Oleh: Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Pertama, Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea, Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga, Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Itulah isi dari teks yang dianggap sebagai Sumpah Pemuda. Teks ini, dianggap manjur untuk melumpuhkan gerakan-gerakan separatis yang akan mengganggu keamanan negara dengan semangat nasionalisme. Semangat ini dapat diterapkan dengan tidak berlebihan, karena bagaimanapun kita hidup di bumi Indonesia. Maka kita harus ikut berkontribusi untuk Indonesia sebaik-baiknya dengan semangat yang tinggi seperti perkataan ini:
"Beri aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya akan ku guncangkan dunia. Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia." Itulah salah satu kalimat yang paling fenomenal yang pernah diucapkan oleh bapak presiden pertama kita Ir. Soekarno yang sampai saat ini masih mengiang di telinga kita.
Kalimat itu membuktikan bahwa anak muda memiliki kekuatan dan peranan besar bagi kemajuan bangsa. Dalam sejarah perjuangan Indonesia, terbukti peristiwa yang melibatkan pemuda seperti Sumpah Pemuda yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 1928. Dan Sumpah Pemuda salah satu wujud kepedulian kaum pemuda dalam rangka memulai langkah perjuangan menuju negara Indonesia yang merdeka. Selain itu, para pemuda juga berusaha dan berkorban untuk mewujudkan terjadinya reformasi.
Sampai saat ini tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pemuda sering disebut sebagai “agent of change” yang berarti pembawa perubahan bagi suatu kaum dan negara. Kemajuan suatu negara dapat dilihat dari perilaku pemudanya, apabila pemuda-pemuda dalam suatu negara tersebut dapat berkontribusi melalui ide-idenya yang kreatif dan inovatif, maka negara tersebut akan memiliki potensi untuk menjadi negara yang lebih maju.
Para pejuang terdahulu, berjuang melawan penjajah tentu ingin mempertahankan wilayahnya, tetapi sebagai muslim, pejuang kita seperti Diponegoro, M. Natsir, Agus Salim, Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, menganggap bahwa kebenaran lebih mereka cintai dalam membela bangsa dengan menegakkan nilai-nilai Islam. Mereka adalah orang-orang yang berjuang bagi negara, ikhlas dalam membelanya, dan sangat paham tentang nasionalisme.
Setelah runtuhnya khilafah Utsmani, gerakan nasionalisme yang sempit mulai terjadi yaitu ketika dalam prosesnya, setiap bangsa berjalan sendiri-sendiri. Menonjolkan warisan nenek moyang, ketika Mesir kembali kepada Firaun, Irak pada Babilonisme, Maroko pada Barbar-nya dan negeri-negeri Islam lainnya. Begitu ampuh gerakan ini, ketika payung Utsmaniyah runtuh, gencarnya proklamasi beberapa negara Islam. Dan sebenarnya, ini adalah warisan kolonial Barat pada daerah-daerah jajahannya. Sehingga negara-negara Islam tidak merasa dipersatukan oleh akidah Islam.
Sumpah yang Agung: Bercermin dari Pemuda Pengukir Sejarah
Ketika Sumpah Pemuda yang menggagas sumpah nasionalisme, yang hanya terbatas pada tempat tertentu , maka dalam Islam, Rasul telah menjelaskan bahwa ada sumpah yang sangat agung dibanding Sumpah Pemuda, yaitu bersumpah penghambaan hanya kepada Allah saja. Sebuah kalimat yang teguh, kalimat Tauhid, kalimat yang menjadikan orang-orang yang mencetak sejarah, pemuda-pemuda yang mengubah sejarah, pemuda-pemuda yang Rabbani, mencetak pemuda harapan dunia.
Akidah mempersatukan hati-hati orang mukmin, jika kita lihat proses tarbiyah Rasulullah Saw, bagaimana ketika beliau mempersiapkan para pemuda dengan akidah yang benar, karena memang generasi mereka yang akan memegang tampuk kepemimpinan ke depan.
Lihat saja bagaimana pada usia delapan tahun Ali bin Abi Thalib sudah mengikuti proses tasfiyah (pemurnian akidah), dan tarbiyah (pendidikan). Suatu saat menjadi khalifah besar. Arqaam bin Abil Arqam pada umur dua belas tahun, Abdurrahman bin Auf, Usamah bin Zaid yang baru berumur sembilan belas tahun diamanahkan memimpin perang melawan Romawi, Mu’adz bin “Afra” dan Mu’adz bin Amru bin Al Jamuh yang membunuh pemimpin kafirin Abu Jahal pada perang Badar, atau Ibnu Umar yang meminta dimasukkan pada pasukan perang padahal umurnya baru tiga belas tahun.
Itulah potret generasi pemuda yang disatukan oleh akidah, berlanjut pada zaman setelahnya, Umar bin Abdul Aziz yang menjadi khalifah saat umur tiga puluh tujuh tahun, dan diyakini sebagai khalifah rasyidah. Imam Syafii yang pada umur sebelas tahun sudah mengajar dan dimintai fatwa, Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani yang saat muda menghafal kitab-kitab dan dipercaya menjadi qadhi saat usia muda. Dan menorehkan penanya dalam kitab sangat berharga yaitu Fathul Baari. Generasi terus berlanjut, Muhammad Al Fatih yang saat itu berumur dua puluh satu tahun dikisahkan membebaskan Konstantinopel, meruntuhkan imperium Romawi Timur, seperti yang dijanjikan Rasulullah Saw.
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hambal Al-Musnad 4/335]
Dan orang-orang tersebut telah dicatat sejarah sebagai pemuda-pemuda yang namanya mendunia. Pemuda-pemuda yang berkarya dan karyannya dapat dirasakan sampai sekarang. Karena mereka memiliki sumpah yang paling agung, melebihi sumpah apapun yaitu sebuah sumpah yang dibangun atas dasar akidah, melebihi kepada ikatan kerabat, keluarga, bangsa, dan juga negara.
Jika dahulu Islam pernah mencapai masa kejayaannya, dengan peran pemuda yang luar biasa, maka saat ini adalah tugas kita sebagai pemuda untuk mengembalikan kejayaan tersebut. Sebagai pemuda, kita harus selalu semangat untuk menghadirkan Islam yang jaya di mata dunia. Islam bukan agama pemecah belah seperti nasionalisme akan tetapi Islam adalah agama yang mengajarkan persatuan, keadilan, dan kedamaian bagi seluruh umat manusia. Wallahu a'lam bishshawab.