Oleh: Mustika Lestari
(Mahasiswi UHO)
Kemerdekaan identik dengan kebebasan, kedaulatan, kemandirian dan otonomi. Setiap anak lahir ke dunia dalam keadaan merdeka. Umar bin Khattab pernah berkata: “Manusia terlahir merdeka; darimana engkau mendapat hak untuk memperbudaknya?”
Selalu ada semangat yang berkobar di balik perayaan kemerdekaan suatu negara. Berkunjung ke satu negara ketika negara itu sedang merayakan hari kemerdekaan bisa menjadi pengalaman yang menarik bagi turis. Situs mesin pencari penerbangan, Momondo merangkum sejumlah selebrasi hari kemerdekaaan termeriah dari berbagai negara. Indonesia menjadi salah satunya, lho!Nah, negara-negara mana sajayang disebut memiliki perayaan hari kemerdekaan termeriah? Norwegia, Ghana, Australia, Indonesia, Afrika Selatan, Perancis dan Peru. (https://amp.kompas.com, 17/08/2019).
Indonesia Terjajah, Perlukah Selebrasi?
Kemerdekaan merupakan suatu kata yang senantiasa menggugah emosi ketika diucapkan. Tak heran, hampir seluruh tokoh publik gemar menggunakan kata tersebut untuk membakar semangat masyarakat, baik politisi, aktivis, akademisi, pekerja seni hingga tokoh pemuka agama. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “merdeka” diartikan sebagai kebebasan dari penghambaan dan penjajahan. Dengan kata lain, merdeka berarti bebas dari segala bentuk penindasan dari bangsa lain.
74 tahun yang lalu, tepatnya 17 Agustus 1945 Indonesia mempoklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno didampingi oleh Mohammad Hatta di hadapan masyarakat dunia dari penjajahan fisik bangsa lain, dengan penggalan kalimatnya “Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia....” Meskipun singkat, tetapi kalimat ini teramat sangat luar biasa bagi rakyat Indonesia. Pekik “Merdeka!, Merdeka!, Merdeka!” terdengar membahana diseluruh sudut negeri ini dengan kegembiraan dan semangat yang meluap-luap. Sekiranya, begitulah gambaran suasana bersejarah negeri kita 74 tahun silam.
Hari bersejarah penuh kegembiraan itu kemudian dirayakan setiap tahunnya dengan kegembiraan yang sama, bahkan tahun demi tahun berlalu, semakin meriah. Namanya mampu bersanding dengan negara-negara dengan perayaan kemerdekaan termeriah di dunia. Bersanding dengan negara yang memaknai kemerdekaan sebagai sebatas euforia penuh kenikmatan secara hura-hura, kebahagiaan sesaat.
Belum lama ini, pada tanggal 17 Agustus 2019 bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerdekaannya yang ke-74. Semarak penyambutannya telah nampak sejak jauh hari. Atribut bernuansa kemerdekaan seperti umbul-umbul, baliho bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan,” bendera merah-putih berdiri dengah gagah dan kokoh di sepanjang jalan dari Sabang sampai Merauke sebagai tanda bahwa perayaan hari bersejarah itu harus disambut secara semarak penuh selebrasi.
Dari makan kerupuk sampai makan hati. Mari kita menengok kiri-kanan, depan-belakang kita. Perlahan-lahan kita dijajah secara non-fisik. Sekali lagi, kita terjajah dari pemikiran, bangsa Indonesia dihipnotis, dikontrol bahkan diintervensi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, baik asing maupun aseng.
Dibalik warna-warni semarak perayaan kemerdekaan, masih terselip pertanyaan di benak kita, sudahkah kita merdeka secara hakiki? Apa makna kemerdekaan bagi kita? Bagaimana seharusnya mengisi kemerdekaan yang kita rasakan selama 74 tahun berlalu? Pantaskah bangsa kita mendapatkan label “merdeka?” Negeri ini sesungguhnya masih terperangkap dalam penjajahan gaya baru dari pemikiran, budaya, politik maupun ekonomi.
Para pejabat setiap memperingati hari kemerdekaan, berkoar-koar “masyarakat telah meraih bintang kemerdekaan.” Para elite penguasa yang digaji besar, sudahkah melihat masyarakat benar-benar telah “meraih bintang” atau merasakan hidup dalam kesejatian kemerdekaan. Sudahkah rakyat menikmati kemerdekaan dalam kedamaian, keadilan, kesejahteraan ekonomi. Kemerdekaan tidak hanya sebatas bebas dari penjajahan fisik namun juga dari pemikiran, tekanan ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya.
Kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia menjadikannya sebagai primadona para investor asing untuk menanamkan modalnya. Potensi Indonesia sebagai negara tujuan investasi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan banyaknya pemangkasan Undang-Undang yang membuat regulasi Indonesia sangat bersahabat untuk para investor. Investasi asing yang ditawarkan ke Indonesia bukanlah murni investasi, namun hutang luar negeri. Alhasil, utang luar negeri Indonesia saat ini semakin menumpuk, sedangkan aset-aset berharga negara di sektor tambang, kelistrikan dan sumber daya alam lainnya dicaplok oleh asing. Dalihnya investasi untuk menggenjot ekonomi tapi faktanya malah “menjual” Indonesia ke asing. (http://radiosilaturahim.com, 10/4/2019)
Banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa saat ini kita dalam kondisi terjajah secara terstruktur dan telah terjebak, mengekor dalam arus dunia. Atas nama menjunjung nasionalisme, mendukung misi asing melancarkan aksinya. Penjajahan (imprealisme) telah menggerogoti satu persatu kekuatan negara kita. Kita dieksploitasi secara zalim. Dalam keadaan seperti ini, kita hanya bisa mematung.
