Oleh : Eqhalifha Murad
"..Cause I'm leaving on a jet plane. I don"t know when I'll be back again. Oh babe, I hate to go.." Adalah John Denver, pencipta lirik lagu ini mengatakan kepada kekasihnya akan keengganannya untuk pergi dan berangkat dengan pesawat terbang meninggalkan kekasih dan kegalauannya karena belum tahu kapan akan kembali.
Lalu bagaimana pula dengan nasib para penumpang pesawat saat ini? Mereka pun mempunyai keengganan untuk berangkat memakai jasa pesawat udara tapi karena terpaksa dan urgent akhirnya berangkat juga, mereka pun tak tahu kapan harga tiket pesawat terbang akan murah dan normal kembali atau kalau bisa gratis, mengingat tarif tiket pesawat di negeri ini saat ini ikut terbang dan melangit.
Adapun kabar mengenai turunnya harga tiket pesawat akhir-akhir ini memang ada. Tapi hanya bersifat sementara, bukan untuk jangka panjang. Hanya sekedar himbauan dari pihak pemerintah, bahkan ada juga yang cuma harga promosi sementara. Dari hasil pengamatan tarif online promo maskapai Lion Air dalam rangka ulang tahun Lion Grup, khusus penerbangan di bulan Juli dan Agustus 2019 harga tiket pesawat turun hingga 50 persen. (Liputan6.com, 3/7/2019)
Sementara CNN Indonesia memantau harga tiket penerbangan domestik (penerbangan dalam negeri) masih tetap tinggi. Kalaupun ada penurunan harga tiket pesawat terbang dari Lion Air juga hanya terkait promosi dalam rangka HUT grup maskapai tersebut. (CNNIndonesia.com, 1/7/2019)
/Maskapai Dan Harga Tiket Dari Masa Ke Masa/
Jika kita flashback ke era sebelum tahun 2000, fenomena penerbangan di Indonesia tidak jauh berbeda dari waktu ke waktu. Tingkat kuantitas jumlah maskapai penerbangan menjadi salah satu faktor terjadinya pasang surut harga tiket pesawat. Perang tarif dan praktek kartel sudah menjadi dinamika penerbangan di Indonesia.
Sebelum era tahun 2000, perusahaan maskapai penerbangan di Indonesia hanya terdiri dari beberapa maskapai saja yakni, Garuda, Merpati, Bouraq, Mandala dan Sempati Air. Dua di antaranya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Garuda dan Merpati, sedangkan yang lainnya dikelola swasta.
Di era ini harga tiket pesawat cenderung berada pada level penumpang kelas menengah ke atas. Dalam hal ini Garuda Indonesia Airlines (GIA) teratas dalam menguasai pasar penerbangan, kemudian disusul Merpati Nusantara Airlines (MNA). Setelah tahun 2000 ke atas bermunculan puluhan maskapai baru bak jamur di musim hujan.
Ini disebabkan oleh adanya kebijakan baru melalui Keputusan Presiden nomor 33 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1980 tentang Larangan Pemasukan dan Pemberian Izin Pengoperasian Pesawat. Deregulasi baru ini menyebabkan maskapai penerbangan di Indonesia bertambah mencapai 23 maskapai, dengan harapan akan ada persaingan sehat di antara maskapai dalam memberikan harga tiket pesawat yang lebih murah.
Sehingga akan dapat menyentuh masyarakat level menengah ke bawah. Salah satunya Lion Air dengan mottonya "We Make People Fly". Era ini juga diwarnai dengan jatuh pailitnya satu persatu maskapai diantaranya, Bouraq, Adam Air, Mandala, Batavia Air, kemudian Merpati. Merpati Nusantara Airlines (MNA) adalah BUMN yang dinyatakan bangkrut karena terlilit hutang dan akhirnya diprivatisasi.
Belum lagi tingginya angka kecelakaan pesawat ikut menoreh sejarah dunia penerbangan di Indonesia era itu. Faktor teknis, human error, bad weather dan lainnya adalah penyebab musibah kecelakaan demi kecelakaan yang terjadi. Bagaimana dengan penerbangan saat ini? Adapun fenomena penerbangan di Indonesia saat ini kembali mengalami dinamika dimana bisnis penerbangan telah dikuasai oleh dua pemain besar yakni, Garuda Indonesia Grup dan Lion Air Grup.
Garuda Indonesia Grup membawahi antara lain, Citylink, Sriwijaya Air dan Nam Air. Sedangkan Lion Grup memiliki anak perusahaan penerbangan di antaranya, Batavia Air, Wings Air, Thai Lion Air, Malindo Air dan Batik air. (CNNIndonesia.com, 10/6/2019). Duopoli ini disinyalir melakukan praktek kartel yang mengakibatkan harga tiket pesawat kembali melambung tinggi, terutama tarif tiket tujuan domestik (penerbangan dalam negeri), sedangkan tarif tiket dari dalam negeri ke luar negeri atau sebaliknya cenderung lebih murah.
