Oleh: Sela Devi Rahmawati (Aktivis Banjarbaru)
Kabar akan dipindahkannya Ibukota Indonesia bukan hal yang mengejutkan lagi, pasalnya kisruh pemindahan ini telah ramai diperbincangkan jauh sebelum Presiden RI resmi mengumumkannya pada Senin, 26 Agustus silam detik.com (26/08/2019) Presiden RI meminta izin kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke salah satu lokasi di Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Timur sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara.
Padahal penanggulangan bencana pasca tsunami di Banten, Lampung, Palu, gempa di Maluku dan di beberapa kota lainnya belum rampung. Semua itu seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah seutuhnya. Penyelesaian rusuh di Papua pun belum usai.
Abainya Pemerintah terhadap rakyat yang diberi janji juga belum selesai, seperti penyediaan lapangan pekerjaan, pelayanan jaminan kesehatan dan pendidikan, sembako murah, memberikan kesejaheraan nyata kepada rakyat Indonesia. Memasuki masa jabatan tahun ke-6 ini masih patut dipertanyakan realisasinya.
Mengatasi banjir dan macet di Jakarta adalah salah satu program kerja dan janji kampanye Jokowi dan Jusuf Kalla pada pemilu 2014 lalu (megapolitan.kompas.com). Dan dalih untuk melakukan pemindahan Ibukota dari Jakarta karena Ibukota sudah tidak mampu menjadi Ibukota negara besar karena macet, banjir, tercemarnya air sungai, polusi udara dan masalah lainnya. Pemindahan ini seolah terburu – buru sehingga meskipun banyak simpang siur dan penolakan yang terjadi, Pemerintah tetap akan melaksanan pemindahan tersebut pada 2020 mendatang.
Dilansir pada detik.com bahwa estimasi biaya untuk pemindahan pembangunan Ibukota membutuhkan dana sebesar Rp 466 T. ‘’Untuk itu Pemerintah menyiapkan asset disekitar Jl. Thamrin dan Jl. Sudirman Jakarta untuk pendanaan pemindahan tersebut, dimana salah satu komponen utama pemindahan bersumber dari APBN. Kepala BAPENNAS Bambang Brojonegoro menjelaskan komponen APBN yang akan digunakan berasal dari sisi belanja Negara yang harus dibiayai dari penerimaan pajak. Selain itu skema pendanaan yang digunakan untuk pemindahan Ibukota yakni dengan memanfaatkan asset di Jakarta seperti di kawasan Thamrin, Medan Merdeka, Kuningan dan Sudirman. Dengan menggunakan asset ini Pemerintah menargetkan bisa mendapat dana segar sebesar Rp 150 T”. Lagi lagi jual asset Negara, yang tidak lain ditujukan kepada investor asing dan para Kapitalis. Dengan kata lain menggadaikan Negara untuk biaya pembangunan Negara.
Juga dilansir pada regional.kompas.com bahwa Presiden RI berencana menjual sekitar 30.000 Hektar tanah di Kaltim untuk swasta yang akan digunakan sebagai penopang pembangunan Ibukota Negara. Jika tak mampu membangun negeri maka jangan jual negeri ini, dimana artinya rakyat akan mengungsi di rumah sendiri.
Memindahkan ibu kota berarti membangun kota baru, sarana pra sarana, lajur transportasi dan lain sebagainya yg tentu memerlukan dana sangat besar. Dari mana dananya? Mengandalkan investasi yg sama saja utang. Utang luar negeri ULN..Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir triwulan ll 2019 tercatat sebesar USD 391,8 miliar atau Rp 5.601 T (Rp 14.296 per Dolar AS (Liputan 6.com) Belum lagi bunga yang terus naik tiap tahunnya, bahkan Pemerintah harus kembali berhutang dengan membayar bunga tersebut.
Membangun Ibukota baru justru akan menambah beban hutang baru. Ini berimbas pada naiknya pungutan pajak, iuran BPJS, tarif listrik, harga BBM, diikuti dengan naiknya harga sembako dan bahan pangan lainnya yang membuat rakyat tercekik. Jebakan penjajah dengan memberikan pinjaman lunak kepada negeri ini terlihat jelas, maka seharusnya focus pemerintah bukan lagi memindahkan Ibukota, tapi justru memberikan pelayanan yang terbaik untuk masyarakat serta melunasi beban hutang yang ada tanpa menambah beban hutang baru.
Sisi negativ dari pindahnya Ibukota negara selain bertambahnya ULN dan dijualnya beberapa aset negara diantaranya adalah dengan memakan lahan sekitar 65.000 HA , serta pembangunan gedung pemerintahan sekaligus tempat tinggal ASN dan TNI/Polri, kementrian dan lembaga juga pemindahan perangkat kerja dan komponen pendukung yang memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Ditambah dengan fasilitas publik dan transportasi umum yang harus dibangun bersama, justru akan membuka lebar gerbang investasi asing untuk berdatangan dengan menawarkan berbagai kerjasama, karena pusat kegiatan utama ada di Ibukota, dan kemunculan pusat pusat bisnis baru yang justru dimilki oleh Para Kapitalitalis. Jakarta yang tidak lagi menjadi Ibukota akan menjadi kota Industri dan bisnis perdagangan karena semakin mudah aksesibilitas dan mobilitasnya justru menambah beban serta kerugian yang ditanggung rakyat. Pasalnya tol yang semakin mahal , industri serta bisnis perdagangan dikuasai Asing-Aseng membuat masyarakat pribumi menjadi buruh untuk mereka.
Indonesia adalah Negara demokrasi yang aturan dan sumber hukumnya berasal dari manusia. Dengan situasi hari ini, sudahkah kita mampu melek mata dan melek fakta akan bobroknya sistem ini ?
Abainya pemimpin negeri, lupa janjinya, meningkatnya angka kemiskinan setiap hari, sulitnya perekonomian, minimnya lapangan pekerjaan, dipalaknya rakyat atas nama BPJS kesehatan, mahalnya biaya pendidikan, dicabutnya subsidi, tumpukan hutang yang tak kunjung dapat dilunasi serta minusnya APBN negeri ini cukup menjadi bukti. Lalu, masihkah bertahan dan diam dengan segala kezhaliman ini?
Negeri tercinta ini telah dijajah oleh Para Kapitalis Pemilik Modal dengan berbagai pinjaman hutang yang ditawarkan, dikeruknya SDA, eksploitasi alam, pemberdayaan perempuan, penjajahan kebudayaan. Negeri Ibu Pertiwi kini tak lagi aman. Maka kembali kepada syariat Islam adalah kunci utama dari segala problematika yang terjadi. Dengan aturan dan hukum yang berasal dari Pencipta-lah niscaya akan mendatangkan kebaikan dan kesejahteraan yang hakiki bagi seluruh umat.
Islam memberlakukan Syara’ sebagai asas peraturan, mengatur perekonomian bukan dengan sistem ribawi. Dengan mengambil alih Sumber daya alam dari campur tangan asing memungkinkan untuk memberikan lapangan pekerjaan sepenuhnya kepada rakyat Indonesia dan tetap memegang Papua untuk berada di Tanah Air. Serta dengan pengelolaan yang benar sesuai syariat maka dapat memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis berkualitas. Karena Negara dalam islam berperan untuk memastikan keadaan setiap individu terpenuhi kebutuhan primernya serta memastikan aqidah ummat terjaga, terutama dari neoliberalisme dan neoimperialisme. Inilah Negara Khilafah, yang mengembalikan kedaulatan kepada Tuhan, Allah SWT. Yang memberikan rahmat seluruh alam serta memberikan solusi dalam setiap permasalahan.
Dan sungguh apa yang menjadi amanah para penguasa akan Allah minta pertanggungjawaban, maka barangsiapa ingkar, sungguh berat hisab di hadapan Allah nanti
QS. Al Fath : 10
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”
Kembali kepada Islam adalah solusi, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. An-Nisa : 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Wallahu a'lam bisshowab