Kita harus menyadari pula bahwa negeri ini dalam cengkraman penjajah neoliberalisme, menawarkan segudang bantuan dengan segaris senyuman dibibirnya, kekayaan kita dikeruk tak tersisa. Dalam aspek ekonomi, kita dikontrol kaum pemodal asing, berkompetisi menanamkan investasi di Indonesia, pada akhirnya dalam tekanan negara lain lagi. Massifnya impor barang yang masuk mampu mengeliminasi produk negeri sendiri. Asing menguasai hampir seluruh negeri kita. Miris.
Para anggota eksekutif dan legislatif apakah masih ingat sumpah “Atas nama Allah/Tuhan” yang diucapkan dengan tegas berkaitan dengan proyek sosial kemanusiaan masyarakat yang menuntut agar dilaksanakan secara maksimal dan jujur?. Terkadang para penguasa lebih senang memilih kegiatan atas nama negara yang bisa mendatangkan keuntungan berlipat ganda untuk pribadinya. Masih banyak lagi bidang lain dimana kita dikontrol rezim penguasa materialistis, hukum, budaya yang berkiblat ke asing. Kita terperangkap dalam pancingan asing, terpenjara dengan aturan yang dibuat oleh para penguasa. Lagi dan lagi kita hanya dapat terbawa arus dalam segala persoalan ini, lebih sering dipolitisasi agar diam dan menerima realitas ketidakberdayaan.
Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyak makhluk yang telah Kami ciptakan” (Q.S. Al-Isra: 70).
Selain ilmu dan akal, di antara kemuliaan dan kelebihan manusia atas makhluk-makhluk lain adalah kecenderungannya untuk terbebas dari penindasan dan penjajahan. Sistem Sekuler-demokrasi yang begitu manis diucap, kebebasan sebebas-bebasnya, menghamba kepada manusia, semakin lama semakin terkuak hakikatnya. Penjajahan berlandas kepentingan ini bukan lagi rahasia publik. Dalam demokrasi, konsep nation-state lebih mengenal kepentingan nasional diatas kepentingan umat, menyodorkan elit penguasanya untuk menjajah, merampas hak rakyat, mengatur tanpa batas. Kapankah kita bisa melawan? Negara ini butuh kemerdekaan hakiki, bukan memerdekakan penguasa pribadi.
Islam, Kemerdekaan Hakiki
Kemerdekaan adalah cita-cita setiap warga negara di manapun ia berada. Bukan sebatas terbebas dari penjajahan bangsa lain, tetapi sebagai hamba Allah, yang jauh lebih utama dari itu adalah bilamana terbebas dari segala hal yang menghalanginya dari beribadah kepada Allah SWT, terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari syariat-Nya. Hakikat kemerdekaan dalam Islam adalah kebebasan yang dimiliki seseorang untuk dapat melakukan sesuatu, namun tidak menjadi ancaman bagi orang lain.
Kebebasan berarti ketundukan total kepada kuasa Illahi dan melepaskan diri dari jeratan nafsu. Islam memandang kemerdekaan manusia bukan kebebasan tanpa batas. Ketika manusia terbebas dari seluruh belenggu setan dan hawa nafsu, lalu mengembalikan seluruhnya kepada Allah SWT, di sanalah ia sebenarnya mendapatkan kemerdekaannya.
Mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah SWT, itulah misi utama Islam. Demikian pulalah arti kemerdekaan hakiki. Dalam pandangan Islam, kemerdekaan hakiki terwujud saat manusia terbebas dari segala bentuk penghambaan dan perbudakan oleh sesama manusia. Islam menghendaki agar manusia benar-benar merdeka dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman dan penghambaan oleh manusia lainnya.
Sudah saatnya umat memahami jati dirinya bahwa kita terlahir dalam keadaan merdeka. Dan jika kita terlanjur terjajah oleh rezim penguasa, maka kita wajib memerdekakan diri menuju kemerdekaan hakiki dengan kembali kepada syariat Allah SWT dan memutuskan segala sesuatu yang melibatkan kita terhadap penghambaan kepada manusia.
Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kepada sesama manusia sekaligus mewujudkan penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia (rahmatan lil alamin). Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman dari sistem selain Islam menuju keadilan Islam.
Semua itu akan menjadi nyata jika umat manusia mengembalikan hak penetapan aturan hukum hanya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW dengan cara memberlakukan syariah Islam dan Islam kaffah dalam seluruh aspek kehidupan kita agar kesejahteraan dan kedamaian dapat dirasakan dinegeri tercinta kita ini dan kemerdekaan hakiki dapat diraih, bukan hanya di negeri ini tetapi juga seluruh belahan dunia. Tanpa itu, kemerdekaan hakiki tidak akan pernah terwujud. Kemerdekaan hakiki adalah laa ilaha ilallah, tiada Tuhan yang disembah selain Allah SWT.
Wallahua’lam bi shawab.