Pariwisata dalam Balutan Tradisi



Oleh Lulu*


Pada Sabtu, 14/9 jalan menuju makam Gunung Jati penuh sesak. Berbagai atribut dan kendaraan karnaval memenuhi jalan. Para penonton yang jumlahnya puluhan ribu berdiri sepanjang jalan menyaksikan arak-arakan. Mereka datang dari berbagai wilayah, bahkan dari luar kota.


Ratusan ogoh-ogoh atau replika patung buatan warga Gunung Jati, akan diarak untuk memeriahkan Festival Budaya Cirebon. Sejak jauh-jauh hari warga Desa Astana maupun desa-desa tetangga mulai membuat ogoh-ogoh. Arakan atau biasa dikenal masyarakat dengan ider-ideran mulai dari Desa Astana hingga Krucuk, Kecamatan Kejaksan, Kota Cirebon. 

 

Kegiatan yang disebut sebagai agenda Kementerian pariwisata daerah hingga nasional tersebut, dihadiri perwakilan pusat, provinsi hingga kabupaten. Dengan dalih pelestarian tradisi bangsa, sedekah bumi dan Nadran Gunungjati yang menjadi agenda pariwisata tahunan pemerintah.


Bahkan aparat kepolisian menjaga berlangsungnya acara. Sebab rawan terjadi tindak kriminal, tawuran, perkelahian massal maupun gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) lainnya. Apalagi acara juga diisi pagelaran wayang kulit, sandiwara dan hiburan organ dangdut dengan menghadirkan sejumlah artis tarling Cirebonan. Besar peluang terjadi kerusuhan.


Nadran adalah acara ritual untuk  mencari berkah dan meminta keselamatan. Sedangkan sedekah bumi, merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil laut dan pertanian dengan membawa hasil pertanian dan kepala kerbau.


Bentuk kearifan lokal yang digadang-gadang meningkatkan ekonomi nelayan, diharapkan bisa mendatangkan wisatawan. Padahal itu adalah kemusyrikan yang dipelihara. Demi menambah kas pemasukan daerah bahkan pusat, berbagai kebiasaan kufur diangkat ke permukaan bahkan dipertontonkan. 


Melestarikan budaya rusak adalah bentuk pelestarian kebodohan umat. Ia juga akan mendatangkan murka Allah. Larung sesaji dan ogoh-ogoh, dilarang Islam. Oleh sebab itu perlu kerja sama ulama dengan Pemerintah Daerah untuk mengembalikan predikat Kota Wali yang lekat dengan Cirebon. 


Umat pun perlu dikembalikan pada akidahnya yang sahih. Memberikan mereka jalan yang benar bersyukur kepada Allah. Sebab Islam sebagai agama yang syamil wa kamil telah menuntun umat dengan panduannya yang jelas. Bersyukur melalui nadran atau sedekah bumi, jelas bertentangan dengan Islam.


Ditambah lagi dengan berbagai ritual ibadah seperti memberi sesaji ke laut dengan harapan panen berikutnya mendapat hasil yang lebih banyak lagi. Sayangnya hal ini justru dianggap penguasa daerah sebagai hal baik yang patut dipelihara, bahkan dikemas dalam bentuk hiburan untuk menarik wisatawan.


Oleh sebab itu dakwah perlu terus dideraskan. Menghilangkan segala bentuk kekufuran dan penyembahan terhadap selain Allah. Bersyukur dan memohon perlindungan, mengikuti tata cara yang ada di dalam syariat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).


*Muslimah Penulis dari Cirebon.






Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak