Oleh: Shela rahmadhani
(Sang Diaspora dari Tanah Melayu)
Sedikit-sedikit mereka (orang Melayu) akan berkata "kualat kamu,,, kualat kamu". Begitulah kata-kata kualat terngiang-ngiang untuk menegakkan amar makruf secara spontan dan refleks bahkan menjadi tradisi.
Kualat adalah suatu kalimat yang bermakna Allah membalas keburukanmu, kemaksiatan mu dan kejelakan tingkahmu. Kalau terminologi Arabnya, kualat setara dengan makna azab Allah, karma Allah. Hingga, mereka yang diserukan kata-kata kualat langsung dapat introspeksi diri akibat takut. Kata kualat menjadi bahasa yang ampuh lagi sakral untuk para pemaksiat, karena sering dibunyikan dalam setiap kesalahan atau kemaksiatan.
Misalnya saja, ada seorang anak melawan orangtuanya, lalu ibunya akan langsung mengeluarkan kata kata yang pertama:
"Nak, nanti kamu kualat".
Tiba-tiba si anak kemudian sakit atau terjatuh dari tangga atau jatuh ketika sedang bermain.
Lalu si emak akan berkata:
"tuhkan, enggak boleh ngelawan orang tua, kualat kamu kan nak (dengan maksud menjelaskan hikmah)", tutur si ibu.
Jatuh kemudian disampaikan sebagai suatu teguran langsung dari Allah terhadap si anak (balasan) sehingga si anak kemudian sangat takut untuk mengulang perbuatan yang sama atau disebut sebagai jera. Begitulah, kata kata kualat memberikan efek psikologis yang sangat luar biasa dan bumi melayupun menjadi indah dengan keluhuran tingkah laku.
Kata kata yang sedari kecil dingiang-ngiangkan (tune in), pada akhirnya ketika dewasapun, kata-kata tersebut meninggalkan kekuatan. Umpamanya, jika dilontarkan pada seseorang kata-kata kualat langsung seluruh tubuh menjadi bergetar. Perihal kondisi ini mungkin bisa difahami sebagaimana, ketika Rasulullah berkata pada sahabat : "ittaqillah (bertaqwalah kalian)". Jika mendengar kata kata tersebut, para sahabat Rasulullah kemudian bergetar dan seluruh perhatian tertuju pada kata kata itu.
Begitulah ketika, ada seseorang apalagi yg dianggap baik dan berilmu mengatakan: "awas kamu kualat". Sekujur tubuh akan melemas dan melemah serta perhatian tertuju ke sana.
Sebagai contoh, jika ada seseorang yang sudah dewasa berbohong, maka yang lain akan mengingatkan padanya
"Awas nanti kamu kualat". Lalu orang tersebut akan ketakutan, yang tampak pada raut wajahnya. Sehingga kualat benar benar tidak hanya berefek pada anak kecil namun juga dewasa dan seluruh kalangan. Dan kata-kata kualat adalah terminologi amar makruf (berdimensi agama) untuk mengembalikan manusia kepada fitrahnya yakni kebaikan dan ridho Allah.
Begitulah terus menerus yang dilakukan masyarakat (tradisi) dalam mengingatkan satu sama lain terlepas dari keras lembut nya cara pengungkapannya. Dan hasilnya masyarakat takut "jika sudah dikatakan 'awas kualat'.
Namun sayangnya, kata-kata kualat sekarang tidak lagi seperti dulu. Bumi melayupun sudah tercemar dengan gaya modernisme, positivisme bahkan post modernisme. Gaya hidup liberalistik-hedonistik, menggerus tradisi ke akar-akarnya. Unsur-unsur metafisik berupa keyakinan adanya balasan atau teguran Allah tidak lagi menjadi perhatian. Segala sesuatu diukur dengan yang namanya ke-ilmiah-an.
Tentu hal ini sangat berbahaya. Menghilangkan aspek metafisik (spritualitas) yakni berupa adanya berkah, azab dan karma, lalu menggantinya dengan ukuran ukuran dunia semata (positivisme) adalah bahaya. Hal tersebut esensinya adalah menggerus keimanan. Aliran ini kemudian ter-edukasi melalui industri per-film-an yang menghilangkan unsur-unsur diluar kemanusiaan seperti adanya hikmah dan ayat-ayat Allah (Wahyu).
Seperti, film yang menampakkan anak berkata kasar kepada orang tuanya, namun, si anak tetap eksis di kehidupan dunia. Orang yang berbuat jahat, mencuri, berbohong dipertontonkan, dan kehidupan mereka secara ilmiah (empiris) baik-baik saja. Kemudian, duniapun meniru, generasi meniru, anak melayupun meniru, dan say "good bye" dengan doktrin kualat. Makna kualat tidak memiliki otoritas amar makruf nahi munkar lagi akibat dingiang-ngiangkannya (tune in) prinsip liberasme-hedonisme yang disebut era modern.
Dunia modern menghilangkan unsur kepercayaan terhadap agama, memandang segala sesuatu adalah proses sebab akibat seluruhnya. Tidak adalagi dimensi berkah, mawaddah, dan kualat (azab, teguran Allah di dunia).
Tidak heran, jika dikaitkan hal yang lebih besar lagi, kita akan menyaksikan orang akan menggunakan riba, dan mereka tidak takut kualat. Mereka berpacaran, mereka tidak takut kualat. Kenapa?? Karena landasan mereka selalu pada aspek empirik (hitung-hitungan aspek rugi dan manfaat) dan menghilangkan aspek berkah dan tidak berkah (kualat).
Demikianlah betapa bahayanya sistem hidup modernitas yang berlandaskan pemahaman positivisme-liberalistik yang menggerus makna-makna sakral tersebut, dimakna-makna itu adalah penyederhanaan dari doktrin doktrin agama. Sebagian Melayu tidak takut lagi dikatakan kualat. Jika tidak takut dikatakan kualat sama artinya tidak takut akan azab Allah. Sehingga menggerus prinsip "takut kualat" sama saja menggerus "takut kepada Allah".