Oleh: Surfida (Muslimah Peduli Umat)
Kasus korupsi yang menimpa para pejabat negeri ini terus meningkat. Padahal, para pelakunya selalu diberikan sanksi sesuai dengan sistem saat ini. Akan tetapi, kejadian yang sama terus dilakukan para pejabat. Baik tingkat menteri, maupun para kepala daerah, anggota DPR. Misalnya baru-baru ini, KPK menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga ( Menpora ), Imam Nahrawi dan Asisiten Pribadinya, Miftahul Ulum sebagai tersangka korupsi. Mereka ditangkap KPK karena diduga telah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap dana hibah Kemenpora kepada KONI tahun 2018. Kedua tersangka dikenakan Pasal 12 huruf a atau 12 huruf b atau pasal 11 atau pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat ( 1 ) KUHP. (https://www.inews.id).
Sebelumya juga, politisi dari partai PPP, Romahurmuziy ditangkap KPK karena melakukan kasus suap jual beli jabatan dilingkungan Kementrian Agama. Dan saat ini pun, KPK akan menyeret Menteri Agama (Menag), Lukman Hakim saifudin karena terlibat dalam kasus suap yang dilakukan bersama Romahurmuziy untuk meloloskan Haris Hasanuddin dan Muwafik wirahadi. (Selasa, 19 Maret 2019, https://nasional.kompas.com). Banyaknya pejabat yang melakukan korupsi, ini membuktikan bahwa untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan yang diinginkan dalam sistem saat ini, harus memiliki modal yang besar. Jika tidak memiliki modal, kedudukan yang diinginkan tidak akan tercapai. Sedangkan pejabat yang sudah meraih kedudukan, ketika ada yang mengurus sesuatu harus ada pelicinnya, seandainya tidak ada maka urusan tersebut tidak akan terselesaikan.
Jika para pejabat meraih kedudukan atau kursi dalam sebuah instansi melalui suap - menyuap, sudah pasti saat mereka bekerja akan fokus untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut. Sehingga untuk membangun sarana dan prasana yang dibutuhkan rakyat tidak maksimal lagi. Kalaupun membangun hanya seadanya saja agar tidak dibully oleh rakyat. Biaya membangun tersebut menggunakan lagi dana pinjaman asing sehingga rakyat lagi yang akan menanggung utangnya.
Terkadang juga para koruptor ini agar kelihatan pro rakyat, mereka berlindung dalam Slogan “ Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Ketika sudah mengagungkan slogan itu, seakan-akan kelakuan mereka sudah baik, sehingga rakyat percaya bahwa mereka bekerja untuk rakyat, dan rakyat juga percaya slogan itu sebagai ungkapan menjaga persatuan dan kesatuan negara ini.
Akan tetapi ternyata slogan itu hanya sekedar kata-kata dibibir saja, karena kenyataannya merekalah yang mengeruk uang rakyat, menghancurkan negara ini. Bahkan mereka juga menyebarkan fitnah yang keji kepada organisasi yang memperjuangkan tegaknya Khilafah. Seakan-akan kelompok yang memperjuangkan Khilafah yang menghancurkan negara ini, seperti yang diungkapkan oleh Imam Nahrawi pada 2017 silam. Beliau membekukan dana bantuan untuk Kwartir Nasional Pramuka, karena Ketua Pramuka pernah mengahadiri kegiatan yang diselenggarakan oleh HTI. Imam Nahrawi mengatakan “Saya Pramuka, Saya Pancasila jadi saya tidak rela pramuka disusupi Isme yang akan merusak Pancasila. Ya enggak boleh ada HTI, kata Imam Nahrawi. (Senin, 14 Agustus 2017, Kompas.com). Beliau dan Pemerintah sangat sadis memfitnah HTI, bahwa HTI akan merusak Pancasila padahal kenyataannya tidak, Bahkan yang berlindung dibalik Slogan “ Saya Indonesia, Saya Pancasilah yang merusak Indonesia.
Selain Imam Nahrawi, Romahurmuziy juga ikut memfitnah HTI, beliau berkata bahwa HTI mendukung Prabowo pada pemilu nanti, agar ketika Prabowo naik, mereka akan mengembangkan paham Khilafah dan mengganti Pancasila ( 7/4/2019, https://nasional.tempo.com). Itulah fitnah-fitnah yang dilontarkan para koruptor untuk melindungi dirinya dari perbuatan yang dilarang syariat Islam tersebut. Mereka sengaja memfitnah HTI agar rakyat semakin takut dengan bangkitnya Islam, juga rakyat agar percaya bahwa yang mengahncurkan NKRI adalah kelompok yang berusaha menegakan Khilafah. Namun, jika dilihat secara detail lagi, Pancasila dalam sistem saat ini tidak terlaksana, pemerintah menjalankan sistem kapitalisme yang bertentangan dengan Pancasila, sehingga persatuan dan kesatuan negara hilang. Pada akhirnya para pahlawan NKRI ini jadi ngantri menunggu panggilan KPK.
Para koruptor ini meskipun pintar menyembunyikan perbuatan busuknya, pasti akan ketahuan juga. Ibarat Tupai, meskipun pintar melompat pasti akan jatuh juga. Begitu juga dengan para koruptor, walaupun pintar menyembunyikan perbuatan busuknya pasti akan tercium juga. Para koruptor ini tidak menyadari ada Allah yang selalu mengawasi perbuatannya. Sehingga Allah memiliki banyak cara untuk menghukum para penentang syariatnya termasuk para pemfitnah HTI. Dan saat ini juga Allah sudah memperlihatkan kepada rakyat bahwa organisasi yang mendakwahkan Khilafah itu bersih dari korupsi, mereka juga yang sungguh-sumgguh menjaga NKRI ini dari penjajah. Allah juga melindungi para pengemban dakwah dengan banyaknya Ulama yang mendukung tegaknya Islam dalam bingkai Khilafah Islam.
Saat para ulama sudah menginginkan Khilafah untuk mengganti sistem saat ini, maka kita juga harus menginginkan Khilafah tersebut tegak. Maka dari itu kita harus menggambungkan diri kita dalam kelompok yang serius memperjuangkan Khilafah. Kelompok yang serius itu adalah yang meneladani metode dakwah Rasulullah SAW dalam mewujudkan negara Islam saat di Madinah dulu. Jika tidak mengikuti metode dakwah Rasulullah, pasti akan ikut dalam pertarungan politik saat ini, sehingga akan berkolaborasi dengan rezim untuk memusuhi ajaran Islam.
Para pembeci Khilafah juga harus tau bahwa Khilafah ini adalah janji Allah SWT dan merupakan kabar gembira dari Rasulullah SAW. Jadi, meskipun berusaha sekuat tenaga agar Khilafah jatuh, pasti tidak akan mampu menjatuhkannya. Pemerintah dan bawahannya yang menolak Khilafah harus belajar juga tentang kematian Mustafa Kemal Attaturk yang ditolak oleh bumi, agar semakin sadar bahwa ketika menentang syariat Allah akan disiksa dengan siksaan yang pedih.
Wallahu’alambishowab
Tags
Opini