Oleh. Ir. Izzah Istiqamah (Praktisi Pendidikan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Juru bicara internasional Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo mengatakan pihaknya akan menyerukan aksi mogok nasional di seluruh wilayah yang diklaim sebagai West Papua untuk mendesak referendum atau penentuan nasib Papua lewat pemungutan suara rakyat.
Puluhan mahasiswa Papua kembali mengibarkan Bendera Bintang Kejora saat berunjuk rasa menuntut referendum di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (28/8). Sebelum bergerak ke Istana, mereka berdemonstrasi terlebih dahulu di depan Markas Besar TNI Angkatan Darat. Sembari mengibarkan bendera Bintang Kejora, demonstrasi yang dipimpin Ambrosius, menuntut pemerintah Indonesia mempersilahkan Papua melakukan referendum.
KNPB sendiri dituding oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso alias Bang Yos sebagai salah satu pihak yang diduga kuat di balik kerusuhan Papua dan Papua Barat.
Pertama, menurut Sutiyoso, dari faktor internal ada KNPB, sebuah organisasi yang berkampanye untuk kemerdekaan Negara Papua Barat.
Pertama, menurut Sutiyoso, dari faktor internal ada KNPB, sebuah organisasi yang berkampanye untuk kemerdekaan Negara Papua Barat.
Kedua, dari faktor eksternal. Sutiyoso menuding Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Sutiyoso mengatakan, Benny Wenda, yang merupakan juru bicara ULMWP yang kini berada di Inggris, bergerilya mencari dukungan ke sejumlah negara PBB dan negara pasifik.
Sutiyoso mengatakan, Benny Wenda, yang merupakan juru bicara ULMWP yang kini berada di Inggris, bergerilya mencari dukungan ke sejumlah negara PBB dan negara pasifik.
Perpindahan Ibu kota ke Kalimantan berkaitan erat dengan penguasaan atas tanah, bumi, air, birokrasi, sumberdaya alam, aparatur, semua bergeser serta juga pindah berada dibawah kendali ibu kota baru ‘made in China’.
Melihat skenario ini, Amerika langsung memainkan skenario tandingan rusuh Papua untuk memecah konsentrasi, menjegal, rencana perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Atau juga akan memutilasi Papua dari Indonesia dengan ancaman Papua merdeka, dan menjadi milik Amerika sebagai basis dan pintu masuk hegemoninya di kawasan Asia-Pasific. Karena pasti Amerika tidak akan rela ‘ladang’ suburnya selama ini akan diambil alih China. Karena sumber kekayaan alam Papua yang melimpah, serta letak grografis Papua yang tepat berada ditengah kawasan yang menghubungkan Amerika dengan Asia-Pasific-Australia.
Pihak Istana tentu sangat paham dan hati-hati dalam menghadapi manuver propaganda rusuh Papua yang begitu massive dan terencana.
Makanya jangan heran, aparat khususnya Polri, serta Istana seperti gagap menghadapi situasi ini. Bayangkan hanya dalam hitungan menit dan jam, rusuh anarkisme Papua begitu cepat meluas, massive bahkan sampai ke depan Istana dan Mabes TNI AD, mengibarkan bendera bintang kejora menuntut merdeka secara terbuka. Padahal kalau kita lihat antara perbandingan kekuatan TNI-Polri dengan perusuh Papua tidak ada apa-apanya.
Namun yang terjadi sebaliknya. Korban nyawa dan pembakaranpun sudah merebak terjadi di Papua. Sorong, Manokrawi, Fak Fak, Wamena, Jayapura semua membara serentak bergerak menuntut merdeka. Anehnya lagi. Sudah jelas rusuh ini begitu radikal, anarkis, dan tuntutannya merdeka, Menkopolhukam Wiranto yang dulu juga menjabat Panglima ABRI ketika rusuh mei 1998, meminta aparat persuasif tanpa senjata. Apa yang terjadi kemudian, aparat tak bersenjata menghadapi perusuh pakai senjata ya habis dibantai dengan parang, panah dan tombak.
Jadi aneh juga kalau penanganan rusuh Papua rezim saat ini bagai putri malu alias macan jadi kucing. Sangat berbeda ketika menghadapi aksi 212 dan rusuh 21-23 mei pada Pilpres yang lalu. Negara kelihatan begitu ganas, perkasa, malah semena-mena terhadap umat Islam yang datang membawa sajadah dan kopiah.
Ketimpangan dan perbedaan ini terjadi, karena negara pasti sudah tahu siapa aktor dan pemain dibelakang rusuh Papua.
Artinya, rusuh papua tidak lebih bentuk perlawanan Amerika melalui proxy dan aliansinya di Papua terhadap manuver China yang mau pindahkan ibu kota ke Kalimantan.
Cuma yang kita sayangkan adalah sikap pemerintah hari ini yang tidak jelas alias pengecut.
Seharusnya, Indonesia pandai memainkan prinsip politik luar negeri negara kita yaitu “ Bebas dan aktif “. Sehingga tidak perlu terkungkung dibawah ketiak satu negara secara total.
Seharusnya, Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini untuk menjadi peluang bargainning yang paling menguntungkan dari tarik menarik dua raksasa dunia ini. Bukan malah terjepit tak berdaya seperti sekarang ini.
Ketika sudah berbicara kedaulatan. Apapun itu masalahnya, pemerintah harus berani dan tegas bersikap dan menyatakan bahwa aksi dan rusuh Papua itu adalah tindakan makar dan saparatisme. Dimana sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus memperlihatkan wibawanya sebagai sebuah bangsa yang besar dan terhormat. Caranya ; Stop komando operasi dari tangan Polri, dan serahkan penanganan rusuh Papua kepada TNI.
Karena saparatisme adalah termasuk dalam dimensi pertahanan, maka ini sudah menjadi Tupoksinya TNI. Jangan paksakan lagi Polri dengan topeng bahasa klise KKSB (Kelompok Kriminal Bersenjata) untuk mengatasi hal ini. Polri itu ranahnya penegakan hukum, mengejar bandit (perampok) bukan melawan saparatisme bersenjata yang ingin merdeka dan buat negara.
Kalau sudah berbicara kedaulatan. Abaikan HAM yang menjadi standar ganda negara adi kuasa.
Copot Panglima TNI, Kapolri, KaBIN, Menkopolhukam serta aparat terkait lainnya yang gagal meredam dan mengatasi rusuh Papua sampai meluas ke depan Istana. Insiden memalukan ini bisa terjadi berarti fungsi inteligent, TNI-Polri tidak berfungsi sama sekali. Atau ada yang sengaja memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan tertentu ?
Perlu penyegaran aparatur dan pucuk pimpinan TNI-Polri agar clear dari segala bentuk ‘titipan’ dan infiltrasi kepentingan luar.
Indonesia harus kembali kepada jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Kenapa hal ini tidak dilakukan ?
Sejarah telah mencatat, negara-negara yang dulu tergabung dalam satu kawasan Daulah Islam pecah menjadi “Nation State” atau negara kesatuan yang dibatasi oleh garis teritorial buatan manusia. Kemudian mulailah dari masing – masing “nation state” tersebut mengikuti langkah turki untuk mengadopsi system kapitalis ala barat yang dibungkus dengan kemasan demokrasi. Untuk selanjutnya dari system kapitalis – demokrasi inilah melahirkan akidah sekularisme yang pada garis besarnya memisahkan antara aktivitas kehidupan dengan agama. Agama hanya mengatur dalam peribadahan mahdlah saja, sedangkan urusan lainnya agama harus dipisahkan, termasuk dalam urusan bernegara.
Karena serangan massive dari barat dan keengganan belajar islam secara kaffah, kondisi kaum muslimin mengalami kemerosotan berpikir yang luar biasa, sehingga kaum muslimin, mulai dari system pemerintahannya sendiri, umat islam sudah tidak “Pe-De” dengan aturan yang diturunkan oleh Allah Sang pembuat Sistem.
Mereka justru lebih “narsis” dengan aturan yang dibawa barat kepada umat islam dengan kapitalis – demokrasinya. Akibatnya, filterisasi terhadap budaya asing yang dilakukan oleh negara pun minim sekali. Malah negara terkesan memberi kebebasan kepada para “penjajah” untuk sekali lagi menghancurkan akidah umat islam. karena minimnya filterisasi yang dilakukan oleh negara inilah kebudayaan – kebudayaan asing tumpah ruah di negeri – negeri mayoritas muslim, terutama di Indonesia yang terkenal sangat ramah kepada budaya asing, salah satunya Papua.
