Oleh: Amallia Fitriani*
Presiden Joko Widodo telah secara resmi mengumumkan rencana pemindahan ibu kota ke Provinsi Kalimantan Timur. Hal itu disampaikan Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, pada 26 Agustus 2019.
"Lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur," kata Jokowi. (Kompas.com, 02/09/19).
Persoalan kemiskinan, tuna wisma, banjir, polusi udara, kemacetan dari tahun ke tahun alih-alih berkurang sebaliknya justru semakin parah. Kemudian dijadikan alasan mengapa ibu kota Negara Indonesia perlu dipindahkan. Sebagaimana ditegaskan Presiden Jokowi, "Kita tidak bisa membiarkan terus menerus beban Jakarta dan Pulau Jawa semakin berat dalam hal kepadatan penduduk, kemacetan lalu lintas yang sudah terlanjur parah dan polusi udara dan air yang harus segera kita tangani dengan alasan itu, ujar Jokowi, ibu kota negara harus dipindah."
Juga ditegaskan, "Sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa," kata Kepala Negara dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (16/8/2019). "Dan juga bandara udara dan pelabuhan laut yang terbesar di Indonesia," lanjut Jokowi. (Kompas.com, 26/08/19).
Kendati demikian, rencana pemindahan ibu kota negara tersebut tidak sepenuhnya disambut baik oleh berbagai pihak, hal ini jelas menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah, apakah pasca pemindahan Ibu Kota Negara beban penderitaan Jakarta dan berbagai wilayah lainnya akan berkurang? Akankah kehidupan bangsa ini akan lebih baik dan sejahtera?
Menyoroti kebijakan pemindahan ibu kota sejatinya perlu di ketahui terlebih dahulu bahwa saat ini pengurusan negara berlandaskan sudut pandang kapitalisme. Pada sistem kapitalisme ini di mana perdagangan, industri dan alat-alat produksi dikendalikan oleh pemilik swasta dengan tujuan memperoleh keuntungan dalam ekonomi pasar.
Pemilik modal dalam melakukan usahanya berusaha untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kapitalisme begitu mudah terindera di setiap sudut wilayah dan pada berbagai aspek kehidupan, Salah satu contoh yaitu banyaknya Sumber Daya Alam yang dikuasi korporasi, hal ini jelas berujung nestapa pada masyarakat.
Pada sistem kapitalisme saat ini benarkah pemindahan ibu kota merupakan solusi atau justru dalih rezim neolib untuk menjalankan berbagai agenda hegemoni asing dan aseng. Yang pasti pemerintah semakin lalai dari tugas dan fungsi semestinya sebagaimana yang dituntut oleh syariah Islam. Semua ini tentu berujung pada kerusaka yang makin parah, berupa kesejahteraan dan kedaulatan bangsa yang kian sirna.
/Hanya Dengan sistem Islamlah Indonesia Sejahtera/
Islam merupakan agama yang sempurna, yang mengatur seluruh aspek kehidupan, dengan Islam peradaban gemilang tercipta, sejarah telah mencatat kegemilangan-kegemilangan yang memukau di era peradaban Islam. Terwujudnya kesejahteraan pada setiap sudut kota hingga ke pelosok-pelosok negeri.
Sebagaimana yang terlihat pada Cordoba, Baghdad, Turki di era itu. Akses terhadap berbagai hajat hidup begitu mudah. Apakah itu pangan, sandang, papan, air bersih, hingga pendidikan, kesehatan, energi dan transportasi publik.
Apa yang tercermin di Ibu Kota negara dan kota-kota besar di era peradaban Islam merupakan cerminan kecemerlangan Islam. Yakni, ideologinya yang sahih dan berbagai paradigma serta konsep yang terpancar darinya, yang dengannya akan kembali terwujud ibu kota Negara yang dilimpahi kesejahteraan dan kebaikan Islam hingga pelosok negeri.
Maka sudah saatnya kita mencampakkan sistem kapitalis ini, dan berjuang mengembalikan sistem Islam agar diterapkan secara kaffah dalam semua aspek kehidupan.
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu,..(TQS Al Anfaal: 24).
Wallahu a'lam bishowwab
*(Anggota Komunitas Ibu Pembelajar Karawang)