Oleh : Zainab Syanis
(Member WCWH)
Beberapa hari ini pemerintah tengah menyiapkan beberapa macam sanksi bagi penunggak iuran BPJS kesehatan. Terutama bagi mereka yang masuk dalam peserta mandiri dengan angka kolektabilitas mencapai 32 juta orang. Direktur utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan sanksi otomatis layanan publik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kolektabilitas iuran peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah(PBPU). Berikut sanksi dari pemerintah yang akan menjerat siapapun yang akan menunggak iuran BPJS kesehatan, bahwa mereka tidak akan bisa mengakses layanan Izin mendirikan bangunan, paspor, Surat Izin Mengemudi(SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan(STNK) dan Sertifikat tanah. (Tagar.id)
Dikutip dari Tempo.co, demi mengejar tunggakan iuran pesertanya, BPJS Kesehatan mengerahkan 3.200 orang penagih yang disebut kader JKN. Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Ma’ruf mengklaim, per penagih berhasil mengumpulkan tunggakan iuran BPJS kesehatan sampai Rp 5 juta. Menurutnya, para kader juga harus memiliki skill. Mereka juga harus bisa bergaul dengan masyarakat, figurnya mudah diterima. Selain menagih, mereka juga bisa memberikan sosialisasi pentingnya menggunakan BPJS kesehatan.
Persoalan pelayanan kesehatan semakin hari semakin bertambah rumit. Alih alih memudahkan urusan rayat malah menambah beban berat rakyat. Berawal dari ditetapkannya aturan bahwa setiap peserta terdaftar, harus membayar iyuran setiap bulannya. Hingga dibentuknya kader JKN oleh pemerintah untuk menagih uang tunggakan iuran BPJS bagi peserta yang menunggak.
Inilah wujud jaminan kesehatan dalam sistem kapitalisme demokrasi. Kesehatan bukanlah bagian dari kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara. Memang seolah dengan adanya BPJS kesehatan seolah negara telah menjamin dan berkontribusi memudahkan urusan rakyat. Namun faktanya, rakyatlah yang telah menjamin sendiri kesehatannya. BPJS kesehatan hanya bertindak sebagai lembaga asuransi yang memberikan pelayanan sesuai jumlah yang dibayarkan oleh penggunanya.
Lain halnya dengan Islam, Negara menjamin setiap urusan rakyatnya. Begitupun di bidang kesehatan yang merupakan bagian dari tanggung jawab Negara. Negara wajib memberikan pelayanan kesehatan serta menjamin kesehatan setiap warga negaranya sebaik mungkin secara percuma tanpa memandang ia adalah warga miskin ataupun bukan.
Seperti yang tertera dalam hadist yang menjelaskan tanggung jawab seorang Imam atau pemimpin untuk mengatur segala urusan rakyat. Rasulullah SAW bersabda “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (Imam/Khalifah) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya". (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Kehadiran negara sebagai pelaksana syariah secara kaafah, khususnya dalam pengelolaan kekayaan negara menjadikan negara berkemampuan finansial yang memadai untuk menjalankan berbagai fungsi dan tanggungjwabnya. Tidak terkecuali tanggungjawab menjamin pemenuhan hajat setiap orang terhadap pelayanan kesehatan. Gratis, berkualitas terbaik serta terpenuhi aspek ketersediaan, kesinambungan dan ketercapaian.
Mengutip dari buku Menggagas Kesehatan Islam yang ditulis oleh KH. Hafidz Abdurrahman, MA dkk, perhatian di bidang kesehatan seperti ini tidak hanya terbatas di kota-kota besar, bahkan di seluruh wilayah Islam, hingga sampai ke pelosok, bahkan di dalam penjara-penjara sekalipun. Pada era itu, sudah ada kebijakan Khilafah dengan rumah sakit keliling. Rumah sakit seperti ini masuk dari desa ke desa. Perlu dicatat di sini, Khilafah saat itu benar-benar memberikan perhatian di bidang kesehatan dengan layanan nomor satu, tanpa membedakan lingkungan, strata sosial dan tingkat ekonomi.
Saatnya kita kembali pada syariat, dan syariat hanya bisa diterapkan secara kaffah dalam naungan khilafah ‘alaa Minhaj An-Nubuwwah. Dengan menjalankan Islam secara kaffah maka kesejahteraan dan jaminan kesehatan dapat diperoleh oleh setiap warga Negara secara haqiqi, Wallahualam bishshowab.