Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
DPR dan Pemerintah untuk sementara sepakat usia pernikahan terendah adalah 19 tahun. Namun, Farksi PKS dan PPP disebut masih berkukuh dengan batas usia yang lebih rendah. Hal itu telah diputuskan dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I Panitia Kerja (Panja) DPR RI Revisi Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersama pihak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA) (CNN Indonesia, 13/09/2019).
Bahwa, kedua pihak sepakat untuk merevisi secara terbatas Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan terkait batas usia minimal pernikahan. Diketahui, pasal tersebut saat ini memuat ketentuan bahwa batas minimal usia pria kawin adalah 19 tahun dan batas minimal usia wanita adalah 16 tahun.
"Sudah ada kesepakatan dengan pemerintah jadi [usia] 19 [tahun]," kata Anggota Panja Revisi UU Perkawinan DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo alias Sara, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (13/9).
Anggota Panja RUU Perkawinan DPR dair Fraksi Partai Gerindra Rahayu Saraswati.Anggota Panja RUU Perkawinan DPR dair Fraksi Partai Gerindra Rahayu Saraswati. (CNN Indonesia/Tiara Sutari). Diketahui, keputusan Panja dan pemerintah saat ini berbeda dari keputusan rapat pada tanggal 3 September 2019. Saat itu, Panja RUU Perkawinan telah menyepakati 18 tahun merupakan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dan laki-laki.
Sara menjelaskan bahwa perubahan kesepakatan itu tak lepas dari lobi-lobi dari Kementerian PPA terbagap Panja DPR. Sebab, kata dia, Kementerian PPA tetap berkukuh batas usia pernikahan bagi perempuan tetap 19 tahun sesuai usulannya kepada DPR. "Tapi ini kan pertemuan antara Panja pemerintah dengan DPR. Nah panja pemerintah mengajukan 19. Dan setelah di lobi-lobi sepakat," kata dia.
Meski begitu, Sara menyatakan tak semua fraksi bersepakat dengan usulan batas minimal pernikahan usia 19 tahun bagi perempuan itu. PKS dan PPP, kata dia, tak sepakat atas keputusan tersebut. Meski demikian, Sara mengaku optimistis revisi terbatas pada UU Pernikahan itu ditargetkan tuntas pada rapat paripurna yang akan digelar di akhir September atau saat masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 berakhir.
"Saya enggak tahu apakah nanti posisi dari PPP dan PKS akan berubah atau tidak [saat di rapat paripurna]," kata dia. Terpisah, Anggota Panitia Kerja Revisi UU Perkawinan DPR RI dari Fraksi PKS Ledia Hanifa mengakui pihaknya menolak keputusan tersebut. Ia menyatakan PKS tetap pada sikap awalnya untuk mendukung usia 18 tahun sebagai batas minimal pernikahan bagi perempuan
"Jadi kalau menurut inline-nya UU itu usia anak kan sampai 18 tahun, tapi kan semangat kita mencegah perkawinan anak. Kemudian sudah masuk dalam UU itu berarti kan ketika 18 tahun lewat sehari aja dia bukan anak. Jadi sebetulnya, kalau pengaturan minimal ya sesuai dengan UU aja," kata Ledia.
Tak hanya itu, Ledia mengatakan revisi batas usia minimal pernikahan itu akan percuma bila pemerintah masih abai terhadap tugas lain dalam rangka melindungi anak. Salah satunya, kata dia, pemerintah harus merevisi Undang-undang tentang Perlindungan Anak terutama dalam hal pengasuhan dalam keluarga. "Gimana anak mau matang kalau di dalam keluarga enggak ada pengasuhan yang benar?" kata dia.
Diketahui, batas usia pernikahan di UU Perkawinan menuai kritik karena dianggap membuka peluang pernikahan anak. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan batas pernikahan anak perempuan 16 tahun adalah inkonstitusional. MK memerintahkan DPR untuk merevisi UU Perkawinan no 1 tahun 1974 (detik.com, 13/12/18). Keputusan ini sejalan apa yang selama ini dikampanyekan kelompok liberal dan pegiat gender yang mereka mengkampanyekan stop pernikahan dini.
Mengapa pernikahan di usia muda dimusuhi?. Pertama, karena ternyata ini adalah agenda global dari PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) telah menyepakati bahwa semua negara anggota harus lulus dalam menegakkan hukum yang melarang pernikahan anak-anak. Sidang panitia dengan 193 negara anggota yang membahas hak asasi manusia mengadopsi konsensus resolusi yang mendesak semua negara untuk mengambil tindakan tegas dalam mengakhiri "pernikahan anak-anak, pernikahan dini, dan pernikahan yang dipaksakan." (satuharapan.com, 2/12/14)
PBB telah menyatakan dalam konvensi bahwa hak anak harus dijaga yakni salah satunya tidak boleh ada pernikahan anak. PBB menetapkan siapa saja yang disebut anak. Anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun (anakmandiri.org 17/2/17). PBB menilai perkawinan di bawah usia 18 tahun sebagai pelanggaran HAM (voaindonesia.com 5/9/18).
Jadi Ini konvensi yang ditetapkan PBB namun pemerintah di negeri ini ikut-ikutan sebagaimana apa yang ditetapkan PBB, dengan merubah usia pernikahan, dengan berbagai alasan. Diantaranya "KPAI menilai perkawinan anak ini melanggar hak anak," ujar Komisioner KPAI Retno Listyarti (Tribunnews.com, 17/4/2018).
MK menilai batas usia pernikahan antara perempuan dan laki-laki yang berbeda bersifat diskriminatif (detik.com, 13/12/18). Pernikahan Dini Bisa Sebabkan Masalah Kesehatan (hellosehat.com, 30-10-18). Pernikahan dini akan menghasilkan keluarga yang tidak harmonis karena tidak adanya kesiapan mental seperti disebutkan dalam kabar-banten.com (21/9/18) “Hindari Pernikahan Dini Demi Terciptanya Keluarga Berkualitas”. Bahkan pernikahan dini dianggap sebagai sebuah pelanggaran hak asasi anak seperti disebutkan dalam wartakota.tribunnews.com (19-7-18).
Berbagai klaim mereka ini dikuatkan dengan bukti-bukti, dimana sebenarnya bukti tersebut tidak menguatkan apa yang mereka klaim, karena bisa terjadi resiko kesehatan, ketidaksiapan mental dan berujung pada perpecahan di dalam keluarga, KDRT dan seterusnya, bukan hanya terjadi pada mereka yang menikah diusia muda, mereka yang menikah pada usia yang jauh lebih dewasa, bisa terjadi hal yang sama, sehingga problemnya bukan pada usia.
Kedua, ada hal yang harus dipahami, ketika kampanye anti pernikahan dini dilakukkan begitu massif, sistematis, pada saat yang sama begitu luar biasanya kran dan pintu dibuka sangat lebar untuk pergaulan bebas.
Kemudian apa implementasinya, ketika para remaja terjebak dalam pergaulan bebas, mereka dilarang untuk menikah, lalu apa yang akan mereka lakukkan?, maka akan banyak kita temui penyimpangan-penyimpangan pelaku seksual, bahkan pergaulan bebas yang lebih berat lagi, mereka melakukkan perzinahan, diikuti oleh aborsi, berikutnya diikuti kekerasan-kekerasan seksual, bahkan sampai dengan pembunuhan. Seperti disebutkan dalam palembang.tribunnews.com( 5-11-18) sepanjang 2018 women crisis center terima 10 kasus, kekerasan dalam pacaran hingga ditinggal kabur saat hamil.
Ketiga, sadar atau tidak sadar kalau kita membiarkan kampenye ini terus berlangsung, dan negeri ini membenarkan kampanye global anti pernikahan di usia muda, sesungguhnya kita juga mengatakan bahwa hokum-hukum Allah adalah hokum yang tidak relevan dengan zaman, bahkan kita mengatkan bahwa hukum-hukum Allah tidak bisa dipraktekkan maka jauhilah hukum-hukum Allah itu.
Bahkan pegiat liberal mengatakan bahwa pernikahan dini itu dilakukkan lebih banyak karena faktor agama, jadi kalau seandainya banyak resiko karena pernikahan dini maka agama yang mentriger dan memicu pernikahan dini sehingga secara tidak langsung mengatakan bahwa agama fakor pemicu yang berbahaya ketika diterapkan sebagai aturan.
Melihat realita hari ini, sebenarnya apa yang harus dilakukan, disaat yang sama kita menghadapi kenyataan memang banyak anak-anak yang belum siap menikah pada usia muda. Solusi pertama, bahwa problemnya bukan pada usia, tapi bagaimana orang tuanya menyiapkan, bagaimana kesiapan dari lingkunga, dan bagaimana negara dengan sistemnya menyiapkan perangkatnya.
Negara harusnya memiliki kurikulum yang menyiapkan anak sejak dini sampai masa baligh mereka yaitu maksimal 15 tahun, mereka sudah siap dengan beban hukum. Termasuk siap menanggung amanah-amanah besar menjadi anak umat yang memiliki misi di bumi ini untuk menyebarkan risalah agung, yaitu risalah Islam.
Solusi kedua, kita tidak bisa memungkiri bahwa factor paling berkaitan dengan pernikahan dini adalah merajalelanya pergaulan bebas, kita juga patut bertanya kepada negara, yakni apa yang dilakukkan oleh negara untuk stop pergaulan bebas. Mengapa negara malah mengakomodir mereka yang berkampanye anti pernikahan dini padahal tidak ada satupun pendapat mazhab yang melarang pernikahan dini.
Kenapa negara tidak berkonsentrasi mencipatakan orangtua yang mampu mendidik anaknya dengan baik, mampu menghalangi anak-anaknya dari pergaulan bebas, mengapa negara tidak berkonsentrasi menciptakan media yang menghasilkan sebuah masyarakat yang menghasilkan generasi unggul.
Solusi ketiga, bagaimana negara bisa memastkan bahwa ratifikasi terhadap konvensi-konvensi global justru menegaskan bahwa negara tidak memiliki kemandirian. Seharusnya negara bisa memilah mana yang baik untuk negeri ini, dan tidak perul mengikuti konvensi-konvensi global untuk menata negeri ini, karena kita memiliki Islam.
Kalau negara mau memberlakukan Islam pada seluruh aspek kehiduapan, in syaa Allah persoalan hari ini yang begitu kompleks bisa terselesaikan dengan kembali kepada Islam, dengan menerapkan seluruh syariat Islam dalam naungan institusi penerap Islam kaffah.