Oleh : Heni Andriani
Sepertinya suara - suara referendum terus bergulir seiring dengan memanasnya suhu politik di Indonesia. Berbagai gesekan kepentingan terus menyerang bumi cendrawasih. Bahkan mereka yang menginginkan kemerdekaan menggalang kekuatan dengan menyerukan aksi mogok nasional sebagaimana yang dilansir dari media online.
Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai West Papua untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat.
"Kita sudah serukan rakyat Papua untuk melakukan mogok sipil nasional di wilayah West Papua, untuk mendesak Jakarta membuka ruang referendum di Papua Barat," kata dia, dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Sabtu (31/8).
Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Papua tidak memiliki hak referendum. Karena menurut perjanjian New York tahun 1962, bahwa Irian Barat yang kini menjadi Papua dan Papua barat, telah masuk dalam daftar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan negara yang terjajah. Oleh karena itu, saat ini Indonesia tidak memiliki UUD yang membahas tentang referendum.
Pernyataan yang disampaikan ini terjadi bukan tanpa alasan karena berbagai hal yang memunculkan upaya referendum diantaranya karena konflik di Papua sangatlah kompleks yang pernah ada setelah Indonesia merdeka. Di Papua konflik politik, konflik adat, konflik ekonomi, konflik hukum bercampur menjadi satu.
Sebagai contoh konflik sosial ekonomi diantaranya, terjadinya
kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang.
Tanah Papua yang menyimpan kekayaan yang melimpah ternyata tidak memberikan kesejahteraan untuk mereka justru kecemburuan sosial semakin terasa.
Dalam kondisi saat ini pemerintah seolah - olah membiarkan Papua dalam keterpurukan bahkan atas nama mengangkat budaya leluhur, meningkatkan sektor pariwisata masyarakat disana masih terbelakang. Berbagai janji yang diberikan pemerintah membuat masyarakat Papua semakin kecewa dan merasa di anak tiri kan.
Selain itu, faktor pendidikan yang rendah, membuat mereka sangat mudah di bodohi dan diprovokasi oleh orang - orang yang memiliki berbagai kepentingan terhadap bumi cendrawasih yang kaya dengan potensi alamnya.
Belum lagi persoalan dari luar seperti kehadiran PT. Freeport Indonesia yang telah lama mengeruk kekayaan tambang yang berupa emas, sementara masyarakat Papua masih kurang sejahtera. Bahkan kehadiran perusahaan ini banyak menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan, kesehatan dan sosial ekonomi. Siapapun yang mengais rezeki dari sisa hasil tambang kerap mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi. Sementara keuntungan hanya dinikmati oleh para pejabat negeri ini yang hanya menuruti titah tuannya yaitu Barat.
Faktor pemicu konflik lain adanya penghinaan pada mahasiswa di Surabaya beberapa pekan lalu, yang berujung keinginan kuat masyarakat Papua untuk merdeka, tidak membuat pemerintah serta merta meminta maaf, inilah bukti bahwa mereka tak peduli jika Papua lepas dari NKRI.
Semua ini akibat dari diterapkan sistem demokrasi kapitalis dimana adanya indikasi campur tangan asing yang membantu kelompok separatisme Papua yang sudah hadir sejak kehadiran kedubes Amerika di kongres Papua. Mereka berusaha memecah belah Indonesia dengan meniupkan api referendum melalui kaki tangannya. Sistem demokrasi kapitalis berusaha mengeruk keuntungan dari bumi cendrawasih ini.
Oleh karena itu hendaknya seluruh komponen bangsa ini bersatu padu agar Papua tidak memisahkan dari NKRI. Harus dipahami pula bahwa upaya referendum hanya akan membawa kesengsaraan bagi masyarakat Papua itu sendiri karena yang diuntungkan adalah asing.
Harus disadari oleh seluruh komponen masyarakat dan bangsa baik sipil maupun militer tidak memberikan kesempatan kepada penguasa seperti dulu mereka telah melepaskan Timor-Timur dari negeri tercinta kita ini.
Wallohu a'lam bishowab