The Santri : Toleransi yang Kebablasan



Oleh : Lilis Iyan 
(Pemerhati Sosial)

Kontroversi film 'The Santri' semakin menuai polemik. Film ini telah merilis trailer perdananya pada Senin (9/9) di kanal YouTube NU Channel. Film garapan sutradara kakak beradik, Livi Zheng dan Ken Zheng merupakan hasil kerja sama dengan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Yang diperankan oleh Guz Azmi, Veve Zulfikar, Wirda Mansyur dan Emil Dardak. Rencananya akan rilis pada 22 Oktober 2019, yang bertepatan dengan hari Santri.

Meski kemunculan film The Santri baru sebatas trailer, namun potongan-potongan adegan yang ditampilkan cukup mengguncang kaum muslimin. Bahkan Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum, menilai film tersebut telah kebablasan.

"Saya melihat trailer film (The) Santri di youtube, saya merasa keberatan," kata Uu di Bandung, Selasa (17/9/2019) dikutip dari Tribun Jabar.

Uu menilai, sejumlah adegan dalam trailer film tersebut tidak sesuai dengan kehidupan sesungguhnya di pesantren. Termasuk adegan kedekatan antara laki-laki dan perempuan.

"Santri tidak seperti di film itu, pacaran, begitu dekat antara laki dan perempuan,"

Lebih lanjut, Uu menilai sikap toleransi dalam film The Santri yang menurutnya kebablasan.

Kritik pedas terhadap The Santri muncul juga dari Pengasuh Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Luthfi Bashori. Menurut Luthfi, film The Santri tidak sesuai syariat Islam dan cenderung liberal karena ada adegan pacaran, campur aduk pria dan wanita, dan membawa tumpeng ke gereja. 

Selain itu, menantu Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab Hanif Alathas yang merupakan Ketua Umum Front Santri Indonesia (FSI) tidak ketinggalan mengkritik. Menurut Hanif, film tersebut tidak mencerminkan akhlak dan tradisi santri yang sebenarnya.

Beberapa poin yang patut dikritisi dari film “The Santri” ini adalah: 

Pertama, film ini hendak menyampaikan pesan toleransi dalam bentuk pluralisme atau paham menyamaratakan agama. 

Dalam penggalan cerita tersebut para santri membawa nasi tumpeng untuk dipersembahkan kepada pengurus rumah ibadah yang tengah melakukan peribadatan. Hal ini justru sangat bertentangan dengan aqidah umat Islam itu sendiri. Islam memang mengajarkan tentang toleransi, tetapi toleransi yang disajikan dalam film tersebut jelas sangat bertentangan dengan aqidah umat Islam. Karena Islam mengharamkan seorang muslim mendatangi gereja yang didalamnya tengah melakukan ibadah.

Keharaman ini berangkat dari perkataan sahabat Umar bin Al-Khattab Radhiyallahu Anhu. “Janganlah kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka”. Umar Bin Al-Khattab menyatakan bahwa akan datang kemarahan Allah, jika ada umat Muslim yang menyambangi tempat peribadatan umat lain pada saat kaum tersebut sedang merayakan hari atau upacara keagamaan mereka.

Kedua, pergaulan antara santri dan santriwati yang melanggar syariat Islam. 

Kehidupan santri di sebuah pondok pesantren itu terpisah bahkan asrama mereka dipisahkan. Adapun aktifitas mereka adalah belajar ilmu agama, menghafal Alquran, muraja’ah, dan melakukan kegiatan yang lainnya tanpa adanya ikhtilat (campur baur) maupun berkhalwat (berdua-duan) dengan non mahromnya. Tetapi di film ini menampilkan hal yang justru bertolak belakang dengan kehidupan pesantren pada umumnya. Maka dari itu hal ini justru sangat tidak dibenarkan dan bahkan mencapai level pelanggaran syariat.

Ketiga, latar tempat syuting yang mengangkat budaya Indonesia, yang berlokasi disalah satu Candi di Indonesia, alih-alih ingin menghadirkan kebudayaan Indonesia tapi justru kemaksiatan yang dipertontonkan disana dengan adanya ikhtilat antar kru maupun pemainnya.

Keempat, image Amerika sebagai negara hebat ditonjolkan. Berangkat ke Amerika untuk bekerja menjadi hadiah bagi santri dan santriwati berprestasi dalam adegan film The Santri. Bisa bekerja di Amerika berarti sebuah kebanggaan bagi agama dan bangsa.

Itulah beberapa kritikan dari film The Santri, yang seharusnya mengangkat kehidupan santri yang sebenar-benarnya. Namun, justru menghadirkan kebebasan yang melanggar aturan Islam. Wajar film ini tidak Islami karena disutradarai oleh non muslim yang tidak memahami tentang Islam dan bukan lulusan pesantren. Standar berbuat orang–orang di luar Islam tentu saja bukan ridha Allah swt melainkan manfaat. Berharap pesan Islam tersampaikan dari buah karya non muslim adalah harapan semu. 

Alhasil gambaran toleransi yang salah kaprah hingga pergaulan yang melanggar syariah dalam film The Santri akan merusak citra pesantren sebagai pabrik pencetak santri yang taat. Maka, wajar pula bila film tersebut lebih banyak menghadirkan kebebasan yang kebablasan hingga syariat Islam pun tak dipandang sebagai aturan.
 
Kita harus menyadari bahwa kemunculan karya–karya yang mencitra burukkan Islam akibat diterapkannya sistem sekuler liberal. Kondisi saat ini menjadi kondusif bagi aktivis liberal untuk berkarya atas nama kebebasan. 

Ketika Islam semakin dijauhkan dari segala aspek kehidupan maka kebebasan akan senantiasa menjamur meskipun dikalangan para santri. Tak hanya itu hal ini pun kemudian dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk menjaring keuntungan dengan mempolitisasi agama dalam dunia perfilman.

Maka dari itu, pentingnya menerapkan Islam sebagai jalan untuk ‘memberangus’ kebebasan tersebut agar tak ada lagi politisasi dalam agama maupun dalam kehidupan pesantren meskipun dikemas dalam sebuah film. Semoga kehidupan Islam segera kembali agar karya–karya yang muncul tak menyalahi aturan Islam. Aamiin.

*sumber gambar : google

Sang Mentari

Assalamualaikum sahabat... Aku hanya seorang biasa yang sedang belajar tuk jadi pribadi yang tak biasa. Setiap desain adalah passionku, menulis dan bercerita merupakan kesukaanku, berbagi hal yang bermanfaat adalah kegemaranku. Islam sebagai way of life adalah dienku. Semoga dengan izinNya segera kan tegak kembali di bumi Allah ini. Aamiin @naybeiskara

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak