Oleh: Nia
Presiden Joko Widodo dalam sidang di parlemen pada 16 Agustus silam telah mengutarakan rencana pemindahan ibu kota. Namun, lokasi pastinya belum diumumkan. Dan dalam wawancara dengan Tempo pada 19 Agustus 2019, dia mengatakan lokasi bakal ibu kota baru mengerucut di dua lokasi. "Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.".
Adapun alasan yang dikemukakan dalam pemindahan ibu kota karena adanya data yang menunjukkan bahwa Jakarta tenggelam rata-rata 1-15cm per tahun. Hampir setengah kota sekarang berada di bawah permukaan laut. Kota Jakarta ini terletak di tanah berawa dan Laut Jawa terus mengikisnya, sementara 13 sungai mengalir melaluinya. Selain itu, kemacetan Jakarta sudah sangat terkenal seantero dunia. Pada 2016, sebuah survei menunjukkan bahwa Jakarta merupakan kota dengan tingkat kemacetan terburuk di dunia. Para pejabat pemerintah bahkan harus dikawal oleh konvoi polisi agar sampai di tempat pertemuan tepat waktu. Jakarta ditambah daerah-daerah penyangganya memiliki populasi 30 juta. Namun, hanya sekitar 2-4% dari air limbahnya yang diolah.
Namun pemindahan ibu kota ini diperkirakan akan menelan biaya hingga lebih dari Rp460 triliun. Ibu kota baru pun akan membutuhkan area seluas 30.000 hektare hingga 40.000 hektare untuk menampung sekitar 900.000 hingga 1,5 juta orang. Walaupun niat Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan ibu kota tanpa membebani kantong negara boleh saja diacungi jempol. Sebab rencananya akan memanfaatkan aset DKI Jakarta senilai Rp150 triliun, tetapi kini Jokowi juga ingin menjual lahan di sekitar ibu kota baru ke swasta. Lahan yang akan dijual kepada swasta memiliki luas 30 hektare (ha) dengan asumsi harga Rp2 juta hingga Rp3 juta per hektare (ha). Dari hasil jual lahan tersebut, ada potensi pendapatan sebesar Rp600 triliun-Rp900 triliun yang bisa masuk kantong pemerintah.
Dengan adanya perkiraan biaya pemindahan ibukota yang hampir menyentuh angka Rp466 triliun ini, jika difikir mendalam akan malah menambah beban kepada rakyat. Sebab penggunaan dana negara tidak akan cukup untuk menanggung biaya pemindahan itu, maka jalan pintas yang lagi-lagi akan dipakai tidak lain adalah menambah hutang negara. Hutang yang akan membengkak menjadi 38.7 persen, siapa yang akan membayar? Rakyat? Dengan cara bagaimana rakyat bisa membayar hutang tersebut sedangkan saat ini kondisi ekonomi negara kita sendiri juga sedang melemah, dimana pengangguran meningkat dimana-mana, ancaman PHK pun menyapa di depan mata karena kondisi ekonomi negara yang sulit ini. Apakah akan digunakan lagi cara pemerintah dalam menutupi hutang negara itu dengan kenaikan pajak dan penghapusan subsidi bbm dan listrik?
Jika rencana tersebut tetap dipaksakan, maka tak khayal jika pilihannya tidak lain adalah meminta pinjaman ke China. Padahal seperti yang kita ketahui ini merupakan jerat hutan yang akan merugikan dan membahayakan ekonomi negara kita sendiri. Karena dengan adanya peminjaman hutang ke China maka akan ada konsekuensi yang didapatkan dari peminjaman tersebut. Mulai dari bahan baku, mesin yang digunakan untuk pembanguanan ibu kota baru sampai tenaga kerja yang melaksanakan pembangunan tersebut akan didominasi oleh perusahaan China. Dari konsekuesi ini, bagaimana tidak jika pekerja dan pengusaha dalam negeri sendiri hanya mampu gigit jari dan menanggung biaya pelunasan hutang. Tidakkah kasus gagal bayar hutang dari negeri Sri Lanka, Nigeria dan negara Afrika lainnya menjadikan pembelajaran untuk tidak menambah jeratan hutang dengan China.
Pemindahan ibu kota sendiri dalam Islam memang bukan hal yang asing, karena nyatanya pada masa Khilafah dulu pun pernah melakukan pemindahan ibu kota. Pada sejarah tercatat sedikitnya empat kali terjadi pemindahan ibu kota dalam peradaban Islam. Perpindahan pertama adalah dari Madinah ke Damaskus pada awal Bani Umayyah. Damaskus saat itu sudah ibukota musim panas kekaisaran Byzantium. Perpindahan kedua adalah saat kebangkitan Bani Abbasiyah dari Damaskus ke Baghdad. Baghdad adalah kota yang dibangun baru, menggantikan Ctesiphon, ibukota Persia. Perpindahan ketiga adalah pasca hancurnya Baghdad oleh serbuan Mongol, dan pusat Khilafah lalu dipindah ke Kairo. Kairo sendiri sudah ada di delta sungai Nil itu sejak zaman Fir’aun. Sedang terakhir adalah perpindahan dari Kairo ke Istanbul, ketika Khalifah terakhir Abbasiyah mengundurkan diri setelah melihat bahwa Bani Utsmaniyah lebih berkemampuan untuk memimpin dunia Islam dan mendakwahkannya ke seluruh dunia. Adapun Istanbul telah berdiri lebih dari 1000 tahun karena dibangun oleh Kaisar Konstantin. Dengan demikian, satu-satunya ibukota Khilafah yang praktis dibangun dari awal hanyalah Baghdad.
Namun pemindahan ibukota yang dilakukan pada masa itu adalah untuk kepentingan politik Islam, bukan untuk kepentingan asing dan aseng yang ingin menguasai negara. Maka tak heran jika peerencanaan yang luar biasapun disusun dengan mengumpulkan para arsitek, insiyur dan surveyor dari seluruh dunia didatangkan untuk membuat perencanaan kota. Dan negara dengan tegas mengatur kepemilikan tanah berdasarkan syariat Islam. Tanah pribadi yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun pun akan ditarik kembali oleh negara, sehingga selalu tersedia dengan cukup tanah-tanah yang dapat digunakan untuk membangun fasilitas umum. Sehingga setiap kebijakan pembangunan dalam Islam berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Oleh karenanya pemindahan ibukota dengan kembali berhutang hanya akan semakin mencekik leher rakyat dengan berbagai ketimpangan sosial yang akan tetap bermunculan bahkan semakin melebar. Hal ini tak lain karna sistem kapitalis yang diemban negara ini dan membuat semua kebijakan diabadikan untuk kepentingan pemilik modal. Lalu, dimanakah keuntungan untuk rakyat?