Oleh: RAI Adiatmadja
Konflik di Papua semakin pelik. Bahkan cenderung disengaja dan dibiarkan tanpa perbaikan dan jalan keluar yang nyata. Menurut Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komarudin Hidayat menyebut ada pihak-pihak yang merasa senang melihat Papua dan Papua Barat terlepas dan memisahkan diri dari Indonesia.
“Ada pihak-pihak yang memang senang bila Papua lepas dari Indonesia. Kata Komarudin di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (23/8)
Itulah responsnya dalam menanggapi terjadinya kerusuhan akibat pernyataan rasis yang terjadi di Papua dan Papua Barat belakangan ini.
Bahkan ia pun menegaskan, kalau keributan terus berlanjut dan Papua lepas, kita semua akan melewati kerepotan serta kerugian besar dalam menghadapi kondisi yang terjadi. Himbauannya agar masyarakat Papua, dan masyarakat Indonesia pada umumnya, untuk tidak terjebak pada iming-iming kemerdekaan yang semu.
Menurut Komarudin, Papua termasuk dalam kategori Ras Melanesia, dalam Ilmu Antropologi ras tersebut merupakan rumpun bangsa tertua di muka bumi. Masyarakat Papua pun memiliki karakter yang dikenal jujur dan apa adanya. Dari penjelsan genealogi tersebut tak pantas bila ada pihak yang melukai Papua dengan ujaran bernada rasis.
Pendapat Sandiaga Uno-mantan calon wakil presiden- Sandi merujuk kepada Badan Pusat Statistik (BPS), menurutnya angka kemiskinan di Papua meningkat hampir 60 ribu orang sejak tahun 2014 hingga 2018. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Papua mencapai 28 persen. Sementara Papua Barat hampir 23 persen.
Kemiskinan dan kebodohan di Bumi Cenderawasih memberikan gambaran betapa Papua tidaklah memiliki kemerdekaan yang nyata. Padahal melihat SDA yang begitu melimpah, seharusnya masyarakatnya tidak terkungkung dalam kondisi yang lemah, atas nama pelestarian budaya. Hari ini yang terjadi adalah ketimpangan ekonomi yang luar biasa mencekik warga Papua.
Menurut Sandiaga Uno pun, tingkat kemiskinan di Papua delapan kali lipat dibanding Jakarta.
Dengan konflik yang terjadi di Papua, kita bisa menguraikan beberapa fakta. Dari kerusuhan yang beberapa kali terjadi, hingga pemblokiran data internet yang diklaim merupakan bagian dari upaya tata kelola dalam menciptakan situasi kondusif di sana. Benarkah hal tersebut bisa menanggulangi konflik yang terjadi? Jawabannya, solusi untuk meredakan konflik tentu tidak bisa separsial itu. Butuh sistem yang menyeluruh hingga bisa menyelamatkan Papua dari bulan-bulanan dan cengkeraman Amerika.
Derita Papua bukan kali pertama, akan tetapi akumulasi dari penjajahan yang mencengkeram mereka, dari pendidikan, kesejahteraan, hingga keamanan, yang tidak mereka terima secara adil. Pencurian sumber daya alam besar-besaran secara sistemik, menggerus hak mereka hingga keinginan merdeka dan memisahkan diri dari Indonesia bukan sekadar merajuk belaka. Gerakan separatis pun tidak bisa ditangkis, meski ada sebagian pihak yang berkata bahwa itu adalah bagian aspirasi yang harus diterima.
Inilah buah dari kapitalisme yang menjadi pijakan sistem, seyogianya sistem ini telah berpenyakit kronis sekian lama. Dengan gelimang proyek investasi dan infrastruktur, tidak memberikan berlimpahnya dampak positif bagi mereka, justru membuat mereka kian terpuruk, terjajah di negeri sendiri, mengemis pada cukong kapitalis, miskin secara hakiki padahal kekayaan di Bumi Cenderawasih tersimpan di mana-mana, menjadi incaran negara pemilik modal yang berjiwa rakus. Penanganan Papua dan Papua Barat selalu gagal menyentuh akar dan sumber masalahnya, sehingga solusi pun tak kunjung bisa ditemukan.
Merdeka yang didamba Papua sesungguhnya dan seharusnya bukanlah lepas dari Indonesia. Lepasnya Papua akan tetap menuai bencana. Selain kerugian besar negara, pun mereka tak akan bisa tegak berdiri sendiri karena sumber daya alamnya akan terus menerus menjadi incaran pemangsa. Akan senantiasa diintai kebodohan, kesengsaraan, kemiskinan, dan derita yang tak berjeda.
Solusi dari segala konflik yang terus beruntun terjadi, hanyalah kembali kepada tatanan seharusnya yang telah Allah perintahkan, yakni sistem Islam. Kesejahteraan umat yang menjadi bagian pentingnya adalah permasalah ekonomi, sistem Islam memandang bahwa masalah ekonomi adalah distribusi kekayaan yang tepat sehingga memungkinkan setiap individu untuk mendapatkan bagian keuntungan, serta mencegah akumulasi kekayaan di tangan orang-orang tertentu saja (swasta) apalagi yang bermental penjajah. Tak akan ada kebodohan yang terkesan dilestarikan, tak akan ada nilai-nilai budaya yang melanggar Syariat Islam, sehingga kesejahteraan akan cepat sekali terwujud dan dirasakan oleh seluruh umat. Bukan untuk umat Islam semata tetapi merata ke seluruh penjuru dunia.
Selama sistem kapitalis eksis, kehidupan manusia akan senantiasa dihantui krisis. Perlu tumbuh kesadaran dan keinginan untuk bangkit di dalam langkah kita untuk kembali memperjuangkan tegaknya Khilafah Islam, sistem inilah yang akan mampu menyebarkan kebahagiaan dan kehidupan ekonomi yang sehat, melahirkan SDM yang cerdas dalam mengelola kesejahteraan umat, pun SDA yang tidak akan sia-sia dan dikeruk kejahatan penjajah, pemantik konflik kecil menjadi besar pun tentu tidak akan ada, seperti hal yang terjadi di Papua. Mari tak meragukan tentang keberhasilan khilafah dalam mengelola kesejahteraan umat.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.