Oleh: Ita Mumtaz
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memproyeksi defisit hingga akhir tahun mencapai Rp 28 triliun. Namun dengan perhitungan terbaru defisit meningkat menjadi Rp32,8 triliun.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan iuran BPJS Kesehatan akan naik di semua kelas. Langkah ini diambil untuk menyelamatkan BPJS dari defisit yang terus naik. "Semua kelas (akan naik). Karena antara jumlah urunan dengan beban yang dihadapi oleh BPJS tidak seimbang, sangat jauh," kata Moeldoko. (Tempo.co, 13/08/2019)
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat saat ini. Untuk membayar premi dengan jumlah yang sekarang saja tidak kuat. Apalagi mulai Januari tahun 2020 ada kenaikan harga yang harus dibayar setiap bulannya.
Di tengah-tengah harga kebutuhan bahan pokok yang kian melambung, harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik pun ikut meroket. Sementara upah minimum pekerja tetap rendah, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pengangguran semakin meningkat. Semuanya mengiringi beban tanggungan BPJS yang naik 100%. Sungguh, penderitaan rakyat semakin sempurna.
Ngerinya, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fahmi Idris mengatakan, pihaknya akan melakukan penagihan tunggakan iuran peserta BPJS mandiri. Mereka akan melakukan tagihan secara halus melalui online seperti lewat SMS, pesan WhatsApp dan lewat alamat email. Seperti yang disampaikan pada saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 2 September 2019 yang lalu.
Menteri keuangan Sri Mulyani pun memberikan wacana, bahwa peserta BPJS yang tidak membayar iuran, akan diberi sanksi yang cukup memberatkan terkait pelayanan umum. Sungguh kebijakan yang sangat menyengsarakan rakyat.
Pemimpin adalah pelayan dan pelindung umat. Seharusnya merekalah yang menjamin kebutuhan asasi umat, termasuk kesehatan. Tidak malah justru menyerahkannya kepada badan swasta, yang tentu saja orientasinya adalah keuntungan, bukan lagi demi kemaslahatan rakyat. Ini adalah bentuk berlepas tangannya penguasa terhadap tanggung jawabnya dalam memenuhi urusan rakyat.
Terbukti, fakta di lapangan menunjukkan bahwa BPJS kesehatan menimbulkan banyak masalah sejak awal berdirinya. Anehnya, kondisi keuangan katanya defisit, namun jumlah tunjangan direksi dan dewan pengawas BPJS naik hingga 2 kali gaji. Atas nama gotong royong dan sumbangan suka rela, sebenarnya rakyat diperas membayar iuran demi memperkaya sang direksi.
Jaminan Kesehatan dalam Islam.
Jaminan kesehatan ala BPJS jelas tidak sesuai dengan paradigma Islam. Atas nama jaminan untuk kesehatan rakyat, padahal hakekatnya adalah menjamin bercokolnya penjajahan ekonomi dan sosial dari kapitalisme.
Dalam pandangan kapitalisme, negara tidak memiliki kewajiban mengurusi kesejahteraan rakyat secara langsung, termasuk kesehatan. Rakyat dibiarkan sendiri menanggung beban hidup dan membiayai dana kesehatan. Pantas saja, dengan tega mereka mengatakan, bahwa kenaikan iuran BPJS ini juga perlu supaya masyarakat sadar bahwa sehat itu memerlukan biaya yang mahal.
Dalam Islam, jaminan kesehatan didapatkan rakyat dari pemerintah secara gratis. Kesejahteraan dan kesehatan merupakan kewajiban negara sekaligus hak rakyat.
Sejarah telah mencatat, pada masa kekhilafahan Abbasiyah jaminan kesehatan tidak hanya bertumpu pada kota namun sampai pelosok desa, bahkan hingga ke lingkungan penjara. Khilafah pada saat itu benar benar memperhatikan bidang kesehatan dengan layanan istimewa.
Hal ini seiring dengan sabda Rasulullah Saw: “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
Wallahu’alam bish-Shawab.