Oleh: Siti Nur Aisyah
(Mahasiswi , Warga KalSel)
"Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk" [Q. S. An Nahl : 15]. Dari ayat di atas, kita dapat menangkap dengan jelas tujuan dasar diciptakannya pegunungan di muka bumi ini. Layaknya sebuah paku yang mengunci tumpukan kayu dengan kokohnya.
Itulah pengibaratan gunung yang menjulang tinggi dengan kemegahannnya, sebagai peredam getaran dahsyat dari pergerakan lempeng di dasar bumi. Pegunungan-pegunungan tersebut tersebar hampir di seluruh titik-titik dunia. Salah satunya terbentang di wilayah Kalimantan Selatan. Kita dan seluruh dunia mengenalnya dengan nama Pegunungan Meratus.
Pegunungan tersebut dinilai memiliki potensi pariwisata yang luar biasa dari segi kekayaan alamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya, "Pegunungan Meratus lebih menjual di pasar internasional sebagai destinasi ekowisata dunia. Ditarget 2020, statusnya masuk dalam jaringan Unesco Global Geopark (UGG)", (Jejak Rekam, 13/08/19).
Memang, panorama alami yang dimiliki Meratus mampu memanjakan mata masyarakat Banua pada umumnya. Tapi sayang, justru dengan potensi itu pulalah naluri alami para pengusaha raksasa yang terus mencari wilayah empuk dan strategis di alam Borneo ini juga ikut terpanggil. Seolah tidak habis akal, celah pariwisata pun mulai dimanfaatkan oleh para elite pengusaha.
Yakni dengan menjadikan Meratus sebagai lahan utama investasi mereka. Keputusan itu pun baru diambil pasca adanya penentangan besar-besaran oleh masyarakat banua terhadap rencana proyek yang akan berdiri di tengah Pegunungan Meratus. Semua itu jelas terbukti dengan adanya target yang telah disepakati antara Menteri Pariwisata (Menpar) dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel).
Lalu, apakah dengan menjadikan Meratus sebagai destinasi wisata dapat menyelamatkan kelestarian alam yang ada? Kemungkinan besar jawabannya adalah tidak. Karena, selama masih ada proyek yang akan dibangun pada sebuah pegunungan, apapun jenis proyeknya pasti akan berdampak pada kelestarian hutannya.
Apalagi, target penjualannya berlandaskan taraf yang jauh lebih tinggi. Tentu saja hal tersebut memerlukan berhektar-hektar lahan yang juga jauh lebih luas untuk dikelola sebagai tempat pariwisata internasional. Itu hanyalah gambaran kecil dari ironi yang terjadi pada negeri ini. Ketika penguasa yang berkuasa justru dari pengusaha yang haus akan gemerlap dunia.
Orang-orang bijak pun tidak memiliki kekuasaan mengembalikan situasi yang semakin tidak terkendali ini. Hal terpenting yang harus kita sadari adalah semua itu bermuara hanya pada satu perkara. Ketika kita, yakni hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan sangat berani menjadikan aturan manusia sebagai pedoman dan rujukan utama dalam mengatur kehidupan dunia.
Padahal Islam sendiri telah mengatur urusan perihal kepemilikan padang, air, dan api. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pengelolaan tersebut tidak boleh dimiliki individu, tetapi harus berada dalam pengelolaan negara. Sementara hutan itu sendiri masuk dalam kategori padang.
Dari sini, dapat kita pahami bersama bahwa hutan juga lahan yang berada di pegunungan tidak boleh dikuasai maupun dikelola secara individual ataupun swasta. Begitulah aturan dalam Islam yang secara detail telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW pada masa lampau. Tentu, hal tersebut juga berlaku atas permasalahan yang terjadi pada Meratus saat ini.
Andai saja manusia mau menata kehidupannya berdasar tuntunan syariat. Niscaya keberkahan dari langit dan bumi akan kita dapati. Karenanya pada hakikatnya tak ada cara terbaik dalam mengelola Meratus selain menggunakan tuntunan Sang Penciptanya. Tidak lain adalah syariat Islam. Insyaallah Meratus akan selamat dan menyelamatkan seluruh makhluk. Allahua’lam.