Semangat menggebu untuk .berlepas dari penjajahan tampak nyata dalam lisan dan action para anggota parlemen yang merancang RUU KUHP. Tak ketinggalan, para pemikir tingkat tinggi bergelar profesor pun turut dilibatkan dalam penggodokannya. Namun sayang, dalam perjalanannya menuju pengesahan, RUU ini menuai protesan publik, khususnya civitas akademika yang menilai bahwa pembaruan KUHP justru memuat pasal pasal kontroversial. Alhasil, pada 20 September lalu, Presiden RI memerintahkan kepada Menkumham untuk menyampaikan kepada DPR perkara penundaannya.
Hal ini kemudian ditanggapi oleh Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia (UI), yang juga menjadi bagian dari tim ahli RUU KUHP, Harkristuti Harkrisnowo. Bahwasanya, rancangan KUHP yang digodok pemerintah dan DPR sebenarnya sudah melalui perdebatan panjang dengan sejumlah pihak dan mengalami banyak perubahan signifikan. Ia kemudian mempertanyakan mengapa ada sejumlah pihak yang bereaksi keras dan masif memprotes beberapa pasal RUU KUHP seperti pemaksaan hubungan suami istri dan pasal gelandangan, padahal keduanya sudah ada di KUHP lama. (Liputan6.com 23/9).
Sebaliknya, secara terpisah, kriminolog UI Muhammad Mustofa menyatakan, rancangan KUHP tidak perlu buru-buru disahkan karena masih banyak pasal yang harus diperbaiki. Dia mencontohkan pasal pemidanaan kepada gelandangan (pasal 432) yang menurutnya bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Begitu juga dengan pasal penghinaan presiden yang sebenarnya sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi.
Ya. Diakui atau tidak, perdebatan semacam ini memang bukan hal baru dalam kancah perpolitikan. Negasi akan selalu ada. Dan akan terus berlanjut mengingat persepsi dalam menanggapi problem yang berujung pada kebijakan rentan tersusupi dominasi kepentingan.
Pun, tidak akan dijumpai standard kebenaran yang pasti di alam demokrasi. Karena suara mayoritas sudah cukup untuk dianggap mewakili kebenaran itu sendiri. Pada kondisi ini, demokrasi lupa bahwa penyuara penyuara itu hanyalah manusia biasa - yang kebetulan diamanahi rakyat untuk menduduki singgasana kursi - dan berkemungkinan alpa karena lemah dan terbatasnya akal mereka.
Memang. Tak ada yang bisa menolak fakta bahwa KUHP yang sekarang berasal dari Wetboek Van Strafrecht buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang lantas dipakai pemerintah Indonesia pasca kemerdekaan. Dan sudah sejak lama, bahkan dalam perjalanannya ketika orde baru berkuasa (1983), upaya merevisi aturan tersebut sudah muncul dan memakan waktu satu dekade agar rancangan nya bisa diserahkan ke pemerintah.
Di satu sisi, tekad untuk menanggalkan warisan era kolonial yang termanifestasi dalam banyak pasal merupakan visi besar yang patut diacungi. Hanya saja, tekad tersebut tidak diiringi oleh rasionalitas pemikiran yang memustahilkan penyelesaian problem hukum melalui sekulerisme. Yang terjadi, bukannya berhasil mewujudkan dekolonialisasi, rakyat justru kembali dikolonialkan pada hukum campur sari baru yang lebih berpeluang memunculkan kontroversi tak bertepi.
Kondisi yang demikian itu mustahil terjadi ketika gerak perubahan dilakukan secara universal dengan jalan penerapan islam dalam bingkai daulah. Dimana kedaulatan tidak bisa diperebutkan dan hanya ada ditangan syara'. Patokan nya pun bersifat final : halal haram. Sementara masa berlakunya bersifat paripurna : kapan saja dimana saja dengan Khalifah sebagai satu satunya pihak yang berhak mengadopsi hukum menjadi konstitusi dan perundang-undangan daulah. Meski demikian, bukan berarti produk hukum tersebut tidak bisa dibatalkan karena mahkamah madzalim memiliki otoritas untuk menguji, bahkan membatalkan hukum yang terbukti menyalahi hukum Islam.
Istimewanya, keotentikan keberhasilan penerapan Islam ini bisa dijamin karena eksistensinya selain sesuai fitrah manusia, ia juga mampu memuaskan akal. Dan sejarah telah membuktikan pencapaian kegemilangan tersebut sepanjang 14 abad tatkala agama diintegrasikan secara sempurna dengan negara.
Jadi, apalagi sebenarnya yang membuat manusia manusia masa kini begitu ragu untuk mengulang keberhasilan itu? Sementara terhadap kejahiliyahan sekulerisme yang merusak, mereka justru mempertahankan mati matian dengan ragam alibi sebagai pembenaran.
_&_
Maya A / Gresik