Di samping itu meningkatnya harga avtur atau bahan bakar pesawat, pajak bandara, biaya perawatan pesawat (maintenance, operating & overhaul) sering dijadikan alasan yang dilontarkan ke publik. Akar masalah yang mendasar yakni kesalahan sistem kebijakan harusnya disadari dijadikan catatan yang perlu di garis bawahi.
Selain itu sebagai negara kepulauan, Indonesia tentu sangat membutuhkan pesawat udara sebagai moda transportasi. Sudah seharusnya Indonesia lebih mandiri lagi dalam memproduksi pesawat udara sehingga tidak perlu impor pesawat. Membeli bahkan hutang pesawat keluar negeri.
Hanya orang-orang sekaliber almarhum BJ. Habibie yang akan merealisasikan kemandirian di sektor kedirgantaraan ini. Seorang teknokrat pesawat terbang yang telah diakui oleh dunia internasional mempunyai visi tinggi untuk kemajuan dunia penerbangan di nusantara. Namun langkah beliau terhenti karena ambisi kepentingan para kapitalis.
Oleh sebab itu keseriusan pemerintah untuk mengapresiasi dan menyalurkan bakat-bakat jenius anak bangsa di bidang sains dan teknologi sangat penting. Sehingga putra-putri terbaik bangsa ini tidak lari ke luar negeri agar diakui prestasi dan karyanya karena di negeri sendiri kurang mendapatkan dukungan.
Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah negeri ini demi mencapai kemajuan pembangunan, keadilan dan kesejahteraan rakyatnya, sehingga tidak tergantung lagi dengan luar negeri, bahkan sebaliknya ekspor akan menjadi lebih meningkat. Begitu juga dengan solusi tingginya tarif tiket pesawat saat ini, pemerintah malah akan kembali menyerahkannya ke privat bahkan asing.
Tak tanggung-tanggung Pemerintah Indonesia membuka gerbang dan menggelar karpet merah bagi maskapai penerbangan asing agar ikut membuka lapaknya di Indonesia. Tentu saja harapannya sama, dengan adanya maskapai-maskapai penerbangan asing ini nanti akan dapat menciptakan iklim persaingan baru. Dimana semua maskapai baik maskapai dalam negeri maupun maskapai asing juga akan berlomba memasang tarif yang paling murah untuk menarik penumpang pesawat.
/Perspektif Islam/
Solusi yang ditawarkan sama seperti sebelumnya selalu bermuara privatisasi. Seluruh sektor publik di negeri ini akhirnya diserahkan ke privat atau individu dalam hal ini swasta bahkan asing. Negara hanya sebagai regulator. Transportasi publik yang seharusnya menjadi hak rakyat, malah dijadikan untuk ajang bisnis semata.
Islam memandang bahwa pemimpin harusnya mengurus dan melayani rakyat bukannya berbisnis dengan rakyat. Rasulullah saw bersabda: Setiap pemimpin adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadist lain Rasulullah saw pun bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR. Abu Nu'aim).
Lalu darimana seorang pemimpin dalam Islam atau khalifah mendapatkan dana untuk membangun infrastruktur terutama transportasi? Dalam Islam kepemilikan umum seperti tambang emas, minyak, batubara, hasil hutan, laut dan sifatnya banyak serta melimpah tidak boleh dikuasai oleh individu atau asing, negaralah yang bertanggungjawab menjadi pengelolanya, agar tetap terjaga, tidak terjajah.
Semua harta milik rakyat ini, negara yang mengelola, hasilnya diserahkan keseluruh rakyat, dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Seperti sabda Rasulullah saw bahwa umat berserikat atas tiga hal yaitu, air, api dan padang rumput. Selain itu ada harta seperti kharaj, fa'i, ghanimah, dan lainnya.
Adapun para khalifah pada masa kejayaan peradaban Islam juga telah banyak mencontohkan kebijakan yang pro rakyat ini. Sejarah telah mencatat bagaimana kebijakan khalifah Ustmani yang telah membangun transportasi berupa kereta api yang diperuntukan secara cuma-cuma untuk rakyatnya.
Seorang Umar bin Khattab pun waktu menjadi khalifah sangat perhatian terhadap unta yang terperosok di jalan berlobang. Beliau menangis ketakutan akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Jangankan manusia, binatang pun dipikirkan oleh Umar, lalu memerintahkan agar jalan-jalan segera dibangun, yang rusak diperbaiki.
Demikianlah alangkah mulianya ajaran Islam dengan syariahnya, apabila diterapkan kembali secara keseluruhan seperti ekonomi Islam, politik Islam, pendidikan Islam, dan lainnya Insyaallah tidak hanya sektor transportasi murah atau gratis yang akan terwujud.
Bahkan bidang kesehatan, keamanan, pendidikan, air, energi, gas dan listrik juga akan mudah, murah, terjangkau dan berkualitas, sehingga tercapailah Rahmatan Lil'alamin yaitu kerahmatan bagi seluruh alam baik manusia, binatang dan tumbuhan serta keseimbangan pada alam semesta. Wallahua'lam.
*(Pengamat dan praktisi penerbangan/ eks stewardess. Alumni Pariwisata, tours & travel)