oleh: Endang Rahayu Tri Purwandhani, Apt
KUHP (kitab Undang-Undang Hukum Pidana) adalah produk warisan belanda yang isinya berupa kodifikasi hukum pidana Belanda. KUHP ini berlaku berdasarkan keputusan pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, yang isinya selaras dengan Wetboek Van Strafrect Voor Nederlandsch Indie (WvSNI). WVS sendiri bersumber dari Code Penal Perancis dan Code Penal Perancis bersumber dari hukum Romawi. Hierarkinya berada setara dengan UU dan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu). Adapun isinya mencakup penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi) bagi tindak pidana tersebut. Semua hukum publik yang mengatur hubungan negara dengan warga negaranya diatur dalam KUHP ini.
RKUHP sudah beberapa kali melalui pembahasan sejak disahkan sebagai hukum positif di Indonesia pada 1915 saat negeri ini masih dijajah Belanda. Pengajuan revisi KUHP bertujuan untuk menghilangkan pengaruh hukum buatan Belanda dalam sistem hukum di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat karena adanya perubahan zaman. Terhitung sudah 13 kali upaya revisi KUHP dilakukan sejak 40 tahun terakhir. Sejak itu pula, bergulir satu persatu pasal-pasal kontroversial yang semakin mengundang pro kontra seiring berjalan waktu.
Diakhir periode kekuasaan ini, upaya revisi kembali bergulir. Beberapa pasal yang menuai perhatian adalah pasal terkait perzinahan, kepemilikan, dan yang menjadi sorotan utama aksi mahasiswa 4 hari terakhir adalah pasal terkait pidana korupsi dan penghinaan terhadap presiden. Beberapa ahli bahkan menilai pasal-pasal dalam RKUHP adalah pasal ngawur yang bias dan multi tafsir. Wajar jika menuai pro kontra. Untuk itu presiden dan ketua DPR menegaskan akan menunda pengesahan RKUHP dan melakukan pengkajian ulang. Pertanyaannya, apakah revisi KUHP adalah jawaban atas permasalahan negeri ini?
Faktanya, revisi KUHP ibarat mengganti es krim vanila dengan rasa ubi jalar. KUHP yang bernuansa Belanda hendak diganti dengan RKUHP yang lebih nasionalis macam campur sari. Padahal baik KUHP versi Belanda ataupun versi campur sari sama-sama mengandung ketidaktaatan kepada Allah, sebab bukan Allah yang dijadikan sebagai standar dalam menetapkan hukum.
Sebagai seorang muslim tentu kita bertanya apakah benar adanya KUHP ini dalam mengatur hubungan antara negara dan warga negaranya sementara Islam telah memberikan seperangkat aturan yang sangat sempurna dalam mengatasi semua permasalahan manusia. Islam sebagai syariat, mengatur tidak hanya hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan dirinya sendiri tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya termasuk hubungan negara dengan warga negaranya. Apa yang ada didalam KUHP ini jelas melangkahi hak Allah dalam memutuskan perkara diantara manusia. Allah berfirman:
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka...”QS. Al Maidah:49
KUHP lahir dari alam pikiran sekulerisme. Dalam sekulerisme agama senantiasa dikompromikan dengan kehendak yang berkepentingan dengan pembuatan hukum, bisa korporasi, LSM, negara asing, para politisi dan juga parpol. Oleh karena itu, kontroversi pasti terjadi karena adanya perang kepentingan. Karenanya, haram menerima KUHP semacam ini apalagi menerapkannya dan menjadikannya acuan hukum.
Bentuk kodifikasi hukum ini tidak dikenal didalam Islam. Sesuatu yang disusun berdasarkan metode kodifikasi hukum tidak dapat dijadikan sebagai rujukan dan sandaran dalam pengambilan hukum sebab termasuk salah satu bentuk penyerupaan terhadap perundang-undangan barat. Selain itu, kodifikasi semacam ini merupakan bentuk ringkasan dari fiqih yang lebih banyak mengambil masa’il fiqhiyah yang tidak ada dalilnya atau dalilnya lemah, juga diwarnai dengan penyesuaian terhadap zaman dan adanya takwil agar selaras dengan pandangan barat dalam memecahkan problematikanya, hal ini akibat adanya kelangkaan dari segi tasyri’ dan ijtihad. Bentuk kodifikasi adalah usaha yang bersifat taklid yang dapat melemahkan pengetahuan kaum muslim terhadap fiqih Islam walaupun khazanah fiqih Islam sangat kaya. Dengan adanya kodifikasi ini telah mengkerdilkan dan mempersempit fiqih, sehingga para hakim tidak akan mengenal fiqih apabila mereka hanya mencukupkan diri pada perundangan yang sudah ada. Kodifikasi semacam ini tidak akan mampu secara luas menyelesaikan perkara yang faktanya beraneka ragam dimasyarakat. Kodifikasi ini akan cenderung memunculkan tafsir ganda yang menyebabkan bias dalam menyelesaikan masalah dimasyarakat.
Didalam sistem Islam, di angkat para qodhi dan mujtahid yang mampu berijtihad dengan khazanah keilmuwan fiqih yang sangat luas dalam menggali hukum dan memutuskan suatu perkara dimasyarakat. Para qodhi dan mujtahid ini tidak akan sekedar bertaklid terhadap kodifikasi yang ada apalagi menetapkan hukum yang baru terhadap perkara yang sudah Allah tetapkan didalam nash syara. Dengan begitu, syariat islam mampu menyikapi setiap perkara yang mengalami perubahan bentuk seiring perubahan zaman.
Wallahu a'alam Bish shawabi