BPJS Menunggak, Salah Siapa?



Oleh : Sari Indarwati

Sejak bulan Juni hingga Agustus tagihan klaim BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) belum juga dibayarkan kepada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin, hal ini mengganggu kas RS tersebut. Ketika dikonfirmasi kepada Direktur RSUD Ulin Banjarmasin pada tanggal 29 September 2019 “Nilainya cukup besar. Jika hingga Oktober untuk klaim September, tagihan bisa mencapai Rp 100 miliar,” sebut Suci, dikutip dari Radar Banjarmasin (Jawa Pos Group).

Padahal seperti yang kita ketahui jika uang tersebut sangat diperlukan untuk menjalankan operasional rumah sakit. Selain untuk membayar tagihan listrik dan air bersih, yang tak kalah pentingnya adalah untuk membayar tagihan obat-obatan yang sudah digunakan oleh pasien pengguna jasa BPJS. Bahkan pihak rumah sakit mengeluarkan dana sebesar Rp 20-25 miliar perbulan. “Uang tersebut juga untuk membayar makanan pasien. Karna selain obat-obatan pasien juga memerlukan makan ketika mereka berada di RSUD tersebut dan hal ini menambah berat kas RSUD. Karna pada dasarnya tidak mungkin pasien dibiarkan tanpa diberikan pengayoman yang memadai ketika mereka sudah terdaftar sebagai salah satu pengguna jasa BPJS. Bahkan  suci mengkhawatirkan jika sampai pada pertengahan bulan Oktober BPJS tak bisa membayar kewajibannya, maka pihak RSUD tak mampu lagi menyediakan suplai obat-obatan untuk pasien pengguna jasa BPJS.

Sejauh ini pihak RSUD telah berupaya untuk menagih tunggakan BPJS. Bahkan untuk bulan Juni dan Juli sudah jatuh tempo dan berstatus denda. “ tapi alasannya belum ada”. Bahkan lucunya, BPJS sendiri menyarankan agar RSUD Ulin Banjarmasin untuk melakukan pinjaman ke Bank. Hal ini merupakan solusi yang tidak masuk akal, karna seperti yang telah ita ketahui bersama, yang nunggak siapa yang disuruh cari pinjaman siapa?.

Kepala Cabang BPJS Banjarmasin Tutus  Novita Dewi mengungkapkan jika pihak RSUD harus mengambil pilihan untuk melakukan pinjaman kepada Bank agar tidak menghambat kerja RSUD.

Dari keadaan ini, maka timbulah pertanyaan “siapa yang perlu di salahkan dalam hal ini, apakah pihak RSUD ataukah pihak dari BPJS? Bahkan, yang menjadi masalah utama adalah adanya defisit dari pihak BPJS hingga tidak mampu menyetorkan dana yang harusnya sudah dialokasikan untuk RSUD yang telah bekerjasama dengan pihak BPJS.  Kalau dilihat dari fakta dilapangan, adanya defisit BPJS ini dikarenakan banyaknya PBPU/ Peserta mandiri yang mendaftar hanya ketika mereka sakit dan memerlukan layanan kesehatan yang biayanya terbilang mahal, namun setelah sembuh mereka berhenti membayar iuran BPJS, bahkan banyak yang masuk dalam kategori tidak disiplin membayar iuran. Sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia pada tanggal 12/9/2019 berikut kutipan dari Kemenkeu “ Pada akhir tahun anggaran 2018, tingkat keaktifan PBPU/Peserta Mandiri hanya 53,7%. Sejak tahun 2016 sampai dengan 2018, besar trunggakan PBPU/ Peserta mandiri mencapai sekitar Rp. 15 Triliun”.

Setelah melihat keadaan ini maka terjadilah kenaikan iuran untuk semua kelas. Sebagaimana yang dilansir dari M.Liputan6.com pada tanggal 6/9/19 oleh Peneliti Instuitute for Development of Economics Finance Rizal Taufikurrahman menyatakan “ jadi, semuanya lah keroyok, termasuk peran pemda. Nah, saldo defitisnya baru ditutup dengan kenaikan iuran”. Hal membuktikan terjadinya tambal sulam pada kasus defisit BPJS.

Alih-alih mengurangi beban rakyat, BPJS malah menambah beban rakyat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan awal mula didirikannya BPJS yang katanya untuk meringankan beban rakyat tapi faktanya malah menambah beban rakyat. Belum lagi pelayanan yang kurang memadai bagi pengguna BPJS dibandingkan umum.

Bertolak dari hal ini, maka artinya pemerintah telah gagal dalam memberikan pengayoman terhadap masyarakat. Sehingga yang terjadi malah sebaliknya, rakyat semakin terbebani dengan adanya kenaikan tarif oleh BPJS dan juga rakyat tidak mendapat pelayanan yang maksimal dari pihak rumah sakit yang juga menuntut biaya dari BPJS sendiri.

Hal ini juga menjadi bukti buruknya penanganan negara yang mengusung ideolgi kapitalis dalam bidang kesehatan masyarakatnya, dimana negara yang seharusnya menjadi fasilitator utama melayani keluhan masyarakat malah berlepas tangan. Sangat bertolak belakang dengan bagaimana islam seharusnya memandang, dimana layanan kesehatan harus atau wajib dikelola oleh negara tanpa pungutan biaya pada rakyat. Jika negara kekurangan dana dalam penyelenggaraannya, ada mekanisme lain yang sudah diatur sesuai syariat agar bisa menutupi semua biaya tersebut. semisal, memanfaatkan hasil dari sumber daya alam yang ada. Jadinya negara akan terus memastikan bahwa seluruh rakyatnya mendapat layanan kesehatan tanpa kecuali.

Maka disini, solusinya adalah pemerintah kita harusnya menjadi pihak utama yang mengurusi terkait kesehatan masyarakat, bukan malah berlepas tangan dan menyerahkannya pada pihak swasta (baca: BPJS) sehingga tidak ada asas untung rugi dalam ranah kesehatan. Sayangnya, solusi tersebut tidak akan bisa terlaksana jika negara kita masih mengusung ideologi kapitalis yang mengutamakan asas manfaat dan keuntungan. Sehingga kembali pada syariat islam adalah yang penyelesaian dari akar masalah yang ada pada saat ini. Maka, bisa dipastikan defisit yang terjadi tidak akan berulang. Wallahua’lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak