Tahun Hijrah tentu terkait erat dengan peristiwa hijrah Baginda Nabi saw. dari Makkah ke Madinah. Hijrah adalah momentum penting dalam lintasan sejarah perjuangan Islam dan kaum Muslim. Hijrah adalah peristiwa paling menentukan bagi tegaknya Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem dalam intitusi negara ketika itu, yakni Daulah Islamiyah.
Kini, sejak keruntuhan Daulah Islamiyah yang terakhir, yakni Khilafah Utsmaniyah tahun 1924 lalu, dan sejak itu kaum Muslim kembali berada dalam kungkungan ideologi dan sistem Jahiliah, tentu hijrah saat ini bukan saja masih relevan, tetapi sebuah keniscayaan. Sebab, melalui hijrahlah kaum Muslim memungkinkan untuk: meninggalkan kekufuran dan dominasi orang-orang kafir menuju iman dan kekuasaan Islam; meninggalkan darul kufur menuju Darul Islam; meninggalkan sistem Jahiliah menuju ideologi dan sistem syariah; serta meninggalkan kekalahan menuju kemenangan dan kemuliaan Islam.
Hijrah, secara bahasa, berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain; dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Ash-Shihhah fi al-Lughah, II/243, Lisan al-‘Arab, V/250; Al-Qamus Al-Muhith, I/637).
Para fuqaha lalu mendefinisikan hijrah secara syar’i sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276).
Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Masyarakat Arab sebelum Rasulullah saw. hijrah adalah masyarakat Jahiliah. Hal ini bisa dilihat dari sejumlah aspek. Pertama: Aspek akidah. Akidah masyarakat Arab saat itu penuh dengan kemusyrikan. Memang, kebanyakan orang-orang Arab saat itu berkeyakinan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, sebagaimana hal itu digambarkan al-Quran (Lihat: QS Luqman: 25). Namun, dalam praktiknya, mereka membuat berbagai perantara untuk menyembah Allah. Di antara mereka ada yang menyembah malaikat dan menganggap para malaikat itu adalah putra perempuan Allah. Ada yang menyembah jin dan ruh terdahulu. Ada juga yang menyembah binatang, menyembah berhala. ‘Amr bin Lubayyi, penguasa Ka’bah saat itu, menaruh sebuah berhala dari batu akik yang sangat terkenal dengan nama “Hubbal”.
Kedua: Aspek sosial. Kehidupan sosial Makkah saat itu dicirikan dengan kebobrokan moral yang luar biasa. Rata-rata dari mereka adalah peminum arak, tukang mabuk. Pelacuran dan perzinaan di Jazirah Arab saat itu adalah hal biasa. Pencurian, pembegalan dan perampokan juga menyeruak di mana-mana. Kekejaman dan kebiadaban bangsa Arab saat itu bahkan sampai melampau batas kemanusiaan. Anak-anak perempuan yang baru lahir dibenamkan hidup-hidup ke dalam tanah, sebagaimana hal ini pun digambarkan dalam al-Quran (Lihat: QS at-Takwir: 8-9).
Ketiga: Aspek ekonomi. Di bidang ekonomi bangsa Arab sebelum Rasulullah saw. adalah kebanyakan berdagang/berniaga. Bisnis yang mereka lakukan saat itu sangat kental dengan riba. Bahkan pinjaman dengan cara riba yang berlipat ganda (riba fadl) telah menjadi tradisi mereka sehingga tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
Keempat: Aspek politik. Secara politis bangsa Arab saat itu bukanlah bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Dua negara adidaya saat itu, Persia dan Kristen Byzantium, sama sekali tidak melihat Arab sebagai sebuah kekuatan politik yang patut diperhitungkan.
Setelah Rasulullah saw. berhijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian beliau membangun Daulah Islamiyah di sana, keadaan masyarakat Arab pasca hijrah berubah total. Daulah Islamiyah (Negara Islam) yang dibangun Baginda Nabi saw. di Madinah berhasil menciptakan masyarakat Islam, dari sebelumnya masyarakat Jahiliah. Dengan sangat indah Rasulullah saw menggambarkan Madinah al-Munawwarah saat itu dengan sabdanya, ”Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).
Faktanya, masyarakat Madinah bentukan Baginda Nabi saw.—melalui institusi negara yang beliau dirikan, yakni Daulah Islamiyah, yang di tengah-tengah mereka diterapkan ideologi dan sistem Islam, yakni akidah dan syariah Islam—adalah masyarakat yang benar-benar berbeda karakternya dengan masyarakat Arab Jahiliah sebelum Hijrah. Pertama: Dari sisi akidah. Yang dominan saat itu adalah akidah Islam. Bahkan akidah Islam menjadi satu-satunya asas negara dan masyarakat. Karena itu meski saat itu terdapat kaum Yahudi dan Nasrani, aturan yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat secara keseluruhan adalah aturan (syariah) Islam.
Kedua: Dari sisi sosial. Kehidupan sosial saat itu penuh dengan kedamaian dan ketenteraman serta jauh dari berbagai ragam kemaksiatan. Perjudian diperangi. Perzinaan diberantas. Segala bentuk kemaksiatan dan kriminalitas dibabat habis melalui penegakkan hukum Islam yang tegas.
Ketiga: Dari sisi ekonomi. Saat itu ekonomi berbasis riba benar-benar dihapus. Penipuan dan berbagai kecurangan diberantas. Sebaliknya, cara-cara yang diakui syariah dalam meraih kekayaan dibuka seluas-luasnya.
Keempat: Dari sisi politik. Pasca Hijrahlah sesungguhnya Islam dan kaum Muslim benar-benar mulai diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Daulah Islamiyah yang dibangun Baginda Nabi saw. benar-benar disegani, bahkan ditakuti oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim. Bahkan sejarah telah membuktikan, pada akhirnya dua negara adidaya saat itu, Persia dan Byzantium, dapat ditaklukan oleh Daulah Islamiyah melalui jihad fi sabilillah. Dengan jihad yang dilancarkan oleh Daulah Islamiyah itulah hidayah Islam makin tersebar dan kekuasan Islam makin meluas.
Masyarakat saat ini sebenarnya sangat mirip dengan masyarakat Jahiliah sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah. Wajar jika sebagian ulama menyebut kondisi sekarang sebagai ”Jahiliah Modern”. Kondisi akidah/ideologi, sosial, ekonomi dan politik saat ini—yang berada dalam kungkungan ideologi Kapitalisme-sekular—sesungguhnya mirip dengan kondisi sebelum Rasulullah hijrah.
Dari sisi akidah, berbagai kemusyrikan dan ragam aliran sesat terus bermunculan.
Dari sisi sosial, kebejatan moral (maraknya perzinaan, pornografi-pornoaksi, LGBT, dll), tindakan kriminal (pencurian, perampokan, korupsi, pembunuhan, perjudian, narkoba, dll) terus menyeruak.
Dari sisi ekonomi, riba masih menjadi basis kegiatan ekonomi. Demikian pula banyaknya transaksi-transaksi batil lainnya. Bahkan dalam hal riba, negara adalah pelaku utamanya dengan terus menumpuk utang luar negeri berbunga tinggi.
Di bidang politik, jelas negeri-negeri kaum Muslim, termasuk negeri ini, tidak pernah diperhitungkan oleh negara-negara lain; kecuali sebagai obyek penjajahan negara-negara kapitalis dalam berbagai bidang.
Karena itu saat ini sebetulnya kaum Muslim, bahkan dunia, memerlukan tatanan baru, yakni tananan yang dibangun berdasarkan ideologi dan sistem Islam. Apalagi keruntuhan sistem ekonomi dunia saat ini, selain merupakan indikasi lemah dan bobroknya sistem kapitalis, juga mengindikasikan bahwa dunia saat ini memerlukan tatanan kehidupan baru. Sistem kapitalis beberapa kali mengalami siklus kebangkrutan, sekaligus menciptakan banyak malapetaka kemanusiaan sehingga sangat tidak mampu menopang sebuah peradaban dunia. Bahkan sistem sosialis-komunis hanya bisa bertahan dalam beberapa tahun.
Alhasil, penting bagi kaum Muslim saat ini untuk mewujudkan kembali spirit hijrah. Di antara spirit hijrah yang paling penting adalah spirit penegakan sistem pemerintahan Islam, penerapan syariah Islam serta pembentukan dan pembangunan masyarakat Islam. Spirit hijrah semacam ini sejatinya mendorong kita untuk segera meninggalkan sistem dan hukum jahiliah, lalu menerapkan sistem dan hukum Islam. Sistem dan hukum jahiliah adalah sistem dan hukum selain hukum Allah (syariah Islam). Allah SWT sendiri telah membagi hanya ada dua jenis hukum: hukum Allah dan hukum jahiliah (QS al-Maidah [5]: 50).
Jelas, untuk mewujudkan kembali spirit hijrah itu, sistem dan hukum jahiliah yang ada saat ini harus segera ditinggalkan. Kita harus segera berhijrah menuju sistem baru. Itulah sistem dan hukum Islam. Caranya dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam semua aspek kehidupan. Tentu dalam sebuah institusi pemerintahan Islam. Itulah Daulah Islam yang pernah dirintis pendiriannya oleh Rasulullah saw. di Madinah pasca hijrah. Dilanjutkan dengan Kekhilafahan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Khulafaur rasyidin.