Oleh : Shela Rahmadhani
(penulis artikel ideologis)
Perdagangan orang (human trafficking) menimpa kaum hawa dengan adanya bisnis pengantin pesanan ke China. Tahun ini, Wakil Duta Besar Indonesia untuk China, Listyowati, mengatakan bahwa sudah terdapat 42 warga Indonesia yang menjadi korban pengantin pesanan. Berdasarkan KBRI Beijing Ichsan Firdaus terpantau dua provinsi yang menjadi tempat agen-agen penyalur pengantin pesanan asal Indonesia. Kedua provinsi tersebut adalah Henan dan Hebei (voaindonesia.com, 14/10/2019).
Isu pengantin pesanan mulai tercium pasca ditemukannya 15 perempuan asal Indonesia menjadi korban pengantin pesanan China pada Juli 2019. Menurut partai solidaritas Indonesia (PSI), kasus ini berawal pada Mei 2018, saat 16 perempuan Indonesia dari Purwakarta, Subang, Bandung, Tangerang, dan Tegal diberangkatkan ke China. Mereka diiming-imingi pekerjaan dan gaji besar sebagai penjual kosmetik disana. Ternyata sampai disana para korban malah dinikahkan dengan pria setempat dengan surat izin orangtua yang dipalsukan (nasional.kompas.com, 18/07/2019). Senada dengan temuan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bahwa ada 29 perempuan Indonesia diduga menjadi korban perdagangan orang dengan modus pengantin pesanan (voaindonesia.com, 24/06/2019). Ketika diminta keterangan, korban mengaku mereka diperjualbelikan oleh calo atau agen perusahaan dengan nilai Rp 400 juta per orang, dimana Rp 20 juta diberikan kepada keluarga perempuan. Menlu Retno Marsudi menindaklanjuti kasus ini dengan memulangkan mereka kembali ke Indonesia.
Kasus perdangan menusia masih saja terus berulang, dan perempuan sangat riskan menjadi korban praktik kejahatan ini. Faktor ekonomi yang sulit biasanya menjadi faktor timbulnya banyak korban perdagangan manusia. Sebagaimana kajian SBMI menyatakan bahwa pelaku di lapangan biasanya menyasar korban dengan perekonomian yang sulit. Karena jika ekonomi sulit, manusia akan cenderung tanpa perhitungan dalam mengambil tawaran. Misalnya saja dalam kasus ini, dengan ditawari Rp. 20 juta, para korban gelap mata dan tanpa pertimbangan mengambil tawaran dan tidak berfikir terkait bahaya yang akan dia terima.
Melalui kasus perdagangan manusia di China dengan modus pengantin pesananan ini (mail-order bride) semakin memperjelas bahwa perempuan dalam sistem kapitalisme kerap menjadi objek bisnis, eksploitasi dan pemuas nafsu. Perempuan tidak lagi dipandang sebagai sosok yang mulia dengan perannya melahirkan dan membangun generasi. Namun, perempuan dianggap menjadi komoditas yang diperdagangkan dan diperlakukan sewenang-wenang karena kelemahan, kemiskinan, dan keterbelakangannya. Disatu sisi, kapitalisme justru aktif menciptakan keterbelakangan tersebut sehingga menjadi lingkaran setan dimana rakyat tidak bisa keluar darinya. Kapitalisme menciptakan kemiskinan. Kemiskinan menyebabkan kesulitan mengakses pendidikan. Tidak berpendidikan menyebabkan keterbelakangan. Ketika terbelakang, kaum perempuan akan gampang dimanfaatkan dan dieksploitasi. Begitulah pusaran tersebut memakan korban secara sistematis. Tak ayal, kaum perempuan terjebak dan terjerembab dalam pusaran.
Perdagangan manusia ini akan dapat dituntaskan melalui negara yang serius dalam mengurus
rakyatnya. Negara tidak boleh abai untuk menjaga harkat dan martabat perempuan.
Pemulangan korban bukanlah solusi daripada perdagangan manusia, melainkan hanya tindak penyelamatan temporal bagi korban. Apalagi pemulangan dilakukan setelah kasus naik ke permukaan karena adanya pelaporan dari pihak yang melapor, ini menunjukkan bahwa sebenarnya, masih banyak korban yang mungkin belum terdeteksi karena tidak melapor. Dan para calo mungkin saja masih terus aktif mencari mangsa (perempuan) untuk permintaan bisnis pengantin pesanan. Pelaku perdagangan manusia telah diatur dalam Undang-Undang no.21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, namun, keberadaan regulasi tersebut tidak mampu memberantas praktik kejahatan ini.
Negara harus menindak tegas para calo atau agen perdagangan manusia dan tidak membiarkan berkeliaran melakukan rekruitmen untuk memenuhi permintaan pasar, termasuk calo asing.
Hal tersebut dilakukan dalam rangka menjaga dan membela kehormatan para perempuan. Sebagaimana perlakuan al Mu’tasim Billah kepada orang Romawi pelaku pelecehan seorang muslimah. Beliau langsung membariskan puluhan ribu pasukan menyerbu kota Ammuriah hanya untuk membebaskan dan membela kehormatan 1 perempuan (muslimah).
Selain pentingnya pembelaan dan tindakan tegas negara kepada para perempuan, negara harus aktif dalam mencerdaskan para perempuan.
Dalam pandangan islam, perempuan memiliki posisi yang sangat penting untuk melahirkan dan mendidik generasi pemimpin, bukan sebagai pencari nafkah. Dari ibu yang cerdas, para pemimpin hebat bermunculan bahkan namanya terus harum sampai hari ini dan kisahnya dijadikan teladan. Sebut saja Ibunda Imam Syafi’I dan Muhammad Al-Fatih. Peran perempuan sangat berkolerasi dengan kualitas peradaban islam, dimana peradaban yang berkualitas adalah yang terpancar darinya pemikiran yang tinggi. Sehingga jika pemikiran tinggi maka, tinggilah peradaban tersebut, sementara jika pemikiran rendah, maka terpuruklah peradaban tersebut. Dan mendidik generasi agar memiliki pemikiran yang tinggi ada peran perempuan.
Perempuan tidak wajib bekerja mencari nafkah, karena kesejahteraan ekonomi perempuan dijamin didalam islam, sehingga para muslimah tidak akan bisa terpedaya dengan tawaran-tawaran yang dapat membahayakan dirinya seperti pengantin pesanan.