Oleh : Hervilorra Eldira, S.ST
Adalah Imam Nahrawi sebagai mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), yang pada masa akhir jabatannya dijerat KPK. Pada pertengahan September ini, Imam ditetapkan KPK sebagai tersangka. Atas status itu, kemudian Imam mundur dari jabatannya. Dia diduga terlibat dalam pusaran kasus suap terkait dana hibah dari Kemenpora untuk KONI. Menurut KPK, Imam menerima Rp 26,5 miliar melalui asisten pribadinya yang bernama Miftahul Ulum. (Detik.com)
Sebelumnya di bulan Maret kemarin, Komisi Pemberantasan Korupsi juga telah menetapkan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi dalam seleksi jabatan di Kementerian Agama. Romy terjaring operasi tangkap tangan bersama lima orang lainnya. Dan masih banyak lagi deretan pejabat yang tersandung kasus korupsi baik di tingkat daerah maupun pusat.
Korupsi masih menjadi permasalahan di Indonesia. Berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2018 Indonesia menempati posisi 89 dari 180 negara. Nilai yang didapatkan Indonesia yakni 38 dengan skala 0-100, semakin rendah nilainya maka semakin korup negaranya.
Selama tahun 2018, KPK telah menangani 172 kasus korupsi, 152 diantaranya merupakan kasus penyuapan. Sedang data penanganan perkara berdasarkan tingkat jabatan, mengungkapkan ada 91 perkara yang melibatkan anggota DPR/DPRD dan 50 perkara melibatkan swasta serta 28 perkara melibatkan kepala daerah (29 kepala daerah aktif dan 2 mantan kepala daerah). Selain itu, terdapat 20 perkara lainnya yang melibatkan pejabat eselon I hingga IV. (news.detik.com)
Para pelaku korupsi umumnya adalah mereka yang senantiasa melegitimasi bahwa keberadaannya adalah penjaga Pancasila dan NKRI. Karena tanpa pengakuan itu, tidak mungkin para koruptor ini bisa menduduki jabatan penting yang memberikan peluang bagi mereka untuk berlaku korup. Hal ini berbahaya, karena koruptor berlindung di bawah slogan “saya Pancasila, saya Indonesia”. Seolah mencintai Indonesia, tapi sesungguhnya hanya menjadi alat untuk memperkaya diri dan golongannya. Masih banyaknya perilaku koruptif itu, juga berkaitan erat dengan sistem demokrasi yang berbiaya tinggi.
Meski telah ada KPK, namun alih-alih membuat efek jera justru deretan kasus korupsi menjadi kian panjang memenuhi kolom media di negeri ini. Dalam sistem Kapitalisme, hukum bisa dibeli. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maka bagaimana mungkin penegakan hukum oleh Negara dalam sistem Kapitalisme bisa membuat efek jera apalagi membuat efek pencegah bagi yang belum melakukan korupsi?
Islam adalah agama yang lurus yang memisahkan sesuatu yang haq (benar) dengan yang batil (salah). Orang yang beriman akan merasa takut jika melakukan perbuatan korupsi, baik sendirian maupun jamaah. Islam melarang keras perolehan harta ghulul yaitu harta yang diperoleh para wali (gubernur), para amil (kepala daerah setingkat walikota/bupati) dan para pegawai Negara dengan cara yang tidak syar’i, baik diperoleh dari harta milik Negara maupun harta milik masyarakat. Pejabat akan memperoleh gaji/tunjangan. Selain itu harta-harta yang diperoleh karena memanfaatkan jabatan dan kekuasaanya seperti suap, korupsi maka termasuk harta ghulul atau harta yang diperoleh secara curang. (Abdul Qadim Zallum, Al amwal fi daulah Khilafah hlm. 118).
Dalam konteks sekarang, korupsi tidak terbatas pada tindakan “mencuri dan memanipulasi” [ikhtilas] anggaran, sehingga sering diindentikkan dengan mencuri [sariqah]. Padahal, faktanya berbeda. Hari ini korupsi juga meliputi praktik suap [risywah], gratifikasi [hadiyyah], bahkan layanan plus-plus dan sebagainya, dimana antara pemberi dan penerima suka sama suka. Karena itu, pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada praktik “mencuri dan memanipulasi” saja, tetapi juga meliputi suap, hadiah dan sejenisnya.
Islam memiliki mekanisme pencegahan dan penanganan kasus korupsi. Dalam hal ini, ada tiga aspek yang harus diperhatikan
Pertama, ketaqwaan individu, baik pada rakyat jelata maupun pejabat negara. Hal ini akan mustahil bisa terwujud jika Negara ini masih mengagungkan sistem Sekularisme yang sangat tidak peduli kepada ketaqwaan individu. Karena mengganggap bahwa urusan agama adalah urusan individu masing-masing. Maka pasti tidak akan tercipta rasa idrak sillah billah (kesadaran akan hubungannya dengan Allah). Jika individu tidak merasakan hubungan dengan Rabb-nya maka bisa dipastikan bahwa perbuatan yang dia lakukan entah itu baik atau buruk, halal atau haram tidak ada bedanya baginya. Karena tak ada rasa takut dalam dirinya ketika berbuat menyimpang , bermaksiat bahkan merugikan orang lain. Maka ketaqwaan individu akan menjadi pencegah untuk melakukan tindakan korupsi.
Kedua, kontrol masyarakat, kelompok, partai politik dan organisasi massa. Masyarakat tidak boleh abai terhadap berbagai penyimpangan, kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan haram yang tengah merebak. Karena mendiamkan berarti membolehkan, hal ini akan semakin membuat perbuatan korupsi dan kemaksiatan lainnya menjadi budaya. Budaya buruk yang terus dipelihara, sehingga menjadi sesuatu yang lumrah. Pelaku penyimpangan akan merasa aman karena tidak ada yang mengingatkan dan tidak ada sanksi sosial. Oleh karena itu, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar harus senantiasa dilakukan di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, penegakan hukum oleh negara. Negara menjadi alat yang paling ampuh untuk membuat efek jera bagi pelaku korupsi. Dalam Islam, korupsi tidak termasuk mencuri dalam pengertian syariah, maka kejahatan ini tidak termasuk dalam ketegori hudud. Tetapi, masuk dalam wilayah ta'zir, yaitu kejahatan yang sanksinya diserahkan kepada ijtihad hakim. Sanksinya bisa berbentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Wallahu’alam.