Oleh: Yusrah Ummu Izzah (Pendidik Generasi)
Jayapura, Kompas.Com - Dampak kerusuhan wamena masih terus berkembang. Selain dari sisi korban jiwa, kerugian secara materil juga masih bertambah. “224 mobil roda 6 dan 4 hangus, 150 motor, 465 ruko hangus, dan 145 rumah dibakar” kata kabid humas polda Papua, kombes A.M Kamal di Jayapura, Kamis (24/09/2019). Sedangkan jumlah korban tewas juga terus bertambah. Unjuk rasa masih terjadi di Wamena minggu lalu, dipicuh kabar hoaks tentang seorang guru yang mene
geluarkan kata-kata rasis di sekolah sehingga sebagai bentuk solidaritas mereka melakukan aksi, kata kapolda Papua irjen Rudolf A. Rodja. Namun Rudolf telah mengklaim kepolisisan sudah mengonfirmasi isu tersebut dan memastikan tidak benar (Kompas. com- Senin. 23/09/2019).
Bayangkan, hanya berawal dari isu yang dihembuskan, kesalahpahaman itu memicu kontraksi sosial. Bangunan fisik, jiwa dan relasi sosial, dan kemasyarakatan rusak. Perilaku anarkis menyasar masyarakat pendatang di Papua. Sumber resmi mendata 33 orang meninggal, sementara 9000 orang telah mengungsi.
Konflik Papua Dipelihara, Benarkah?
Rentetan konflik papua menimbulkan tanda tanya, apakah konflik itu sengaja dipelihara? Mengingat pemerintah Indonesia tidak pernah mampu menyelesaikan persoalan di Papua. Adriana Elisabeth, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan koordinator jaringan damai Papua – menyatakan bahwa kerusuhan disejumlah wilayah di Papua – termasuk di Wamena – merupakan rekayasa dan diskenariokan. Alasannya, model penyerangan-penyerangan janggal dengan memanfaatkan kondisi social wamena yang banyak pengangguran dan adanya Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Yahukimo. Papua memang menyimpan konflik. Masalah yang terjadi di Wamena menjadi potret kegagalan Pemerintah RI mengatasi masalah laten papua.
Ada Apa di Papua?
Ternyata tanpa kebanyakan masyarakat Indonesia tau, negara-negara asing telah lama mengincar papua karena nilai jualnya.
Geostrategis Papua diapit oleh dua samudra besar yakni Pasifik dan Hindia, serta dua benua Australia dan Asia. Secara khusus, Daoed Jusuf dalam bukunya “ Studi Strategi : Logika ketahanan dan Pendayagunaan Nasional ” menyampaikan bahwa siapa yang menguasai Papua dan Maluku berarti menguasai jantung arsipel Indonesia, yang menguasai arsipel akan menguasai arteri dan siapa yang menguasai arteri akan berdaulat akan keseluruhan negara-bangsa Indonesia.
Masalah mendasar Papua
Pergantian rezim yang berkuasa di Indonesia, sejak Orde Lama hingga hari ini tak mampu menyelesaikan masalah Papua. Jangankan merancang solusi jitu, menentukan masalah mendasar Papua saja, rezim tak mampu. Mereka hidup dalam idiologi kapitalis yang hanya mengukur pencapaian materialistik. Soeharto, sukses menjadikan Papua dijajah korporasi raksasa, Freeport sulphur sebagai pelopor penanaman modal asing di Indonesia pada tahun 1996.
Konflik sosial Papua kian bertambah dengan kedatangan transmigran sebagai proyek pemerintah Orde Baru.
Antropolog Austria Christian Warta, menyebutkan, Soeharto berasumsi para pendatang membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil Papua. Warta menyimpulkan, ketakutan menjadi minoritas di tanah sendiri inilah yang secara wajar memicu nasionalisme Papua.
Visi materialistik tersebut tidak berubah hingga rezim Jokowi.
Dalam wawancara bersama Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Budiman Tanuredjo (21/8/19) Jokowi sesumbar Papua dan Papua Barat akan lebih diperhatikan dengan pendekatan kesejahteraan. Karena itu pemerintah akan mengalokasikan anggaran Rp 8,37 Triliun untuk Dana Otonomi Khusus Papua dalam RAPBN 2020. Dana tersebut ditujukan untuk tambahan pembiayaan infrastuktus di Papua dan Papua Barat.
