Oleh : Tri Maya
(Anggota Revowriter)
Rencana pemindahan ibu kota makin nyata. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta izin kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada akhir pidato kenegaraannya Jumat (16/8) lalu.
Sebelum menutup pidato Jokowi meminta izin kepada semua peserta sidang dan rakyat Indonesia untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Ada 5 alasan mendasar yang dikemukakan Jokowi sehingga Kalimantan layak menjadi ibukota baru Indonesia, yaitu:
1. Lengkapnya infrastruktur di Kalimantan. Di daerah tersebut sudah terdapat bandara internasional, pelabuhan laut dan jalan tol.
2. Kalimantan Timur memiliki tiga stadion bertaraf internasional, yaitu Stadion Palaran Samarinda, Stadion Aji Imbut di Kutai Kertanegara, dan Stadion Batakan di Balikpapan.
3. Minim konflik sosial, karena penduduknya yang heterogen
4. Lahan yang luas
5. Potensi bencana alam minim
Pemindahan ibukota ini menjadi perbincangan hangat dimasyarakat. Mulai dari elite politik, hingga para pedagang sayurpun ikut andil atas obrolan tersebut. Dan menurut pemerintah, pemindahan ibukota ini adalah perkara urgent karena beban Jakarta sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa," kata Kepala Negara dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (16/8/2019). Jokowi, yang juga pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta ini juga menuturkan, Jakarta dan Pulau Jawa tak bisa dibiarkan terus menerus menanggung beban yang kian berat. "Kita tidak bisa membiarkan terus menerus beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah dan polusi udara dan air yang harus segera kita tangani," kata Jokowi. Dengan alasan itu, ujar Jokowi, ibu kota negara harus dipindah. Dan pemerataan ekonomi serta keinginan pemerintah mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia dengan konsep Indonesia sentris menjadikan pemindahan ibukota harus segera dilakukan.
Benarkah pemindahan ibukota solusi atas kesejahteraan?
Indonesia dengan ideologi kapitalis yang dianutnya saat ini ketika berbicara tentang kesejahteraan dan pemerataan ekonomi bagi seluruh rakyat itu terasa sangat mustahil terjadi. Fakta dan data berbicara jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 25,14 juta orang dengan perhitungan pendapatan per bulan Rp 1.990.170 per KK (bps maret 2019). Ironi memang ketika melihat data seperti ini. Pemerintah seolah mengklaim terjadi penurunan angka kemiskinan Maret 2019 sebesar 9,41 persen, menurun 0,25 persen poin terhadap September 2018 dan menurun 0,41 persen poin terhadap Maret 2018. Padahal itu data perkapita penduduk bukan data per individu penduduk Indonesia. Bagaimana bisa dikatakan angka kemiskinan menurun. Sedangkan setiap hari kita mendengar begitu banyak pasien RS terlantar karena tak mampu membayar. Pemandangan warga hidup di bawah kolong jembatan seolah sesuatu yang lazim. Anak-anak bersekolah bak indiana jones bergelantungan di jembatan kayu. Sementara disisi lain para cukong kapital semakin rakus meraup harta kekayaan milik umum (SDA tambang migas, dan lain-lain). Inikah yang dikatakan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi?
Sungguh sangat berbeda dengan Islam. Islam sebagai sebuah dien yang sempurna telah memiliki seperangkat aturan dari Sang khaliq. Ketika berbicara kesejahteraan, maka yang harus kita telisik adalah dengan paradigma system apa kesejahteraan itu dibangun. Di dalam Islam, definisi sejahtera adalah ketika hajah asasiyah (baik hajah asasiyah individu ataupun hajah asasiyah jamaah) mampu dipenuhi oleh Negara. Hajah asasiyah individu yaitu sandang, pangan dan papan. Sedangkan hajah asasiyah jamaah meliputi pendidikan, keamanan serta kesehatan.
Posisi Negara (Daulah) yang berfungsi sebagai Junnah (perisai) dan riayah su’un (pengatur urusan rakyat), menjadikannya berkewajiban memenuhi hajah asasiyah tersebut. Tanpa memandang apakah individu tersebut muslim ataukah non muslim. Sepanjang individu tadi adalah warga Negara Daulah, maka hak atas hajah asasiyah menjadi milik mereka dari Daulah.
Islam menggunakan sebuah mekanisme ekonomi dan non ekonomi dalam kerangka terpenuhinya kesejahteraan ini. Mekanisme ekonomi sebagai berikut:
1. Daulah akan mewajibkan bekerja bagi laki-laki baligh, berakal, dan mampu bekerja
2. Daulah wajib menyiapkan lapangan pekerjaan. Bisa dengan memberikan sejumlah lahan pertanian untuk dikelola, atau memberikan modal usaha, melakukan pembinaan, pelatihan atau training-training untuk peningkatan skill.
Mekanisme non ekonomi daulah yaitu:
1. Bagi penderita difabel atau para wanita (atau orang –orang tua) yang tidak lagi memiliki penanggung atas nafkah mereka, atau anak-anak terlantar, maka Daulah mendorong orang-orang kaya disekitar mereka untuk mau membantu nafkah mereka. Bisa dengan konsep zakat, infaq serta sadaqah.
2. Jika tidak ada orang kaya, maka Daulah akan menanggung kebutuhan hajah asasiyah mereka, yang pendanaan nya berasal dari Baitul Mal.
3. Daulah akan memberlakukan punishment / system sanksi. Jika terdapat laki-laki yang sebenarnya mampu bekerja, tetapi malas.
Disamping mekanisme ekonomi dan ekonomi, Islampun akan memiliki system ekonomi yang rinci membahas tentang 3 konsep kepemilikan (individu, umum dan Negara), tentang tasharuf (pemanfaatan harta), serta membahas tentang distribusi kekayaan. Dengan system ekonomi ini menjadikan harta milik umum seperti SDA tidaklah akan dapat dikuasai Asing/Aseng ataupun swasta nasional. SDA akan dikelola sendiri oleh Daulah. Yang kemudian hasil nya dipergunakan untuk membiayai kesejahteraan (pemenuhan hajah asasiyah) warga Negara Daulah. Begitu juga pendistribusian kekayaan menjadikan tidak akan pernah hanya beredar disekitar para cukong konglomerat saja. Akan dipastikan oleh Daulah, bahwa setiap individu warga Negara, terpenuhi hajah asasiyahnya. Terwujudlah kesejateraan hakiki yang bias dinikmati umat tanpa terkecuali.
Jadi, ketika yang dipakai adalah paradigm system Islam, maka kesejahteraan bukanlah ilusi. Sebaliknya jika yang dipakai masihlah system kapitalis-demokrasi, sudahlah pasti kesejahteraan ibarat mimpi disiang bolong. Bohong belaka, ketika mengatakan pemindahan ibukota bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, sedangkan system kapitalis masih diberlakukan. Karena sesungguhnya ada kepentingan capital asing mapun aseng dibalik pemindahan ibukota ini.
Wallahu a’lam bish shawab