Oleh: Arin RM, S.Si
Belum lama sebuah tontonan tentang kehamilan di usia sekolah singgah di dunia film, kini tontonan tak baik bagi remaja kembali muncul. Jika film pertama lebih vulgar karena langsung menunjukkan aktivitas seks bebas di kalangan remaja yang pacaran, maka film kedua nampak lebih soft. Terlebih judul dan pengambilan lokasi terkesan Islami. Namun, sejatinya keduanya memiliki nafas senada. Membawa misi serupa, pemakluman fenomena pacaran di kalangan remaja.
Yang menyedihkan, film kedua mengambil konsep terkait santri, namun isinya menurut sejumlah kalangan tidaklah mencerminkan esensi santri yang sesungguhnya. Sehingga wajar jika dari kalangan ulama pun menyampaikan penolakan sebelum filmnya tayang. Di antara penolakan itu datang dari ulma ternama KH. Luthfi Bashori. Sebagaimana dikutip kiblat.net (17/09/2019), KH. Luthfi Bashori mengecam keberadaan film The Santri. Ia menegaskan bahwa film tersebut tidak mencerminkan akhlaq seorang santri.
“Saya mengecam dan menolak film The Santri. Di cuplikan itu ada beberapa yang tidak pantas jika dikatakan itu santri. Kalau kita bicara santri, berbeda dengan pelajar sekolah umum. Perbedaanya, santri di mana-mana tidak kumpul antara santri putri dan putra,” katanya saat dihubungi Kiblat.net pada Selasa (16/09/2019). Maka, ia justru menyayangkan ketika dalam film tersebut santri perempuan dan laki-laki dicampur. Menurutnya, perilaku tersebut di dunia pesantren sangat ditolak. Kyai Luthfi juga menegaskan bahwa adanya adegan yang tidak mencerminkan santri menunjukkan sutradara tidak tahu hakikat pesantren dan santri. Namun, kata dia, yang bermasalah yang merestui dan mendesain semacam itu.
Senada dengan KH. Luthfi, dekannews.com menuliskan bahwa "Front Santri Indonesia (FSI) Menolak film The Santri (2019) karena tidak mencerminkan AKHLAQ dan TRADISI SANTRI yang sebenarnya," kata Ketua Umum FSI, Al Habib Muhammad Hanif Al Athas sebagaimana tertera pada poster yang tersebar di media sosial, Minggu (15/9/2019) (lihat https://dekannews.com/baca/dinilai-mengandung-ajaran-liberal-fsi-dan-kh-luthfi-basori-tolak-film-the-santri).
Sikap yang disampaikan oleh kedua tokoh di atas adalah hal yang wajar. Mengingat efek yang ditimbulkan dari tontonan yang tidak mendidik bisa berpeluang memundurkan generasi Islam jauh ke belakang. Ajaran Islam terkait larangan ikhtilat, khalwat, mendekati zina, hingga batasan toleransi yang selama ini dijaga ketat di dalam pesantren bisa lenyap hanya karena tontonan. Sebab bukan menjadi rahasia lagi jika di era serba digital saat ini banyak tontonan yang justru dijadikan tuntunan bagi generasi muda yang melihatnya. Atas nama kekinian apa yang sedang viral di jagad maya diikuti dengan serta merta. Bagaimana pandangan Islam terhadapnya, seolah tak lagi menjadi persoalan yang harus dipertimbangkan.
Kondisi seperti inilah yang ditangkap oleh musuh-musuh Islam yang tidak menghendaki kebangkitan Islam. Mereka sangat tahu bahwa kembalinya Islam akan menguat jika Islam dijiwai dan dipraktekkan oleh generasi muda. Oleh karena itu, segala cara diupayakan agar generasi Islam tidak menjadi hebat. Ketika cara langsung yang keras langsung mendapatkan penolakan, maka cara yang lebih halus dan menggiring meninggalkan ajaran Islam menjadi pilihan. Benarlah firmanNya dalam QS Albaqarah: 120.
Nilai-nilai kebebasan yang sejatinya bertolak belakang dengan ajaran Islam disematkan rapi dalam adegan film. Agar mudah diterima, maka dipinjamlah nama santri. Meski berbaju santri, tapi adegannya campur baur, berdua-duaan dengan yang bukan mahram, hingga kebablasan memasuki rumah peribadatan agama lain. Awalnya penonton muslim bisa jadi risih namun dengan terus menerus ditayangkan, terlebih pemainnya juga identik dengan keislaman, bukan tidak mungkin menjadikan penonton memaklumi. Bahkan tidak menutup kemungkinan jika apa yang ada dalam film kemudian dijadikan justifikasi melakukan hal yang sebenarnya terlarang tersebut.
Jika dibiarkan, wajah santri yang semula lekat dengan ajaran Islam akan tertangkap tak ubahnya pelajar sekolah biasa lantaran citra yang dimunculkan dalam film. Bahkan ajaran Islam akan mudah dilanggar karena merasa dibenarkan dalam adegan film. Lantas apa jadinya jika Islam disamakan dan dinampakkan seperti kemauan sutradara yang notabene juga bukan muslim? apakah manusia-manusia berbaju Islam namun berpikir liberal yang hendak dihadirkan?
Sungguh, patut diapresiasi dan didukung jika ada yang menyuarakan penolakan pada film yang mengandung unsur liberalisasi ajaran Islam. Sebab upaya penolakan ini adalah salah satu bentuk kepedulian agar benteng pertahanan ajaran Islam tidak bobol. Agar Islam terpelihara kemurniannya hingga bisa diwariskan pada generasi muda selanjutnya. Jika satu ketidakbenaran diloloskan, maka siapa yang menjamin berikutnya tidak datang bertubi-tubi. Ibarat perahu bocor yang tidak segera ditambal, bukan tidak mungkin kan jika seisi perahu akan tenggelam. Oleh karenanya, mewaspadai penderasan liberalisasi melalui film adalah penting.