Eva Farida S.Pd
(IRT, Pengamat Masalah Sosial)
Di muka bumi ini mustahil sekali jika ada yang berkata bahwa dirinya tidak pernah sakit. Kondisi sakit adalah sebuah kondisi yang biasa dialami oleh setiap manusia, dan itu merupakan fitrah, khususnya dalam hal ini sakit secara fisik. Islam sebagai sebuah aturan yang maha sempurna yang datangnya dari Dzat yang Maha sempurna, telah memberikan solusi terhadap persoalan ini. Baik solusi yang harus diambil sebagai seorang individu dan solusi yang harus diambil oleh seorang Pemimpin Negara, baik yang sifatnya pencegahan maupun pengobatan. Karena pada dasarnya sehat adalah merupakan hak dasar bagi setiap individu, sehingga dalam hal ini Negara adalah pihak yang mempunyai kewajiban untuk mewujudkannya.
Namun hari ini, seolah olah ada ungkapan orang miskin dilarang sakit, karena berobat itu mahal. Jika mau berobat harus tau diri. Istilah lain lagi mungkin bisa dipakai adalah ada uang, ada barang atau ungkapan lain lagi yang bisa dipakai, harga tak pernah bohong. Ungkapan demikian tepat jika diterapkan, karena saat ini siapa saja yang mau berobat dengan fasilitas nyaman, terjamin dan berkualitas, maka harus membayar lebih di rumah sakit swasta yang dikenal baik kredibilitasnya atau pasien yang mampu membayar premi BPJS level atas.
Sehingga tidak ubahnya kesehatan menjadi seperti barang komoditas atau barang dagangan. Idealkah kondisi demikian? Tepatkah kondisi demikian, kesehatan di jadikan sebagai barang komoditas? Jikalaupun tidak sebagai komoditas, maka rakyat diminta untuk saling menanggung biaya pengobatan melalui sistem yang saat ini sedang berlangsung, melalui Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS. Bahkan masih ditengah kontroversi carut marut pelayanan BPJS, berbagai pendapat tentang keharaman sistem aqadnya, masyarakat kembali diminta untuk membayar premi 2x lipat dari jumlah yang sebelumnya sebagaimana yang dinyatakan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani (cnnindonesia).
Dari fakta diatas bisa kita lihat bagaimana hak dasar masyarakat yaitu kesehatan yang seharusnya menjadi kewajiban Negara untuk membiayainya dialihkan bebankan kepada masyarakat baik melalui pembiayaan pribadi langsung ke rumah sakit ataupun dari pembayaran iuran premi JKN. Sebagaimana yang diungkap Asih dan Miroslaw, dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN: “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” [Buletin Kaffah no. 073, Layanan Kesehatan: Hak Rakyat, Kewajiban Negara ,6 Jumadil Awwal 1440 H – 11 Januari 2019 M] (Asih Eka Putri dan Miroslow Manicki. “Pembangunan Sistem Jaminan Kesehatan Sosial: Bagaimana Jaminan Kesehatan Sosial Dapat Membuat Perubahan?” German Technical Cooporation, Social Health Insurance Project Indonesia). Jakarta. (Makalah)(sjsn.menkokesra)]
Maka agar persoalan masalah jaminan kesehatan ini dapat diselesaikan tanpa menimbulkan masalah yang baru, dan pasti tuntas maka harus dikembalikan atau disandarkan kepada Islam. Kenapa harus Islam yang dijadikan sebagai sandaran, karena Islam adalah aturan yang dibuat oleh Pencipta Alam semesta ini, yang maha mengetahui apa apa yang terbaik bagi manusia.
Mari kita melihat bagaimana Islam punya solusi jitu bagi persoalan ini yaitu melalui ikhtiar maksimal dari para penguasa yang mempunyai wewenang dan kekuatan lebih besar untuk mewujudkan lingkungan yang sehat dan penanganan penyakit yang lebih intensif dan berkualitas. Jadi tidak hanya sebatas doa dan ikhtiar daripada individu saja . Dan hal tersebut telah diterapkan selama ribuan tahun dalam Peradaban Islam. Karena pada hakikatnya seorang pemimpin akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah. Sehingga tidak bisa tidak, agar kepemimpinan nya bisa amanah harus mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW sebagaimana sabda Rasullullah SAW :
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari).
“Sebagai Kepala Negara, Nabi Muhammad saw. pun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat”(HR Muslim).
Selain itu juga dalam khasanah pemikiran Islam bahwa penyediaan rumah sakit dan layanan kesehatan menjadi salah satu pos pos pengeluaran yang telah ditentukan oleh hukum syara, yang wajib diupayakan oleh seorang penguasa. Seperti yang dijelaskan oleh KH.Hafidz Abdurrahman (Kebijakan Khilafah dalam Urusan Pajak, Tabloid Media Umat Edisi 164) bahwa “Biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya, jika semuanya ini merupakan sarana dan prasarana utama. Sebab, jika tidak ada, maka akan menyebabkan terjadinya dharar kepada kaum Muslim.”
Demikian juga telah menjadi fakta sejarah bahwa peradaban Islam yang menerapkan sistem Islam secara Kaffah, telah mampu mewujudkan pelayanan kesehatan yang maksimal sebagaimana dikutip dari penjelasan Al Hassani, Salim, dkk, (2012) 1001 Penemuan dan Fakta Mempesona Peradaban Muslim, PT Gramedia Jakarta, hal 4 yang menyatakan “Seribu tahun lalu di dunia Muslim, perawatan kesehatan itu gratis untuk semua orang dan mencakup penanganan yang di anggap canggih pada zamannya, bahkan terapi musik. Karena Umat Islam diwajibkan Qur’an untuk memelihara orang yang sakit, maka rumah sakit pada masa itu mengobati semua orang tanpa pandang agama, kaya atau miskin, laki laki dan perempuan. Rumah Sakit Al-Nuri di Damaskus, Suriah bahkan memiliki pengawas yang memastikan agar perawatan yang diberikan memenuhi standar tertinggi. "
Fakta cemerlang diatas bukanlah untuk sekedar bernostalgia melainkan menunjukkan bahwa kondisi tersebut itu bisa terwujud hanya dikarenakan sistem kehidupan yang dipakai pada saat itu, yaitu Sistem Islam dalam Institusi Khilafah, bukan sistem demokrasi. Namun sebagai seorang hamba Allah, bukanlah fakta yang membuat kita terdorong untuk mewujudkan kembali sistem Islam ini, melainkan konsekuensi keimanan kita, dan bahwa hanya sistem Islam saja yang bisa mewujudkan Rahmatan lil ‘alamin termasuk dalam masalah pemeliharaan kesehatan, sebagaimana Firman Allah SWT :
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
”Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad ﷺ) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 107)
Maka, dengan sistem pelayanan kesehatan carut marut yang semakin mencekik dan menindas dalam sistem Demokrasi yang sumbernya dari akal manusia yang lemah ini, bahkan membawa kerugian dunia bagi umat juga akhirat dengan keberadaan aqad riba didalamnya, tidakkah kita ingin move on kepada Sistem Khilafah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW? Jika masih ragu dan belum tau, ayo kita sama sama kita cari tau dan sebarkan agar semakin mulia diri kita dihadapan Allah SWT.
Wallahu”alam bi sawwab.
Tags
Opini