Bahaya UU dalam Lingkup Sekuler



Oleh : Gumaisha Al-waja

Mahasiswa yang melakukan demo Gejayan Memanggil menyebut RKUHP mengebiri demokrasi. RKUHP membungkam demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Mereka menyontohkan pasal yang mengatur soal ‘Makar’. Pasal soal makar berisiko menjadi pasal karet yang akan memberangus demokrasi. Mahasiswa juga mempermasalahkan soal RUU PKS dan UU KPK. (tirto.id)

Presiden Mahasiswa Trisakti, Dinno Ardiansyah mengatakan, Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia akan melanjutkan aksi demo di depan Gedung DPR pada Senin (30/9/2019). Dinno mengatakan, aksi demo tersebut bertepatan dengan rapat paripurna terakhir anggota DPR periode ini. Untuk itu, pihaknya akan mengawal dan tetap menyampaikan penolakan terhadap RKHUP dan UU KPK. "Tuntutan kami sama kayak kemarin iya, kita menolak RUU bermasalah dan kita tetap menolak UU KPK yang telah disahkan," ujarnya. (tribunnews.com) 

Kalangan mahasiswa meminta pemerintah lebih responsif terhadap tuntutan dalam aksi demo penolakan pengesahan RKUHP dan sejumlah RUU bermasalah yang berlangsung beberapa hari lalu. Pasalnya, aksi tersebut telah menelan korban dari kalangan mahasiswa. Perwakilan BEM Jakarta Andi Prayoga mengatakan massa yang bergerak tak lagi terpusat di Jakarta. Artinya, kondisi tersebut mencerminkan kekhawatiran dari masyarakat Indonesia. "Pemerintah, dengan adanya korban ini, melihat bahwa mahasiswa sudah berjuang. Jadi, harus ditampung oleh pemerintah dan ditindaklanjuti jangan justru abai," katanya, Sabtu (28/9). (Cnnindonesia.com) 

Peraturan perundangan di negara mana pun selalu dibuat manusia dengan suatu mindset (pemikiran mendasar) di dalam benaknya. Pemikiran mendasar ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti keyakinan (ideologi/agama), pengalaman, pengetahuan, literatur, dan juga bisa kepentingan. Kepentingan ini pun bisa bermacam-macam: kepentingan pribadi, keluarga, kelompok atau partai, rakyat luar, atau kepentingan asing.

Undang-Undang adalah cara “sopan dan intelek” dalam sistem demokrasi sekuler untuk meraih kepentingan. Melalui perundang-undangan, perampasan kekayaan alam dan intelektual rakyat bersifat legal, tak kentara.

Jika kita cermati berbagai UU bermasalah yang telah disahkan sebelumnya oleh pemerintah Indonesia lewat parlemen dapat kita telisik dengan beberapa hal.

Pertama, intervensi lewat Government to Government. Pemerintah asing secara langsung menekan pemerintah suatu negara agar memasukkan suatu klausul atau agenda dalam perundangannya. Sebagai contoh disahkannya UU terorisme.

Kedua, intervensi lewat World to Government. Lembaga internasional (seperti PBB, WTO, IMF) yang mengambil peran penekan. Hal ini sedikit lebih “elegan” karena seakan-akan agenda yang ingin dipaksakan adalah kesepakatan-kesepakatan internasional.
Mereka yang tidak mengikutinya bisa terkucilkan atau tidak lagi pantas untuk menerima “kerja sama dunia”. Contoh: agenda UU yang terkait globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan (UU Perbankan, UU Migas, UU Tenaga Listrik, UU Sumber Daya Air).

Ketiga, intervensi lewat Business to Government. Yakni dunia bisnis, baik bisnis yang memiliki jaringan Internasional maupun bisnis yang hanya bergerak di lingkup domestik. Ancaman yang sering dimunculkan adalah memindahkan investasi ke negara lain yang “beriklim lebih baik”. Contoh: agenda UU yang terkait dengan investasi, perpajakan, dan perburuhan.

Keempat, intervensi lewat Non-Government Organization (NGO/LSM) to Government. Lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, termasuk ormas-ormas dapat menjadi kelompok penekan (pressure group) yang efektif pada pemerintah, badan legislatif, maupun badan yudikatif (seperti Mahkamah Konstitusi). Contoh: UU tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah Tangga (UU KDRT) dan UU Pornigrafi Dan Pornoaksi.

Kelima, intervensi lewat Intelectual to Government. Kaum intelektual, para ilmuwan, lembaga konsultan, bahkan tokoh-tokoh agama dapat dipakai untuk menekan pemerintah agar meloloskan suatu agenda dalam perundangannya.

Intervensi ini paling rapi dan paling sulit dideteksi, karena yang akan muncul adalah keyakinan dari anak bangsa sendiri. Namun, pola ini hanya dapat digunakan untuk intervensi jangka panjang, karena “proses membentuk agen intelektual” perlu waktu. Contoh: UU Otonomi Daerah.

Dari kelima hal tersebut, dapat kita pahami bahwa akar munculnya UU bermasalah sejatinya ada pada sistem sekuler demokrasi yang diterapkan.

Di samping demokrasi juga mengadopsi empat kebebasan sebagai asas menetapkan aturan. Perwujudan kebebasan mutlak dalam hal: agama, berpendapat, kepemilikan, dan berperilaku.

Agama tidak boleh terlibat untuk mengatur masalah publik. Akhirnya kaum Muslim hanya terikat dengan aturan Allah (itu pun kalau dia mau) dalam masalah-masalah individu, ritual, dan moral saja. Dalam masalah publik mereka terikat dengan asas manfaat sesuai dengan hawa nafsu mereka.

Demokrasi juga menyuburkan liberalisasi Islam dan kebebasan. Akibat kebebasan berpendapat, ide-ide liberal yang ‘menyerang’ Islam semakin berkembang, seperti pendapat yang mengatakan bahwa syariah Islam, jika diterapkan, akan mengganggu stabilitas, mengancam kemajemukan, menimbulkan disintegrasi, dll.

Akibat kebebasan berperilaku, tersebar luaslah pornografi dan pornoaksi. Demokrasi juga menyatakan bahwa seseorang dibolehkan memiliki dan mengembangkan harta dengan sarana dan cara apapun, misalnya dengan cara penjajahan, perampasan, pencurian, penimbunan, riba, penipuan, perjudian, prostitusi, eksploitasi seksualitas para wanita, produksi miras, riswah dan sebagainya.

Saat ini energi rakyat telah habis tercurah, fokus memprotes berbagai UU bermasalah. Namun, mereka belum memahami sumber dari UU bermasalah ialah Demokrasi.

Jika masih mempertahankan sumber masalah takkan memberi perubahan hakiki yang diharapkan. Apalagi mewujudkan keadilan yang mereka suarakan. Energi telah habis dengan sia-sia. Masalah juga tak kunjung selesai.

Islam menegaskan bahwa manusia tidak layak membuat aturan hidup. Allahlah Yang berhak membuat aturan hidup . Sebagaimana firman Allah Swt:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ   

“Menetapkan hukum hanyalah hak Allah” (QS al an’am : 57)

Karena itu Islam menentang demokrasi.
Pasalnya, demokrasi menetapkan bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan. Prinsip ini sangat bertentangan dengan Islam yang menyatakan bahwa kedaulatan milik Allah SWT, bukan di tangan rakyat. Artinya, Allah SWT sajalah sebagai Al-Musyarri’. Sementara manusia hanya pelaksana.

Pemberlakuan hukum buatan manusia berarti menggunakan peraturan yang bukan berasal dari Allah SWT. Ini berarti pemberlakuan hukum kufur. Allah Swt berfirman,

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin” (Q.S Al Maidah: 50)

Islam mengharamkan seorang Muslim untuk meninggalkan akidah Islam. Siapa saja yang murtad dari Islam akan diberi tempo untuk bertobat selama tiga hari. Jika tidak kembali, dia akan dibunuh, disita hartanya, dan dipaksa diceraikan dari istrinya (jika istrinya Muslim). Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

“Siapa saja yang mengganti agamanya maka bunuhlah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Islam menetapkan bahwa seseorang tidak boleh melakukan suatu perbuatan atau menyatakan suatu pendapat kecuali yang dibenarkan oleh dalil-dalil syariah. Islam mengharuskan kaum Muslim untuk menyatakan kebenaran di mana saja dan kapan saja.

Selain itu, Islam telah menetapkan sebab-sebab kepemilikan harta (bekerja, warisan, kebutuhan harta minimal sekadar mempertahankan hidup, pemberian negara kepada rakyat dari harta negara, dan harta yang diperoleh seseorang tanpa adanya pengorbanan harta maupun tenaga), pengembangannya (berdagang, kerja sama bagi hasil), dan tata cara penggunaannya.

Islam pun telah menetapkan jenis-jenis kepemilikan yang harus dijamin dapat terselenggara sebaik mungkin oleh negara. Islam mewajibkan negara untuk menjamin kepemilikan individu, kepemilikan bersama/umum dan milik negara.

Jadi, tidak ditemukan adanya kebebasan dalam kepemilikan harta dalam Islam. Seluruhnya diatur dan dibatasi dengan hukum syariah yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun.
Begitu juga terkait semua perbuatan seorang Muslim wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah SWT, Sang pencipta manusia dan kehidupan. Dari penjelasan itu semua, maka dapat dipahami bahwa umat membutuhkan sistem Islam yaitu Khilafah yang tegak di atas akidah yang benar.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak