Mewujudkan Kemerdekaan Hakiki, Bisakah?





Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Selalu ada semangat yang berkobar di balik perayaan kemerdekaan suatu negara. Berkunjung ke satu negara ketika negara itu sedang merayakan hari kemerdekaan bisa menjadi pengalaman yang menarik bagi turis. Situs mesin pencari penerbangan, Momondo merangkum sejumlah selebrasi hari kemerdekaan termeriah dari berbagai negara. Indonesia menjadi salah satunya, lho! (KOMPAS.com, 17 Agustus 2019).

Hari telah berubah minggu, minggu telah berubah bulan, dan bulan telah berubah tahun. Tak terasa, negeri yang katanya telah merdeka di tahun 17 Agustus 1945 kala itu, kini telah berusia 74 tahun lamanya. Berbagai macam agenda desa hingga negara tampaknya sudah dirancang sedemikian rupa.

Kegiatan bersih desa, umbul-umbul berwarna merah putih, lampu warna-warni dan berbagai hiasan yang mengandung unsur merah putih terpasang di sekitar rumah dan di sepanjang jalan. Tentunya, berbagai macam jenis lomba akan turut ada seiring dengan menyemarakkan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang ke-74 ini.
Balap karung, tarik tambang, makan kerupuk, pukul air, panjat pinang, sepeda hias, fashion show, dan lain sebagainya pasti diadakan sebagai bentuk perayaan kemerdekaan. Baik dalam tingkat nasional, provinsi hingga desa, instansi-instansi, organisasi dan komunitas, atau bahkan acara keluarga besar.
Pertanyaannya, apakah sesimple itu untuk memperingati HUT RI? Bukankah memperjuangkan kemerdekaan ini rumit dan bahkan sampai harus berdarah-darah? Lantas apa hubungannya dengan perayaan kemerdekaan tadi? 
Coba kita amati lagi, apa arti kemerdekaan itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kemerdekaan bermakna bebas, lepas dan tidak terjajah. Jika demikian, maka layakkah Indonesia dinyatakan sudah benar merdeka? Mungkin benar, sebab secara fisik Indonesia merdeka dari para penjajah. Namun nyatanya, Indonesia belum merdeka seutuhnya karena masih terjajah secara non fisik atau non militer.
Kita lihat bagaimana negara asing dan aseng yang masuk ke negeri ini dengan menanamkan pengaruh ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan lain sebagainya. Kekayaan alam terus dikeruk oleh asing dengan mengatasnamakan kerja sama yang saling menguntungkan. 
Namun faktanya tidak demikian. Indonesia tidak memiliki otoritas dalam mengatur SDA sebab saham yang dimiliki hanya sekian persen. Justru keuntungan dari hasil SDA (tambang emas, perak, batu bara, dan lain sebagainya) itu sendiri masuk ke dalam kas negara asing dan aseng.

Di sisi lain, Indonesia menyibukkan diri dengan menambah komoditas pajak untuk meningkatkan pemasukan pajak. Empek-empek dan nasi bungkus pun tak terlewatkan untuk dikenai pungutan pajak.

Belum lagi harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar Listrik (TDL) yang perlahan-lahan semakin mahal. Harga bahan pokok pangan semakin susah untuk diperoleh, impor besar-besaran, harga petani anjlok, kemiskinan meningkat, dan kesenjangan sosial semakin melebar (sebab kapitalisme). Rakyat semakin terkungkung dengan kebijakan pemerintah yang tak lagi memihak pada kepentingan rakyat.

Katanya merakyat tapi nyatanya menindas rakyat. Asing dan aseng disayang-sayang tapi rakyat justru ditendang. Memang hal ini tak nampak begitu saja di hadapan mata, melainkan ia bisa diamati dan dirasakan. Sebab gaya ini merupakan gaya penjajahan baru (neo imperialism).

Di sisi lain, biaya pendidikan dan kesehatan terus membengkak. Kriminalitas pun semakin merajalela. Manusia tak lagi terlihat manusia, sebab ia tak lagi menggunakan akal sehatnya. Kasus aborsi, hamil di luar nikah, pembunuhan, LGBT dan lain sebagainya semakin tak terbendung.
Jika permasalahan yang ada di negeri ini sekian banyaknya, dimanakah kemerdekaan itu? Tak lain, kemerdekaan ini masih dalam ilusi dan bayang-bayang semu. Semestinya, kemerdekaan ini harus kita wujudkan dengan nyata dan seutuhnya. Bebas dari penjajahan fisik maupun non fisik, menghapus gaya jajahan baru (neo imperialism), kapitalisme-sekuler di negeri ini.

Sesungguhnya kemerdekaan yang hakiki bisa tercapai ketika kita menjadikan aturan dari Sang Maha Pencipta sebagai aturan kehidupan, tanpa terkecuali. 

Karena Islam bukanlah sekedar agama ritual melainkan sebuah ideologi, di dalamnya terdapat aturan-aturan yang sempurna untuk menyelesaikan problematika umat secara menyeluruh, baik dari sisi, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum, dan lain sebagainya. 

Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 108 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”
Menyeru kepada Islam kaffah merupakan kewajiban dari Allah swt yang memerintahkan kepada hamba-Nya yang beriman untuk taat pada setiap garis ketentuan-Nya (syari’at Islam). 

Saat ini, umat Islam tidak dapat menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh, karena sistem yang ada saat ini adalah sistem sekuler, yaitu memisahkan antara agama dan kehidupan, memisahkan antara agama dan negara. Sehingga Islam hanya menjadi agama ritual semata, bukan lagi sebagai pandangan hidup yang melahirkan aturan kehidupan secara menyeluruh.
Hukum Islam mengatur tiga hal; mengatur hubungan manusia dengan Allah, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lainnya (muamalah). 

Hukum yang ketiga belum bisa diterapkan dengan aturan-aturan Islam, sebagaimana kita lihat maraknya riba, zina, terjarahnya SDA dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, maka butuh adanya Khilafah dalam menerapkan hukum syariat Allah dalam segala lini.
Ini adalah perintah dari Allah swt kepada semua orang Mukmin untuk mengambil dan mengamalkan semua ajaran Islam dan syariahnya. Ini berarti, setiap Mukmin harus mencintai Islam sepenuhnya sebagai wujud totalitas kecintaan kepada Allah swt. Dengan demikian, insyaallah kita mampu mewujudkan kemerdekaan hakiki dalam bingkai daulah Khilafah.





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak