Oleh : Zahida Arrosyida
Presiden Jokowi resmi memilih Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru Indonesia. Ibu kota baru dipilih berlokasi di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur.
Meski belum ada kajian yang mendalam dan banyak menuai kritik pedas dari berbagai elemen bangsa dan di media sosial nampaknya Jokowi tidak bergeming. Alasan Jokowi memindahkan ibukota adalah untuk pemerataan ekonomi.
Proses pembangunan ibu kota baru membutuhkan biaya sekitar Rp 466 Trilyun dengan porsi dari APBN hanya 19%. Sisanya akan didapatkan dari kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) dan jenis pembiayaan lain seperti investasi langsung swasta maupun BUMN. Lagi-lagi negara berhutang kepada swasta, tentu saja bisa ditebak siapa yang diuntungkan dari mega proyek ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah para pemilik modal.
Pemerataan ekonomi sangat naif jika dikaitkan dengan kepindahan ibu kota. Tidak ada konetivitas antara kepindahan ibu kota dan pemerataan ekonomi. Pemerataan ekonomi hanya akan dicapai jika paradigma distribusi harta bagi setiap orang sudah diwujudkan. Persoalan sesungguhnya kenapa terjadi kesenjangan adalah karena sistem ekonomi kapitalis yang memang hanya berpihak pada pemilik modal.
Tambahan lagi untuk Jakarta saat ini masih banyak menyisakan persoalan yang harus dituntaskan. Ambil contoh Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, pada 2017 mencatat 86 persen wilayah di DKI Jakarta masuk kategori kumuh. Kampung kumuh tersebar di sejumlah titik di ibu kota.
Dampak buruk pemindahan ibukota semestinya juga harus dijadikan pertimbangan. Seperti resiko spekulan tanah akan menyebabkan biaya pembebasan lahan tinggi sehingga negara kembali harus berhutang untuk membebaskan lahan. Berikutnya masa transisi akan meningkatkan beban perusahaan swasta yang berpusat di pulau Jawa. Baik terkait dengan biaya administrasi yang berkaitan dengan pemerintah pusat ataupun penyediaan infrastruktur pendukung di ibu kota baru. Maka dalam jangka pendek biaya bisnis akan meningkat. Biaya hidup masyarakat di ibukota baru juga akan meningkat. Kemudian bisa jadi kesenjangan akan semakin meningkat karena penduduk lokal kalah bersaing dengan kelompok pendatang.
Ironis... ditengah banyaknya persoalan kemiskinan, kesenjangan dan penderitaan akibat kebijakan ekonomi dan politik yang menimpa bangsa ini sungguh keputusan pindah ibu kota tentu menyakitkan dan mengejutkan rakyat banyak.
Sesungguhnya jika dicermati wacana kepindahan ibu kota ini menunjukkan kepada kita bahwa pemimpin bangsa ini telah gagal menjalankan amanah mengurus rakyat dan mewujudkan kemandirian sebagai bangsa yang martabat. Kegagalan itu tersebab paradigma sistem politik dan ekonomi yang memang tidak akan pernah mampu mewujudkan seorang pemimpin yang adil dan amanah.
Dulu saat Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi Khilafah, ibu kota negara pernah berpindah hingga 5 kali. Dari Madinah, Damaskus, Bahghad, Andalusia hingga Turki. Apakah hal tersebut memunculkan masalah? Ternyata tidak karena setiap wilayah dibangun dengan perencanaan yang sangat baik.
Keputusan pindah ibu kota yang diambil oleh Khalifah berorientasi pada kesejahteraan dan kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan para pemilik modal.
Menyoal kepindahan ibu kota negara jadi siapa yang akan diuntungkan dari kebijakan ini? Jawabannya tentu saja bukan rakyat kecil tapi para pemilik modal. Mereka adalah aseng dan asing yang telah mencengkeram Indonesia dengan kerjasama ekonominya.
Saatnya berjuang untuk mencampakkan sistem kapitalisme yang telah banyak menimbulkan kerusakan pada umat manusia.
Wallahu a'lam.