Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi



Oleh : Naira Safiyya

(Alumni Mahasiswa Kampus Swasta)


Wacana diberlakukan kebijakan penugasan rektor asing di sejumlah universitas di Indonesia bergulir sejak akhir Juli 2019. Isu ini pertama kali muncul saat Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir, melalui rilis resmi di laman Kemendikbud memunculkan wacana impor rektor dari luar negeri untuk memimpin perguruan tinggi dalam negeri. Rencananya, wacana ini akan mulai diujicobakan pada tahun 2020 dan semakin digalakkan pada 2020. “Kita baru mapping-kan, mana yang paling siap, mana yang belum dan mana perguruan tinggi yang kita targetkan (rektornya) dari asing. Kalau banyaknya, dua sampai lima (perguruan tinggi dengan rektor luar negeri) sampai 2024. Tahun 2020 harus kita mulai," kata Nasir melalui rilis Kemendikbud, 26 Juli 2019. Gagasan ini muncul dengan harapan dapat meningkatkan peringkat perguruan tinggi-perguruan tinggi di Indonesia di tingkat internasional. Kata dia, persoalan pro dan kontra adalah hal yang biasa untuk sebuah kebijakan. 

Nasir tidak mempermasalahkan banyaknya pro dan kontra soal wacana mempekerjakan rektor dan tenaga pengajar di universitas yang bukan berasal dari Indonesia. Bahkan ketidaksetujuan dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun menurutnya bukan masalah. 

"(Di DPR) Ya kita bicarakan, pro-kontra hal biasa, yang penting kontra jangan terlalu membenci itu saja. Kalau kontra ajak bicara. Berilah kesempatan pemerintah untuk mengerjakan ini. Jangan sampai kontra benci semua tutup, itu tidak kooperatif," kata dia. 


Liberalisasi (kapitalisasi) pendidikan tinggi merupakan penerapan sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan tinggi, dengan modus utamanya integrasi pendidikan tinggi dengan pasar global. Liberalisasi pendidikan tinggi berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktornya, yaitu Multi National Corporation (MNC) yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat oleh WTO untuk terjun dalam arus globalisasi berdasarkan paham neoliberalisme.

Sebagai salah satu varian kapitalisme, neoliberalisme merupakan bentuk modern liberalisme klasik dengan 3 (tiga) ide utamanya; yaitu pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (yakni kebebasan dan tanggung jawab individu). (Adams, 2004). Implikasi dari perpaduan ide pasar bebas dengan marjinalisasi peran negara dan pengutamaan tanggung jawab individu, adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara dalam kegiatan ekonomi, termasuk pembiayaan pendidikan. Pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan dilegalkan dengan istilah lain yang menipu : “pembebasan pendidikan dari intervensi negara”.


Di Indonesia, pelepasan tanggung jawab negara ini terwujud nyata sejak tahun 2000 ketika beberapa Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, UGM, ITB dan IPB diubah bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Dengan format BHMN, pembiayaan pendidikan PTN-PTN tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah. Akhirnya PTN-PTN itu harus kesana kemari mencari dana sendiri, antara lain melalui “jalur khusus” dalam menerima mahasiswa. Biaya masuk jadi naik mulai Rp 25 juta sampai Rp 150 juta. Bahkan untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).


Liberalisasi pendidikan tinggi ini harus dicermati dan dikritisi oleh semua pihak, khususnya mereka yang berwenang dan berkecimpung di dunia pendidikan tinggi. Mengapa? Ada setidaknya 2 (dua) alasan. Pertama, karena liberalisasi pendidikan merupakan suatu proses konspiratif (kongkalikong) yang jahat. Kedua, karena liberalisasi pendidikan menimbulkan dampak-dampak destruktif yang berbahaya.


Konspirasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi


Liberalisasi pendidikan tinggi tidak akan terjadi kalau tidak ada aktivitas aktor-aktor utama dan aktor pembantu yang saling bekerjasama dalam proyek globalisasi berdasarkan neoliberalisme sejak tahun 1980-an.

Padahal, globalisasi menurut Stiglitz (2003) merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya (Effendi, 2007). Karena itu, interdependesi seperti itu pasti lebih menguntungkan negara-negara kapitalis yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi, dan sebaliknya hanya menimbulkan kerugian bagi negara-negara Dunia Ketiga yang lemah. Tegasnya, bagi Dunia Ketiga termasuk Indonesia, globalisasi adalah kolonialisasi (Khor, 1995; Ling, 2000).

Globalisasi dengan demikian, tak berlebihan jika disebut bentuk mutakhir imperialisme Barat. Jeffry Sachs yang dikenal radikal dalam menanggapi globalisasi menilai bahwa globalisasi tak lain adalah bungkus baru dari developmentalisme yang merupakan episode lanjutan dari imperialisme yang gagal dalam bentuk awalnya (Prasetyantoko, 2001:15).

Oleh karena kerjasama dalam globalisasi ini adalah kerjasama dalam kejahatan, bukan dalam kebaikan, maka liberalisasi pendidikan tinggi kita sebut sebagai konspirasi alias kongkalikong. Allah SWT berfirman :

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran…” (QS Al-Ma`idah [5] : 2)

Konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi terwujud berkat ulah aktor-aktor utama dan aktor pembantu berikut ini (Wibowo, 2004; Mugasejati & Martanto, 2006; Nopriadi, 2007) :

1. Negara-negara kapitalis

2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia)

3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)

4. Pemerintah Dunia Ketiga


(1) Negara-Negara Kapitalis

Negara-negara kapitalis merupakan aktor utama dalam liberalisasi pendidikan tinggi. Mengapa? Sebab mereka akan banyak mengeruk untung sangat besar. Sofian Effendi (2007) menerangkan ada 3 (tiga) negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105).

Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20 % PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja dan merupakan 20 % dari ekspor total negeri kangguru tersebut. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.

Sofian Effendi (2007) menerangkan pula bahwa hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi.


(2) Lembaga-Lembaga Internasional

Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.

WTO akan teru menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.


(3). Korporasi Multi/Trans Nasional (MNC/TNC)

Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.

Berbagai lembaga pendidikan tinggi luar negeri swasta (privat) dapat dianggap sebagai MNC/TNC yang akan turut serta masuk ke dalam kancah pendidikan tinggi di Indonesia.

WTO sendiri telah mengidentifikasi empat mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan online degree program, atau mode 1; (2) Consumtion abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri, disebut mode 2; (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, atau mode 3; (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal, atau mode 4.

Liberalisasi perguruan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.


(4). Pemerintah Dunia Ketiga

Masuknya kekuatan perusahaan multinasional dan imperialisme negara kapitalis dalam proyek globalisasi tidak akan berhasil tanpa ada penerimaan dan dukungan dari pemerintah negara dunia ketiga, entah secara sukarela atau terpaksa.

Pemerintah Indonesia (eksekutif),  dan juga DPR (legislatif) sayang sekali secara sadar telah terlibat dalam konspirasi globalisasi ini. Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan meratifikasi semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali “jasa nonkomersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya.”

Di samping langkah legal-formal itu, pemerintah dunia ketiga juga dapat dipersalahkan berkolaborasi dengan asing karena lemahnya mereka dalam mengelola negara. Liberalisasi pendidikan tinggi akan mudah mencari alasan untuk masuk Indionesia karena dua alasan : pertama, perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah. Kedua, secara umum mutu pendidikan nasional kita mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut yang hakikatnya lahir dari ketidakbecusan pemerintah, sering menjadi alasan untuk “mengundang” masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia.

Peran pemerintah sebagai aktor konspirasi global akan semakin jelas, kalau kita melihat berbagai perangkat undang-undang yang menguntungkan kaum kapitalis global, namun di sisi lain menyengsarakan rakyat Indonesia. Lihat misalnya adanya UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, dan yang sedang dibahas saat ini di DPR, yakni RUU BHP.

RUU BHP direncanakan akan disahkan sebagai UU tahun 2010. RUU BHP ini merupakan salah satu proyek Dikti, yaitu Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (loan) dari Bank Dunia. Jelas RUU BHP membawa kepentingan asing.


Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan


Liberalisasi pendidikan yang konspiratif tersebut, banyak membawa dampak negatif. Di antaranya adalah :

(1) Dampak ideologis : semakin kuatnya hegemoni idelogi kapitalisme-sekuler.

Hal ini akan diperkirakan terjadi, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar tranfer pengentahuan, melainkan juga transfer nilai-nilai atau keyakinan (doktrin). Sebagaimana pesantren melestarikan doktrin Islam seperti syariah, jihad, dan Khilafah, pendidikan tinggi yang mengalami liberalisasi juga akan membawa serta melestarikan doktrin-doktrin khasnya, yaitu nilai-nilai kapitalisme-sekuler, seperti kebebasan, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Khususnya ini akan terjadi pada bidang keilmuan sosial / humaniora. Program yang sering digunakan untuk menanamkan ideologi kufur ini adalah pertukaran pelajar/mahasiswa atau pemberian beasiswa. Joseph S. Nye dalam Soft Power (2004) mengutip mantan Menlu AS Collin Powell, bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi “diplomat” AS di kelak kemudian hari.

(2) Dampak politik : hancurnya kedaulatan negara untuk mengatur rakyatnya sendiri.

Globalisasi pendidikan tinggi walaupun bertujuan untuk memperbaiki mutu dan akses ke pendidikan tinggi, pasti merupakan gangguan terhadap kedaulatan Indonesia dalam mengatur salah satu tujuan kemerdekaannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemandirian bangsa ini, dalam perumusan kebijakan nasional untuk mengatur bidang pendidikan, mau tidak mau harus dikorbankan agar provider pendidikan tinggi komersial dari luar negeri dapat lebih leluasa masuk (baca : menjajah) ke Tanah Air.

(3) Dampak ekonomi : mahalnya biaya pendidikan.

Dampak yang paling mudah dilihat dan dirasakan dari proses kapitalisasi pendidikan tinggi adalah mahalnya biaya pendidikan. Survei membuktikan terjadinya peningkatan biaya pendidikan pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN. Contohnya di UI. Biaya DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) yang semual besarnya ahanya Rp 500 ribu meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 1,5 juta setelah UI menjadi BHMN.

(4) Dampak Sosial : terjadinya kesenjangan kaya miskin

Mahalnya biaya pendidikan akan memunculkan jurang peluang antara calon mahasiswa yang kaya dan yang miskin. Yang kaya akan lebih mudah masuk ke perguruan tinggi favoritnya karena dia punya uang. Sedangkan yang miskin terpaksa gagal. Maka dalam perspektif jangka panjang, akan terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Yang kaya akan makin kaya, yang terpisah oleh jurang yang dalam dengan yang miskin yang gagal mengakses pendidikan tinggi.

4. Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Liberalisasi pendidikan tinggi perlu dilawan karena menimbulkan banyak bahaya (dharar) seperti telah diuraikan. Padahal dalam kaidah fiqih dinyatakan :

Adh-Dharar yuzaalu

“Segala bentuk bahaya wajib dihilangkan.”

Selain itu liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme yang hanya akan memperkuat dominasi kafir atas muslim. Hal ini tidak boleh terjadi. Firman Allah SWT (artinya) :

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisaa` : 141)

Strategi perlawanannya secara garis besar adalah sebagai berikut :

Pertama, langkah politik (al-kifah as-siyasi) :

(1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.

(2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.

(3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.

(4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.

Kedua, langkah ideologi (ash-shira’ul fikri) :

(1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.

(2) terhadap imperialisme. Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa’idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme.

(3) terhadap ideologi Islam. Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi.

(4) terhadap sistem pendidikan Islam. Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging). [ ]


DAFTAR BACAAN

Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004

Effendi, Sofian, “Menghadapi Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, Seputar Indonesia, 12-13 Maret 2007

Mugasejati, Nanang Pamuji & Martanto, Ucu (Eds), Kritik Globalisasi & Neoliberalisme, (Yogyakarta : Fisipol UGM), 2006

Nopriadi, Memahami Globalisasi, http://www.khilafah1924.org

Prasetyantoko, A., Arsitektur Baru Ekonomi Global, (Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2001).

Wibowo I., “Pendahuluan” dalam Wibowo, I & Wahono, Francis (Eds), Neoliberalisme, (Yogyakarta : Cinde Laras Pustaka Rakyat Cerdas), 2004.

Yurino, Ari, Privatisasi Dunia Pendidikan: Hancurnya Pendidikan Bangsa, http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=1533&post=3


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak