Oleh: Maya. A (Gresik)
Di jagad medsos, tagar #BPJSRasaRentenir sempat menjadi trending topik Twitter pada Rabu (4/9/2019) sebagai reaksi penolakan rencana kenaikan BPJS kesehatan yang dinilai memberatkan masyarakat.
Sebuah akun, dalam cuitannya bahkan menyindir slogan prinsip BPJS Kesehatan.
"Slogan 'Dengan Gotong Royong Semua Tertolong' kini berganti jadi 'Dengan Gotong Royong Semua Tertodong'.
Defisit yang menimpa BPJS pada akhirnya menyeret rakyat sebagai tumbal. Bagaimana tidak? Dalam waktu dekat ini, Peraturan Presiden yang mengatur kenaikan besaran iuran BPJS kesehatan akan ditandatangani oleh Presiden Joko WWidodo. Fakta ini diperkuat dengan pernyataan Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo bahwa kenaikan BPJS Kesehatan bakal mampu menambal defisit yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Dan defisit, tidak bisa ditutupi jika hanya menaikkan iuran kelas III atau PBI. (Liputan6 5/9)
Dari sumber yang sama, disebutkan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II akan naik secara efektif pada 1 Januari 2020. Masing-masing kelas ini akan naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu dan Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu.
Bak pungguk merindukan bulan. Mungkin inilah peribahasa yang sekiranya tepat untuk menggambarkan seberapa mustahilnya menggantungkan harapan sejahtera pada rezim sekuler neolib. Dimana khidmat terhadap para kapital selalu lebih diprioritaskan ketimbang bakti pada rakyat yang suaranya pernah begitu didamba saat pemilihan.
Tidak bisa dipungkiri, besarnya dominasi korporasi dalam pengelolaan ekonomi membuat negara di sistem neolib justru bertindak sebagai pedagang produk dan jasa layanan penyedia kebutuhan asasi publik termasuk kesehatan.
Akibatnya, tak sedikit rakyat yang berpendapatan rendah semakin berat untuk menjangkau layanan tersebut.
Pada kasus ini, pemerintah hanya mencukupkan diri dengan memberikan bantuan iuran BPJS kepada masyarakat miskin saja, itupun tidak semua tercover. Sementara rakyat yang tidak terkategori miskin versi mereka, sakit maupun sehat tetap diwajibkan untuk membayar premi bulanan sepanjang hayat. Disamping itu, sanksi administratif maupun jeratan denda juga siap mengintai para peserta yang kedapatan telat bayar.
Ironisnya, meski beban beban itu sudah ditumpukan ke pundak rakyat, fakta operasional di lapangan seringkali dikeluhkan dan terjadi berulang. Sistem rujukan berjenjang, pemilihan faskes yang terbatas, kesulitan dalam mengakses berbagai fasilitas seperti kamar yang dibilang telah penuh terisi, antrean panjang, sejumlah obat yang tidak ditanggung adalah hal yang jamak dijumpai para peserta BPJS. Pelayanan pun tidak disamaratakan, namun disandarkan pada opsi premi yang dibayar. Dan akan semakin diistimewakan bagi pihak yang berdaya secara finansial melalui jalur umum.
Disinilah, kedzoliman semakin nyata dipertontonkan oleh pihak yang mustinya bertanggung jawab atas terpenuhinya kebutuhan dasar akan kesehatan.
Berbeda 180° dengan konsep neolib, konsep Islam justru menyuguhkan hal berbeda yang tentunya begitu dirindu oleh generasi umat masa kini. Dimana Islam menetapkan bahwa kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) dan kebutuhan dasar (keamanan, pendidikan, kesehatan) adalah hak setiap individu rakyat yang wajib dijamin pemenuhannya oleh negara.
Dalam operasionalnya yang terjamin bebas biaya dan kemudahan akses, negara juga berpegang pada prinsip ke-universal-an dalam pelayanan. Artinya, tidak ada pengkelasan sebagaimana saat ini. Pelayanan pun tidak dibatasi oleh plafon, namun disesuaikan dengan kebutuhan medis pasien.
Menilik pada kemaksimalan jaminan kesehatan ini, tentu menghasilkan korelasi yang erat kaitannya dengan dana yang tidak sedikit. Namun semua itu tidak menjadi problem besar lantaran tata kelola keuangan negara telah disandarkan pada ketentuan syariah. Sehingga tidak akan terjadi carut marut, apalagi bercelah bagi asing atau swasta.
Kembali dalam hal pembiayaan, maka hasil kelola harta kekayaan umum (hutan dan tambang) serta harta milik negara (ghanimah, fa'i, kharaj, jizyah, dll) adalah dua pos besar yang dijamin lebih dari cukup untuk memenuhi hajat hidup rakyat termasuk kesehatan. Namun, penerapan sistem ekonomi yang demikian hanya optimal apabila ditopang oleh sistem pemerintahan Islam yang berwujud Daulah Khilafah.