Menurut Direktur Imparsial, Al Araf, akar konflik di Papua tidak hanya kesenjangan ekonomi tapi juga kontroversi historis Papua masuk ke Indonesia yang dianggap manipulatif oleh sebagian masyarakat Papua. Juga persoalan pelanggaran HAM yang tak diselesaikan serta faktor marjinalisasi.
Bila disederhanakan, sebab mendasar konflik Papua hanya satu. Siapapun presidennya, tidak pernah menempatkan diri sebagai penanggung jawab dan penjamin keamanan, kenyamanan dan martabat hidup rakyat Papua. Janji-janji perbaikan ekonomi, tak mampu memberikan pemerataan kesejahteraan sepanjang Papua berada dalam pangkuan Indonesia.
Hingga maret 2019, Papua dan Papua Barat masuk dalam 5 provinsi dengan tingkat kemiskinan paling tinggi.
Solusi Tuntas Masalah Papua
Kita semua berharap Papua tidak bakal lepas dari Indonesia menyusul Timor Leste, pun OAP (Orang Asli Papua).Karenanya, Segala skema pembangunan juga ditempuh tapi tak pernah menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan orang Papua,baik pendatang ataupun OAP, serta tak mempan atasi konflik Papua.
Artinya, referendum ataupun otonomi khusus akan tetap membawa masalah laten bagi Papua. Bahkan pembangunan infrastuktur hanya bermanfaat bagi para pemodal yang ingin mendapatkan akses ke sumber-sumber ekonomi di Papua.
Banyak hal yang menyandera Indonesia untuk mampu melakukan keputusan strategis bagi Papua.
Yang paling utama, negara ini tak punya kemandirian dan kedaulatan untuk berani mengusir dan mengenyahkan campur tangan negara besar plus korporasinya. Demikian pula menyatukan semua anak bangsa dalam ikatan yang sama. Bhineka Tunggal Ika hanya menjadi slogan yang tak mampu meleburkan semua perbedaan.
Kalau ingin belajar kesuksesan membangun wilayah yang plural dan sulit medan, bercerminlah pada khilafah Islamiyah.
Kesuksesan Khilafah
menyatukan 2/3 dunia dengan meleburkan semua ras manusia dalam wadah yang sama, jelas mengikuti tuntunan Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah. Yang dilakukan pertama kali adalah mempersaudarakan Muhajirin dan Anshor. Inilah peleburan yang sesungguhnya, saling menanggung satu sama lain sekalipun sebelumnya tak pernah kenal dan bersua.
Lambat laun, suasana kondusif ini menjalar pada non muslim, hingga mereka pun merasakan berkah persaudaraan yang tercipta sebagai implementasi ajaran Al-Qur’an dan As Sunnah.
Teladan itulah yang dipraktikkan para Khalifah hingga banyak diantara kafir dzimmi memilih menjadi muslim secara sukarela. Mereka juga tetap dibiarkan jika tetap memeluk agama sebelumnya. Supremasi Khilafah Islamiyah jelas menyatukan fungsi penjamin kebutuhan dan kesejahteraan umat, meletakkan perbedaan secara bermartabat dan sekaligus menunjukkan kewibawaan sebagai negara yang berdaulat.
Gangguan dan ancaman akan dituntaskan sesuai petunjuk syariat yang berkombinasi dengan strategi jitu yang terukur dan terarah . Semua ini mampu terealisir karena negara dibangun atas dasar ketaatan pada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan dikte kafir imperialis atau nafsu berkuasa demi tahta dan harta. Walhasil, hanya pada Khilafah Islamiyah sajalah penduduk Papua bisa berharap menyongsong masa depan yang lebih baik.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Berpegang teguhlah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian bercerai berai...” (TQS Ali Imran : 103)
Saatnya kita kembali pada aturan Allah subhanahu wa ta’ala, system paripurna Khilafah Islamiyah yang terbukti membawa kesejahteraan dan menempatkan manusia dalam posisi yang mulia. Tinggal kita yang memilih mau berada di posisi mana? Pelaku sejarah perubahan yang siap dengan segala resiko memperjuangkan kebenaran Islam, atau pasif saja ‘menonton’ perubahan, atau bahkan tertawa dalam hati “Bahwa Khilafah hanya mimpi di siang bolong”? Wallahu ‘alam bish showab.