Asap Karhutla Merasuki Jiwa Ibu Kota



Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd. I
Guru SMA IT Ar Rahman

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih berlangsung di Sumatra dan Kalimantan. Ratusan ribu hektar hutan dan lahan  gambut yang memiliki berbagai fungsi penting bagi kehidupan makhluk hidup, kini kembali terbakar untuk puluhan kalinya. Sejumlah kota di Pekanbaru dilanda kabut asap, udara segar untuk bernafas lega adalah barang mahal dan langka. Di kota Tarakan, kabut asap semakin parah hingga mengakibatkan sejumlah penerbangan tertunda. Di Palembang, bahkan telah memakan korban jiwa. Ini hanya secuil dari kota-kota yang belakangan ini memiliki kualitas udara berbahaya akibat kabut asap yang berhulu dari kebakaran hutan dan lahan.

Kabut asap telah menjadi musibah yang menimpa masyarakat dalam cakupan yang sangat luas. Cakupan musibah kabut asap kali ini paling luas,.karena meliputi wilayah di 12 provinsi, dengan luas jutaan kilometer persegi. Kabut asap pekat terutama menyelimuti wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Palembang, Pekanbaru, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80 persen wilayahnya.

Ada dua dampak yang bisa di rasakan langsung terkait kondisi kabut asap saat ini, pertama mengakibatkan kekurangan oksigen dan juga racun yang dibawa asap yakni partikel-patikel kecil hasil pembakaran. Hasilnya, sangat mengerikan. Asap pekat beracun menyelimuti wilayah Pulau Sumatera, Kalimantan, hingga ke  Malaysia, dan Singapura. Bahkan sejumlah daerah diselimuti kabut asap beracun dari Juli hingga sekarang. Seperti Jambi, Pekanbaru, dan Palangkaraya. Kedua dampak kerusakan lingkungan yang mengerikan, polutan berbahaya menyebabkan udara terasa semakin panas dan tidak nyaman untuk bernafas. Pengidap ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) terus berjatuhan. Sejumlah penelitian menunjukan udara beracun karhutla menyebabkan kesulitan bernafas, mata terasa perih, tenggorokan kering, pusing, hilang kesadaran dan kematian.

Bencana ekologis ini telah merugikan masyarakat, baik kerugian kesehatan maupun kerugian ekonomi. Kabut asap menurut BMKG Stasiun Pekanbaru, Riau telah mencapai level berbahaya yang telah mengakibatkan berbagai penyakit seperti ISPA, asma, pneumonia, infeksi mata dan infeksi kulit. Secara ekonomi, akibat kabur asap ini beberapa penerbangan harus dibatalkan.

Pembakaran hutan untuk membuka lahan, sudah menjadi rahasia umum. Penyebab kebakaran di Indonseia sudah bayak dikaji oleh para peneliti dari berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa ulah manusia meeupmeru penyebab utama kebakaran hutan dan lahan. Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.

Menurut Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, Polri telah resmi menetapkan 10 korporasi (perusahaan) dan 167 warga sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan dan penyebab bencana kabut asap. Menurut Menteri LHK, sedikitnya 124 perusahaan diduga melakukan pelanggaran dalam kasus kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Pada akhir September yang lalu, hampir sebagian besar penduduk di wilayah Indonesia diperkirakan terkena dampak asap, akibat kebakaran hutan diwilayah Sumatera dan Kalimantan. Angka penderitaan dan kematian akibat kabut asap ini bisa lebih parah dari berita penyalahgunaan obat alias narkotika. Belum termasuk biaya restorasi dua juta hectar lahan gambut yang diperkirakan menyentuh dana Rp 25 triliun dalam jangka waktu panjang. Nilai kerugian itu belum termasuk kerugian sektor ekonomi, pariwisata dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan.

Kebakaran lahan dan hutan yang cukup dahsyat terus berulang setiap tahun. Semua ini menunjukkan tiga hal. Pertama, penindakan terhadap para pelaku selama ini begitu lemah. Kedua, seolah tak pernah ada upaya Pemerintah untuk mengambil pelajaran. Padahal dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, seharusnya kebakaran lahan dan hutan sudah bisa dicegah semaksimal mungkin oleh Pemerintah. Ketiga, kebijakan atau aturan tak memadai dan tak konsisten dijalankan sehingga tak bisa mencegah dan mengakhiri kebakaran lahan dan hutan. Masih banyak celah hukum sehingga para pelaku bisa lolos dari jerat hukum.

Pemerintah saat ini telah menggunakan pendekatan baru, yaitu pemberian sanksi berupa pembekuan hingga pencabutan izin usaha yang dimiliki oleh korporasi atau perusahaan. Menurut para ahli dan aktivis lingkungan, akar masalah dari kebakaran lahan adalah kerusakan ekosistem lahan gambut. Kebakaran terjadi karena alih fungsi di lahan yang sangat mudah terbakar sangat besar. Pemicu kebakaran ini adalah karena keringnya lahan gambut setelah alih fungsi lahan. Dalam proses alih fungsi, lahan gambut itu selalu disertai pengeringan lewat pembuatan kanal-kanal. Bentang alam gambut berubah. Area gambut dengan biodiversitas beragam dan basah disulap menjadi area perkebunan dengan satu jenis tanaman dan dikanalisasi untuk mendukung budidaya. Akibatnya, gambut kering dan mudah terbakar.

