Oleh: Syifa Putri
Ummu warabbatul bayt, Kab. Bandung
"Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sementara aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Jika aku berbuat baik maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sedangkan kedustaan khianat. Orang yang lemah diantara kalian adalah kuat di sisiku sampai aku mengembalikan haknya, in syaa Allah... Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kapada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku. Berdirilah kalian untuk shalat. Semoga Allah merahmati kalian". (Imam ath-Thabari, Tarikh Thabari).
Inilah pidato yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. selepas pelantikan beliau sebagai Khalifah. Di dalam pidato tersebut terkandung ibrah (pelajaran) yang sangat dalamnya terkait kepemimpinan, diantaranya kesadaran dan ketawadhuan, dimana seorang pemimpin meski secara faktual diakui sosok terbaik, tetapi tidak menutupi kemungkinan melakukan kesalahan. Karena sebagai manusia biasa bukan nabi/rasul yang maksum/bebas dari kesalahan. Dengan kesadaran inilah pemimpin dan penguasa itu tidak akan menganggap dirinya selalu benar. Sehingga dia akan membuka diri terhadap nasihat, kritik dan koreksi hingga yang pedas dan keras sekalipun. Pemimpin yang memiliki kesadaran seperti itu tentu akan mendorong rakyatnya untuk bersikap kritis dan mengoreksi dirinya ketika menyimpang dari syariah. Diapun akan mendorong rakyat untuk menaati dirinya hanya dalam kemakrufan, tidak dalam hal yang sebaliknya. Rasul saw.bersabda:
"Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang muslim dalam apa yang ia sukai atau tidak dia sukai selama dia tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Jika diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak ada kewajiban mendengar maupun taat". (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ahmad)
Nasihat/kritik (muhasabah) kepada penguasa itu juga bukan karena atau demi kepentingan dunia, melainkan karena kepentingan akhirat, yakni melaksanakan kewajiban dari Allah Swt. Sekalipun demikian, muhasabah kepada penguasa itu akan memberikan kebaikan di dunia. Sebab dengan itu, masyarakat bisa terhindar dari keburukan akibat kemungkaran penguasanya.
Ketika pemimpin atau penguasa itu melakukan kemungkaran, artinya dia melakukan kezaliman. Dalam hal yang demikian, haram mendukung kezaliman itu. Jangankan mendukung, bahkan cenderung kepada pelaku kezaliman saja haram dan konsekuensinya sangat berat. Allah Swt berfirman:
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah. Kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud [11]:113).
Dengan demikian akan ada pemimpin dan penguasa yang paling baik, yang mencintai dan dicintai rakyat, serta yang mendoakan dan didoakan rakyat. Pemimpin yang yang seperti itu hanya ada dalam sistem yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh, yakni Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.