(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Media sosial dipenuhi dengan berita gelombang demonstrasi yang dilakukan ribuan mahasiswa di seluruh penjuru Indonesia. Mahasiswa yang selama ini dianggap sedang pingsan, banyak dipuji karena telah siuman. Mereka tergerak dengan isu yang sedang santer dijadikan bahan debat berbagai pihak, yakni mengenai revisi UU KPK dan revisi KUHP. Gelombang demonstrasi ini bergerak mulai tanggal 23 september 2019 sampai dengan 26 september kemarin di Surabaya.
Seperti diketahui, beberapa laman berita media menyebutkan bahwa, muncul usulan perubahan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 5 September 2019. Dan yang lebih mengejutkan, semua fraksi setuju merevisi UU tentang KPK. Jika pembahasan berlangsung mulus, maka revisi tersebut bakal disahkan pada September ini, sebelum masa jabatan anggota DPR periode ini habis. (www..tempo.co, 9/9/2019).
Sebagaimana yang dilansir oleh www.liputan6.com, pada 17/9/2019, Selang beberapa waktu akhirnya DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK menjadi undang-undang dalam sidang paripurna.
Sebenarnya ada hal menarik yang perlu kita telisik. Pro kontra revisi UU KPK yang terjadi, dinilai dari efektifitasnya dalam mencegah korupsi, seharusnya menyadarkan kita bahwa sistem yang dijalankan selama ini belum tepat. Karena terbukti tidak mampu mencegah dan memberi efek jera pada pelaku korupsi. Korupsi terus saja berulang, tanpa menemukan solusi.
Sistem yang diterapkan di negeri ini, menjadikan manusia sebagai pihak pembuat hukum, termasuk masalah korupsi. Inilah akar masalah kenapa korupsi tidak bisa diselesaikan. Aturannya cacat dari lahir karena bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Maka kita butuh sistem alternatif, Yaitu sistem Islam yang bersumber dari Sang Pencipta. Sistem tersebut sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan memberikan ketentraman jiwa.
Dalam sistem islam ada tiga pilar yang akan digunakan untuk mencegah korupsi. Pertama, Islam membentuk individu yang bertaqwa. Ketaqwaan inilah yang akan menjadikan halal haram sebagai standar perbuatannya. Jika hal ini sudah tertanam kuat dalam setiap individu maka sebenarnya tidak begitu diperlukan lembaga pengawas khusus mencegah korupsi. Karena kontrol terkuat perbuatan adalah keimanan. Disinilah pentingnya penanaman aqidah islam sejak dini dan juga keterikatan hukum syara’ baik di tataran keluarga, sekolah, masyarakat dan negara.
Kedua, Islam membentuk dan membudayakan kontrol masyarakat. Hal ini akan terlihat dalam aktivitas saling menasehati (dakwah) antar anggota masyarakat. Jika terlihat ada indikasi yang mengarah pada pelanggaran syariat (korupsi) akan dinasehati/diingatkan. Hal inilah yang tidak ada dalam sistem saat ini. Karena masyarakat cenderung individual dan cuek, apalagi ada payung berupa undang – undang tentang kebebasan.
Ketiga, Islam membentuk ketegasan negara. Karena ada syariat tertentu yang hanya bisa dilaksanakan oleh negara seperti sistem persanksiaan. Termasuk sanksi korupsi.
Korupsi dalam syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa`in, termasuk di dalamnya adalah penggelapan uang yang diamanatkan atau dipercayakan kepada seseorang. Adapun sanksi (uqubat) untuk khaa`in (pelaku khianat) adalah sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan.
Demikianlah solusi yang ditawarkan islam dalam menangani korupsi. Sehingga diyakini mampu menyelesaikan kasus korupsi sampai ke akar – akarnya. Perubahan UU yang terjadi saat ini sesungguhnya tidak akan pernah sampai pada inti masalahnya, karena hanya menyentuh permukaannya saja. Belum saatnyakah kita bersatu untuk mewujudkan sistem alternatif yang akan membawa solusi yang solutif untuk kita semua..?
Wallahu a’lam bi ash showab.