Lambatnya penanganan karhutla setiap kali terjadi dan berulangnya kasus karhutla selama puluhan tahun bukan karena hambatan teknis semata, namun yang lebih serius adalah hambatan paradigmatis ideologis. Negara gagal melindungi jutaan orang dari keganasan kabut asap beracun karhutla selama ini. Gerbang kejahatan pembakaran hutan lahan  gambut yang berulang selama puluhan tahun adalah kelalaian negara itu sendiri. Semua kelalaian itu didukung penuh oleh kehadirannya sebagai pelaksana sistem kehidupan sekuler kapitalisme itu sendiri.  Khususya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme berikut berbagai paradigma batil yang bersesuaian dengannya.

Menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing yang kapitalistik adalah sebuah bentuk kemaksiatan. Pola fikir sekuler dan materialis yang abai terhadap aspek theologis dalam mengelola lingkungan berdampak kepada kerusakan lingkungan dan kemurkaan Tuhan. “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS Thahaa : 124).

Sementara dalam pandangan Islam hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi ekologi penting bagi kehidupan orang banyak adalah harta milik umum. Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Negara berfungsi sebagai raa’in (pemeliharan urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya. Ditegaskan Rasulullah SAW melalui lisannnya yang mulia, yang artinya, “Seorang imam (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya” (HR Bukhari). Artinya, negara tidak dibenarkan memberikan hak istimewa pemanfaatan hutan dan lahan gambut pada individu atau entitas tertentu.

Dalam pandangan Islam, fenomena ekologis erat kaitannya dengan perspektif theologis. Maknanya bahwa segala musibah  yang menimpa manusia adalah  kehendak Allah karena akibat ulah manusia yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip nilai yang dikehendakiNya, baik berkaitan dengan pelanggaran sunah kehidupan maupun sunah lingkungan. Hal ini diakibatkan oleh  ulah dan perbuatan manusia yang melanggar hukum dan aturan yang telah Allah tetapkan. Berbagai pelanggaran dan penyimpangan manusia dari hukum Allah dinamakan kemaksiatan.
“Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).”

Para mufassir memaknai kerusakan atau fasad dengan  bermacam-macam arti. Diantaranya, segala sesuatu yang tidak tergategori sebagai kebaikan, kekurangan hujan dan sedikitnya tanaman, kelaparan dan banyaknya kemudaratan yang terjadi. Hal ini ditegaskan Allah dalam al Qur’an, “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS Asy Syura : 30).

Tujuan Allah menimpakan bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia. Ibnu Jarir menafsirkan ayat ini dengan perkataan agar Allah menimpakan kepada mereka hukuman atas sebagian perbuatan dan kemaksiatan yang mereka lakukan. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa pangkal penyebab terjadinya seluruh kerusakan di muka bumi adalah adanya pelanggaran dan penyimpangan manusia terhadap ketentuan dan aturan Allah.

Bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri dalam sistem kapitalis saat ini. Pasalnya, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diawrahkdi konsesinya kepada swasta. Padahal itulah yang menjadi salah satu akar permasalahnya. Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).

Secara tasyrî’i, Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasullulah saw. bersabda: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad). Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan dan dapat dicegah sepenuhnya sejak awal.

Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh pemerintah karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia maupun diakhirat. Adapun secara ijrâ’i, Pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu dengan menggunakan iptek mutakhir serta dengan memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.

Mengakhiri kebakaran hutan dan lahan secara tuntas dengan dua pendekatan, tasyrî’i dan ijrâ’i, hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim negeri ini. Dengan itu berbagai bencana akibat ulah manusia, termasuk bencana kabut asap, bisa diakhiri.

Islam memandang lingkungan sebagai anugerah Allah yang mesti dijaga, dipelihara, dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Islam  mengharamkan sumber daya alam diprivatisasi dan dieksploitasi secara berlebihan dengan tujuan pragmatisme dan materialisme.

Pada akhirnya, masyarakat akan bisa merasakan hidup tenang tanpa merasa khawatir terhadap bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat, tentu harus secara lestari. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.“dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman (QS Al A’raaf : 85).”

Di sini akan terjawab pemerintah semakin lalai dari tugas dan fungsi semestinya sebagaimana yang dituntut oleh syariah Islam. Semua ini tentu berujung pada fasad yang makin parah, berupa kesejahteraan dan kedaulatan bangsa yang kian sirna.“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,..”(TQS Al Anfaal: 24)

Keimanan dan ketaqwaan dalam perspektif ekologis  adalah  masyarakat sadar lingkungan dengan menjaga dan memelihara lingkungan sebagai amanah Allah dengan harapan mendatangkan “keberkahan lingkungan” dari sang Penguasa lingkungan. “Jikalau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”  (Qs Al A’raf : 96).

Fokus tulisan ini adalah pada akar masalah dan solusi yang sahih, yakni Islam. Mengingat keganasan kabut asap karhutla gambut sudah berlangsung puluhan tahun dengan tingkat keparahan semakin mengkhawatirkan. Sementara Islam didatangkan Allah SWT sebagai penyelesai persoalan kehidupan manusia, bahkan penyejahtera seluruh alam. “..Dan Kami turunkan Al Quran kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim)”.
Wallahu a'alam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak