Korupsi Mengapa Harus Terjadi Di Alam Demokrasi?

 


Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Setelah resmi ditahan  Kejaksaan Negeri Blitar, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Blitar Edy Nur Hidayat resmi diberhentikan sementara dari jabatannya karena statusnya sebagai terdakwa. Komisioner KPU Kabupaten Blitar Hakam Sholahudin mengatakan, pemberhentian sementara ini berdasarkan aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 138 Ayat 1. Pasal itu menyebutkan, terhadap anggota Bawaslu yang berstatus terdakwa, akan dilakukan pemberhentian sementara. (JATIM TIMES, 05 September 2019).

“Sebelumnya kami dari Bawaslu Kabupaten Blitar melaporkan kepada pimpinan yang lebih tinggi, baik Bawaslu Provinsi Jatim maupun RI tentang status hukum yang bersangkutan. Selanjutnya diterbitkan surat keputusan pemberhentian sementara,” ungkap Hakam.

Pemberhentian sementara Edy Nur Hidayat berlaku mulai  September 2019 ini. Yang bersangkutan akan diberhentikan sepenuhnya menunggu keputusan hukum yang sah atas kasus yang menjerat terdakwa. “Pergantian anggota Bawaslu tinggal menunggu sampai ada keputusan hukum yang kuat atau inkrah yang menjadi kewenangan Bawaslu RI,” paparnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Edi Nur Hidayat akhirnya ditahan setelah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka, Selasa (23/7/2019). Penahanan ini sempat tertahan cukup lama sejak tahun 2017 silam dan setelah melalui rangkaian pemeriksaan beberapa jam oleh jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) Blitar.

Bahkan penahanan Edi Nur Hidayat oleh kejaksaan ini juga bersamaan dengan  penahanan  Ketua Koperasi Al Hikmah Tumpang, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar, Nurochim begitu berkas perkara dan barang bukti selesai diperiksa. Keduanya langsung digiring menuju Lapas Kelas II B Blitar dalam  kasus dugaan penyelewengan dana hibah dari Kementerian Koperasi dan UMKM untuk Revitalisasi Pasar Tumpang, Talun, pada 2015 lalu.
Berdasarkan hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara yang ditimbulkan mencapai Rp 233 juta dalam kasus penyelewengan bansos Kementerian Koperasi dan UMKM untuk Pasar Tumpang oleh Koperasi Al Hikmah. Edi bertindak sebagai tim pengadaan.

Sebelumnya pada Juni 2017 silam, Polres Blitar juga menggelar OTT (operasi tangkap tangan) di Koperasi Al Hikmah terkait dugaan mark up anggaran Kementerian Koperasi dan UMKM tahun anggaran 2015 sebesar Rp 900 ratus juta. Anggaran sebesar itu rencananya akan digunakan untuk membangun dua puluh kios, dua los dan dua toilet.
Pada operasi tangkap tangan ini, polisi juga menyita sejumlah dokumen dan berkas serta menyegel kantor Koperasi Al Hikmah.

Mari menelisik lebih jauh. Kita akan dapati, bahwa begitu banyak kasus korupsi menjadi bukti problem ini bukanlah kasuistik. Melainkan perkara sistemik. Demokrasi sebagai sistem politik yang lahir dari rahim sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), meniscayakan kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat (manusia). Dalam praktiknya, demokrasi tegak atas pilar kebebasan. Kebebasan beragama, kepemilikan, berpendapat dan berperilaku.

Sekularisme liberal menjadi urat nadi dan aliran darah politik di negeri ini. Dengan menjunjung tinggi kebebasan individu sekaligus abai terhadap nilai agama (halal-haram), manusia bebas meraih kekuasaan dengan berbagai cara. Wajar jika politik ala Machiavelli banyak diadopsi oleh para politisi. Bergumul dengan penerapan kapitalisme yang mengutamakan peraihan materi, maka kekuasaan menjadi tujuan. Tak lagi dimaknai sebagai sarana melayani sang tuan (rakyat). Mereka lupa bahwa hakikat penguasa adalah pelayan. Semua aktivitas politik praktis berada dalam pusaran kepentingan atau kemanfaatan.

Jadilah politik adalah seni meraih kekuasaan. Sayangnya, hanya bagi para pemilik modal. Atau politisi yang bergandengan tangan dengan pengusaha berkantong tebal. Faktanya, demokrasi itu memang mahal. Mark Twain berkata, “Hanya pemerintah yang kaya dan aman yang mampu menjadi negara demokrasi. Karena demokrasi adalah jenis pemerintahan yang paling mahal. Dan paling jahat yang pernah terdengar di permukaan bumi.”

Sudah menjadi rahasia umum. Ongkos politik menjadi anggota legislatif maupun kepala daerah tidaklah murah. Seorang caleg dipaksa menghabiskan ratusan juta hingga miliaran rupiah. Selain untuk memberi mahar bagi partai politik pengusung, biaya terbesar lainnya dikeluarkan untuk mendongkrak atau menciptakan popularitas. Seperti untuk sosialisasi atau kampanye. Dari ngopi-ngopi dengan masyarakat untuk mendengar aspirasi, pasang spanduk dan baliho narsis pengenalan diri, muncul di televisi dengan harga perdetik tinggi, mengadakan konser musik dadakan untuk menjaring massa mengambang sana-sini, hingga membayar saksi. Bahkan demi suksesnya “serangan fajar” di pagi hari.

Beberapa kasus korupsi yang dilakukan kaum legislatif dan kepala daerah ditengarai demi balik modal selama menjalankan proses menjadi caleg dan calon kepala daerah. Korupsi Harus Berhenti Tak dipungkiri. Selama ini berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dijalani. Tetapi hingga hari ini, korupsi terus berulang, marak dan senantiasa terjadi. Mengapa tidak mencoba cara efektif berbasis syariah yang digali dari ayatnya Allah SWT dan sunnahnya Rasulullah SAW?

Berbeda dengan cara apapun. Pemberantasan korupsi ala Islam mendasarkan pada asas yang kuat. Yaitu pondasi akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah SWT. Faktor inilah yang membentuk self control. Menjadikan para pejabat tidak bisa disuap dan takut korupsi. Selain itu, pencegahan korupsi dilakukan dengan :
Pertama, memberikan gaji memadai bagi aparatur negara. Sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, hingga tersier mereka.

Kedua, dalam pengangkatan aparatur negara. Selain syarat profesionalitas, juga dituntut syarat adil/tidak fasik dan takwa. Sehingga tersangka korupsi tidak boleh dilantik menjadi pejabat.

Ketiga, menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka akan diusut.

Keempat, memberlakukan hukuman yang keras. Karena korupsi tidak termasuk mencuri dalam pengertian syariah maka tidak termasuk kategori hudud. Tapi masuk wilayah ta’zir yang sanksinya diserahkan kepada keputusan hakim. Bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati.

Khalifah Umar bin Khaththab pernah membuat kebijakan agar kekayaan pejabat dihitung. Sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tak segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus yaitu Muhammad bin Maslamah untuk mengawasi kekayaan pejabat. Umar juga melarang pejabat berbisnis. Agar tidak ada konflik kepentingan.

Hanya saja penerapan syariah Islam seperti di atas tidak mungkin dijalankan oleh negara asal negara. Bahkan negara yang menyandang embel-embel islami sekalipun. Dia hanya mampu diterapkan oleh institusi yang bersungguh-sungguh menjaga kemuliaan hukum Islam. Yaitu daulah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak