Suasana panas terus menyelimuti negeri ini selama beberapa pekan terakhir sejak surpres revisi UU KPK terbit hingga akhirnya digoalkan oleh DPR. Meski tak diberitakan media mainstream, gejolak penolakan yang disuarakan mahasiswa terus membara di berbagai penjuru negeri. Tuntutan kepada presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) guna mencabut UU KPK pun akhirnya dilontarkan oleh Ketua BEM UI pada jumpa pers di Tugu Reformasi Trisakti, Jakarta Barat, Senin lalu. Namun alih alih dipenuhi, Jokowi justru menjawab "tidak ada" ketika ditanya soal kemungkinan penerbitan Perppu tersebut. (detikNews 23/9)
Akhirnya terbukti. Janji 'penguatan KPK' hanya tinggal kata. Upaya sistematis pelemahan kedudukan, fungsi dan kewenangan lembaga antirusuah sebagai the guardian of integrity semakin nyata adanya.
Tak hanya itu, slogan 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat' pun berakhir isapan jempol belaka. Protes keras dari berbagai kalangan - sebelum ketuk palu DPR - oleh civitas akademika yang terwujud dalam petisi yang ditandatangani oleh 2338 dosen dari 33 universitas se Indonesia nyatanya tak berefek apapun. Badan legislatif dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan revisi UU KPK. Bahkan hanya dalam lima hari sejak presiden menerbitkan surpres, dan terhitung dua kali rapat pembahasan pada 12 dan 16 September, poin poin revisi akhirnya disepakati. Diantaranya terkait pembentukan dewan pengawas dan izin penyadapan. Juga ketentuan surat perintah penghentian penyidikan serta penyidik dari unsur aparatur sipil negara.
Terkait hal ini, peneliti Indonesia Corruption Watch Kurnia Ramadhana mengkritik DPR yang terkesan terburu-buru ingin menuntaskan revisi UU. ICW melihat ada motif berbalut konflik kepentingan semisal niat melemahkan KPK. Dia mengatakan narasi penguatan KPK terkesan omong kosong. Karena meski isu revisi sudah bergulir sejak 9 tahun lalu, nyatanya poin poin revisi tidak jauh beda.
Dugaan konflik kepentingan lain adalah terkait banyaknya kasus yang ditangani KPK menjerat politikus. Sejak 2003-2018, 60% pihak yang terseret kasus korupsi berasal dari unsur politik. Termasuk didalamnya periode 2014-2019, dimana menurut catatan ICW terdapat 23 anggota DPR diproses di lembaga antirasuah tersebut.
Ya. Adalah fakta, bahwa korupsi di Indonesia memang sudah menggurita sejak lama. Dari kelas teri hingga kelas kakap bernilai milyaran rupiah . Pengagungan berlebih terhadap nilai materialisme (hasrat akan kemewahan), menjadikan manusia berani menceburkan diri ke kancah perpolitikan yang didalamnya melekat stigma 'kekuasaan mampu menghantarkan kekayaan". Alhasil, penjiwaan mereka terhadap filosofi politik pun berhenti sebatas semangat yang pragmatis dan transaksional. Untung rugi. Bukan kepengurusan umat.
Ditambah lagi fakta tingginya biaya politik, makin besarlah stimulus yang mendorong pejabat melakukan korupsi guna pengembalian modal. Fakta ini sejalan dengan ungkapan Peneliti Divisi Korupsi Politik ICW, Almas Sjafrina. Ia mengatakan, "Bila mengkaitkan dengan agenda kampanye politik, salah satu penyebab dari korupsi ini adalah tingginya cost of fund kegiatan kampanye. Pasalnya bila membandingkan kemampuan keuangan kepala daerah dengan pengeluaran selama kampanye, maka angka akan tidak seimbang."
Sayangnya, prosedural yang mahal ini masih saja diminati. Wajar jika kemudian persekongkolan jahat yang mengiringi (red: korupsi) terpelihara secara sistematis dari waktu ke waktu. Bahkan sudah menjadi budaya tersendiri di negeri ini.
Belum lagi lemahnya sanksi yang menjerat para terdakwa, juga praktik jual beli hukum yang merajalela, sudah pasti yang demikian gagal membuat koruptor jera. Dan sekarang, kegagalan itu didukung oleh payung hukum baru hasil perundingan para petinggi negara.
Sungguh, memang beginilah akhir dari sistem yang mati matian meletakkan kedaulatan di tangan manusia. Tak hanya gagal menciptakan clean government, sistem ini juga membuka peluang bagi kebijakan/aturan/hukum untuk diamandemen sesuai kepentingan dan keuntungan golongan. Sehingga, adalah pembodohan publik jika sistem ini digaungkan sebagai sistem terbaik representasi suara Tuhan, karena yang ada hanyalah 'representasi kerakusan'.
Dari sini jelas, tidak ada pilihan selain merubah mindset individu. Mental maling dan haus uang harus segera dicerabut, untuk kemudian ditanamkan pada nya nilai nilai Islam yang mengedapankan halal-haram dalam berkehidupan.
Kedua, kesadaran akan fungsi dan karakter berpolitik pun perlu diluruskan sebagaimana penafsiran Islam, yakni 100% untuk pengurusan umat. Bukan penafsiran sekuler yang cenderung menjadikan politik sebagai lahan basah mengumpulkan kekayaan.
Terakhir, sebagai perisai terkokoh, negara harus berdiri di garda terdepan dalam memberikan sanksi tegas dan menjerakan bagi para penyeleweng. Tidak ada kompromi, apalagi grasi. Negara juga harus terlibat dalam menjamin terselenggaranya suasana birokrasi yang bersih dan kondusif dengan meletakkan islam sebagai pondasi dasar dan pijakan dalam mengatur pemerintahan. Rekrutmen kepegawaian/perpolitikan pun harus didasarkan pada profesionalitas dan integritas, yang kemudian dipadu-padankan dengan kualitas kepribadian.
Demikianlah upaya upaya yang dihadirkan Islam untuk membasmi para tikus berdasi. Tidak sebatas pada upaya kuratif, tapi juga melibatkan upaya preventif untuk mencegah tindak korupsi lebih dini.
Maya. A / Gresik