Oleh: Ooy Sumini
Member Akademi Menulis Kreatif, RegionalBandung
Suhu yang dingin beberapa terakhir hari di Bandung Raya maupun secara umum di Jawa Barat merupakan fenomena yang biasa dan wajar yang menandakan datangnya periode musim kemarau. Hal tersebut diungkapkan Rasmid, M.Si kepala Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Bandung.
“BMKG memprediksi, kemarau sudah terjadi sejak bulan Juli lalu hingga September, dengan puncaknya di bulan Agustus. Maka diimbau kepada masyarakat untuk bijak menggunakan air,” ucapnya, saat dikomfirmasi melalui WA. (Humas Kabupaten Bandung, 18/07/19)
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandung, Drs.H. Akhmad Djohara, M.Si. Mengungkapkan sebagian wilayah di Kabupaten Bandung sudah dinyatakan terdampak kekeringan. Sejak bulan Juni hingga Juli 2019, sudah 10 kecamatan menyampaikan laporan kejadian bencana kekeringan dan krisis air bersih.
Musim kemarau adalah siklus alami yang sudah lazim tiap tahun. Dan hampir tiap tahun juga dilaporkan terjadi kekeringan dan krisis air bersih. Seharusnya masalah yang sering terjadi bisa diantisipasi sehingga akan lebih mudah untuk diatasi daripada masalah baru yang sebelumnya tidak terjadi. Karena mudah diatasi, maka seharusnya tidak mesti menjadi bencana tahunan yang kerap datang setiap tahun. Seandainya dilakukan serangkaian proses dalam mengatasi kekeringan dan krisis air bersih tersebut dari akar masalahnya.
Bupati Bandung, H. Dadang M. Naser sendiri telah mengimbau dan menginstruksikan kepada seluruh aparat wilayah di Kabupaten Bandung agar sigap merespon apabila mengetahui atau menemukan adanya potensi terjadinya bencana di wilayah masing-masing.
“Seluruh pihak harus terus berkoordinasi dan berkomunikasi untuk cepat merespon laporan dari masyarakat. Apabila menemukan kondisi buruk dampak dari kemarau, aparat desa lalu kecamatan bisa langsung menyampaikan laporan ke BPBD Kabupaten Bandung, agar segera bisa disuplai air bersih,” ungkap Bupati.
Ketika terjadi kemarau dan kekeringan, solusinya baru sampai disuplai air bersih. Maka tidak mengherankan, setiap datang musim kemarau akan terjadi bencana kekeringan, Karena belum sampai pada upaya menyelesaikan masalah ini dari akarnya.
Padahal Indonesia adalah negara yang memiliki hamparan hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Congo. Selain itu di Indonesia terdapat banyak Daerah Aliran Sungai (DAS) dan cekungan air tanah. Dengan potensi yang seperti itu seharusnya Indonesia tidak perlu mengalami kekeringan dan krisis air bersih. Apalagi di Jawa Barat, yang tanah dan airnya paling subur di antara wilayah-wilayah lain di Indonesia. Saking melimpahnya air di daerah Jabar, nama-nama tempat di Jabar banyak yang diawali dengan kata “Ci” (artinya air), seperti Cibiru, Cileunyi, Ciherang dan lain-lain.
Demikianlah, banyak ironi yang terjadi di negara yang menjalankan sistem demokrasi kapitalis. Hal ini dikarenakan dalam mengelola dan mengatur negara ini, para pemimpin memakai paradigma bisnis. Hutan dan sumber air, pengelolaannya diserahkan pada korporasi asing atau domestik, sementara rakyat sebatas diposisikan sebagai konsumen. Negara hanya sebagai regulator yang menjamin para korporasi itu aman menjalankan bisnisnya. Ketika terjadi bencana yang menimpa rakyat, solusinya hanya tambal sulam, tidak komprehensif. Ibaratnya jika terjadi kebakaran, negara hadir baru sebatas menjadi pemadam kebakaran saja.
Sebenarnya akar masalah dari bencana kekeringan dan krisis air bersih, adalah liberalisasi sumber daya alam khususnya hutan dan salah satunya eksploitasi sumber mata air oleh pebisnis Air Minum Dalam Kemasan. Deforestasi atau proses penghilangan hutan dengan cara penebangan atau bisa disebut alih fungsi hutan yang begitu parah selama beberapa dekade terakhir menyebabkan keseimbangan siklus air terganggu.
Kemudian, eksploitasi mata air oleh pebisnis Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) disinyalir kuat bertanggungjawab memperparah bencana kekeringan dan krisis air bersih. Sebagai contoh kekeringan yang diderita penduduk Kecamatan Cidahu dan Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Pengamat lingkungan dari KRuHA (Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air), Muhammad Reza, menemukan eksploitasi di Kecamatan Cidahu berdampak pada sulitnya air di desa sekitar kawasan pabrik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Dampak eksploitasi oleh perusahaan di desa Babakan Pari, menimbulkan kekeringan sumur bagi penduduk yang berada tepat di atas pabrik, (Merdeka.com, 30/09/13). Apa yang terjadi di Sukabumi, boleh jadi sama polanya dengan yang terjadi di wilayah Bandung.
Kekeringan dan krisis air bersih yang terjadi saat ini bisa jadi merupakan teguran, peringatan atau bahkan azab dari Allah swt agar kita mengintrospeksi diri. Apakah selama ini kita melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah atau kita berdiam diri terhadap perbuatan maksiat yang terjadi di hadapan kita. Membiarkan sistem kapitalis demokrasi ini tetap berlaku adalah maksiat terbesar kita. Segera mencampakkan sistem kapitalis demokrasi dan beralih ke sistem Islam adalah solusi komprehensif untuk mengatasi bencana kekeringan dan krisis air bersih khususnya, dan mengatasi permasalahan-permasalahan lainnya. Jika sistem Islam diterapkan, Allah swt Sang Pencipta Alam ini telah berjanji akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi.
“Dan seandainya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (TQS al-A’raf [7]: 96)
Wallahu a’lam bish shawab.