh oleh negara yang tidak bisa digantikan oleh pihak manapun, apakah itu swasta/ korporasi atau bahkan sekelompok masyarakat tertentu. Hal ini ditunjukkan langsung oleh Rasulullah sebagai kepala negara ketika diberi hadiah seorang dokter. Dokter tersebut dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan kaum muslimin. 

Wallahu'alam bi shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak