Oleh : Ummu Aqeela
Apa yang terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata zina? Tentu saja yang terlintas pertama di otak kita adalah, hubungan sexual terlarang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum terikat oleh pernikahan yang sah secara agama. Zina atau seks bebas barangkali sudah menjangkit umat sejak dahulu sebelum kita. Namun yang kita saksikan sekarang ini membuat kita miris dan khawatir. Bagaimana tidak, sebuah penelitian dan survei tentang perilaku seks bebas di negeri ini menyuguhkan angka yang fantastis. Penyakit perilaku bebas yang makin lama makin merebak ini tidak hanya menjangkit kaum muda saja, bahkan sudah menjalar di kalangan para bocah dibawah umur. Dan yang lebih membuat miris juga menghinggapi kalangan terdidik yang bergelar, sampai-sampai membuat disertasi untuk menghalalkan perbuatan terlaknat tersebut.
Dosen Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam ( IAIN ) Yogyakarta Abdul Aziz membuat kontroversi. Disertasi progam dokternya soal zina yang “halal” dalam Islam memicu pro kontra. Disertasi Abdul Aziz didasari konsep mikul yamin. Apa itu mikul yamin? Yaitu sebuah konsep yang diambil dari pemikiran intelektual muslim asal Suriah, Muhammad Syahrur. Konsep ini memahami bahwa berhubungan intim diluar nikah dalam batas tertentu tidak melanggar syari'at Islam. (Vivanews Selasa,03/09/2019)
Menurut Abdul Aziz, Tafsir milk Al Yamin dari intelektual muslim asal Suriah, Muhammad Syahrur yang dia gunakan bisa ditawarkan untuk membantu negara dalam merusmuskan hukum alternatif. Dan bisa digunakan untuk melawan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dituduh berzina. “ Tapi disertasi saya malah dianggap musibah “ kata Abdul Aziz saat dihubungi Tempo, Ahad 01/09/2019.
Bagi Muhammad Syarur, kata Abdul Aziz hubungan intim disebut zina bila dipertontonkan ke publik. Bila hubungan itu dilakukan diruang privat, berlandaskan suka sama suka, keduanya sudah dewasa, tidak ada penipuan dan niatnya tulus maka tidak bisa disebut zina karena hubungan itu dianggap halal. Abdul Aziz menjelaskan disertasi itu muncul dari kegelisahan dan keprihatinannya terhadap beragam kriminalisasi hubungan intim non marital konsensual. Yaitu hubungan sexual diluar pernikahan yang dilandasi persetujuan dan kesepakatan. (Tempo.co Senin, 02/09/2019)
Di era globalisasi sekarang ini, dimana azas liberalisme-sekulerisme dan kapitalisme yang menjadi dasarnya maka perdebatan dan pro kontra mengenai batas-batas moral dan privasi individu akan selalu terjadi. Kaum sekuler-liberal dengan mudahnya berpikir bahwa kebebasan berekspresi berdasarkan hak asasi manusia adalah standart moral yang mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Maka dalam mindset mereka yang tertanam adalah tidak ada satu pihak pun yang boleh mengambil alih ataupun memonopoli kewenangan dalam segala tindak tanduk atas nama apapun. Baik itu politik, moral, adat istiadat bahkan agama sekalipun. Dalam logika mereka menganut prinsip Humanisme Sekuler yaitu menempatkan manusia atau dirinya sebagai “Tuhan” yang berhak menentukan apapun berdasarkan kemauan dan hawa nafsu mereka.
Dalam Islam zina adalah perbuatan yang keji dan termasuk dalam salah satu dosa besar, hingga halal bagi pelakunya untuk dirajam sampai mati. Haramnya zina sudah jelas dalam Al Quran dan As sunnah, bahkan semua ulama pun sepakat mengharamkannya pula. Akan tetapi sekarang ini pelan namun pasti umat Islam dirusak dengan berbagai macam cara, hingga sekarang ini mereka sudah pada tahap melihat zina sudah bukanlah menjadi hal yang tabu lagi. Lebih jauh kita cermati, merebaknya zina ditengah-tengah komunitas umat Islam karena syari'at yang bisa mencegah dari perbuatan tersebut diabaikan, bahkan mulai ditinggalkan secara perlahan.
Negara sendiri sebagai pengayom umat terkuat sudah tidak bisa lagi difungsikan, bahkan terkesan membuka peluang lebar masuknya pemahaman-pemahaman yang merusak hanya untuk merauk keuntungan secara duniawi saja. Semisal konten-konten di media televisi, media sosial dan media cetak yang dengan mudah diakses dan dinikmati berbagai kalangan, tanpa saringan yang tegas untuk menyelamatkan moral umat. Ini menandakan bahwa upaya menangkal hanya disandarkan pada kekuatan individual saja melalui keluarga bukan negara ataupun masyarakat. Karena dua benteng yang seharusnya bisa menopang mulai retak dan tinggal menunggu keruntuhannya. Ternyata memang benar yang dikatakan banyak orang sekarang, bahwa musuh terbesar saat ini sudah mulai membobol didalam kamar masing-masing. Siapakah musuh itu? Dia adalah gadget atau handphone, yang saat ini menjadi pegangan semua umat bahkan balita sekalipun.
Dari situlah konten-konten yang mampu menjerumuskan banyak umat kedalam kubangan dosa besar yaitu zina mulai merebak. Bagaimana bisa meninggalkan zina secara total, jika akses untuk mendekati zina semakin digalakkan. Padahal semua umat tahu zina adalah dosa yang sangat besar, dan lafazd pelarangannya langsung kepada objek yang dapat menjerumuskan. Menggunakan lafadz “ La Taqrabu “ ( Jangan Mendekati ). Ini mengartikan bahwa mendekati saja dilarang apalagi melakukannya.
Allah berfirman :
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
“ Dan Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk “ ( QS Al Isra' ; 32 )
Untuk itu tidak ada yang bisa kita lakukan untuk menangkal segala perbuatan keji yang menjerumuskan, selain kembali secara total kedalam Syari'at Islam yang sudah terlalu lama tertinggalkan. Karena hanya dengan Syari'at Islam dalam bingkai Khilafah umat dipaksa tunduk dalam ketaatan hanya kepada Allah semata. Dengan penerapan total akan memberikan rasa mawas diri untuk berpikir beribu kali terjerumus dalam kubangan dosa. Dapat membuka mata secara luas dengan hati yang bersih, bahwa segala tingkah laku dan tindak tanduk akan dipertanggung jawabkan kelak dihadapanNYA .
Wallahu'alam bishowab