Dari sinilah penjajahan terhadap pemikiran itu lebih ditekankan lagi, karena merasa dapat wewenang dari penguasa, para kapitalis yang dimotori oleh orang – orang kafir ini terus – menerus meneror pemikiran umat islam. Para kapitalis tak segan – segan memfasilitasi negara untuk menjerumuskan umatnya sendiri. Mendirikan tempat – tempat maksiat, membuat acara – acara di TV yang penuh dengan kesia – siaan, hingga mengatur urusan perekonomian rakyat dengan menguasai sektor – sektor industry.
Negara kini dikuasai oleh kekuatan asing yang dimulai "karena ketidakpercayaan diri umat islam" terhadap system islam itu sendiri. Mereka menganggap bahwa hukum islam sudah tidak relevan lagi bila masih dijalankan saat ini, system tradisional yang didalamnya terdapat diskriminasi ekstrim bagi pelaku pelanggaran hukum, yang dinilai tidak sesuai dengan HAM. Dalih – dalih semacam inilah biasanya dilontarkan kelompok manusia yang sudah terdoktrin pemikirannya oleh barat. Namun kenyataannya system yang diambil dari barat pun tidaklah jua membuat negeri – negeri yang menerapkannya menjadi makmur.
Tak cukup sampai disitu, demi melanggengkan kekuasaanya terhadap negeri – negeri muslim, barat pun “melemparkan” issue terrorisme di tengah – tengah umat islam. Menyadari bahwa Islam adalah ancaman serius bagi ideology yang disebarluaskannya, maka setiap ada suatu kelompok yang menyuarakan tentang syariat islam, barat langsung memvonis kelompok tersebut sebagai komplotan “terroris”. Tujuan mereka agar masyarakat awam menjadi takut kepada Syariat islam, sehingga mau tidak mau mereka akan tetap bercokol dibawah bayang – bayang kapitalisme yang menyengsarakan. Akhirnya mereka menyerang negeri – negeri yang berpotensi dapat menerapkan syariat Islam. Dengan alasan memerangi terrorisme, barat menghantamkan roket – roketnya ke pemukiman penduduk sipil di Afghanistan, Chechnya, Pakistan, Iraq, dll.
Lewat propaganda – propaganda semacam itulah barat yang diwakili Amerika dan sekutunya akan berusaha tetap eksis di negeri – negeri berpenduduk mayoritas islam. Umat islam kini terjajah, negeri mereka direbut dan dipaksakan menganut system kafir, pemuda – pemudi nya diracuni oleh acara ataupun tontonan – tontonan jahiliyah, kekayaannya dicuri, hingga nyawa umat ini pun dibunuh seperti tidak ada harganya. Tujuannya adalah ingin menguasai dunia dengan satu system ideology yang diusung barat, yakni KAPITALISME.
KEPENTINGAN BARAT memang amat kentara pada kisruh Papua. Motifnya tentu tak lepas dari eksistensi kelompok kepentingan tertentu dan penjarahan SDA dengan cara melepaskan bumi cendrawasih dari NKRI via referendum
Negara tak punya power untuk menjaga Papua yg menjadi tanggungjawabnya, sebab kedaulatannya telah digadaikan kepada asing.
Sebuah negara harusnya menjadi junnah dan pemelihara urusan rakyat, bukan ‘pion’ kekuasaan bangsa lain
Islam Solusi Tuntas Papua
Islam datang untuk membebaskan dan memanusiakan semua umat manusia, termasuk orang Papua. Mereka tidak berpendidikan, reaktif dll, karena memang pembangunan SDM tidak berjalan. Pemerintah sekarang memang tidak fair karena bukan memerintah berdasarkan Islam.
Pentingnya kita harus mencerdaskan umat.
Perlawanan kaum muslimin terhadap hegemoni barat harus terus dilakukan, dakwah secara jamaah adalah salah satu cara untuk meredam kekuatan barat.
Dan yang terpenting, umat islam harus dikembalikan pemikirannya
dengan mencerdaskannya, sehingga faham islam kaffah, islam yang menyeluruh, islam yang secara sempurna mampu mensejahterakan umat seluruh dunia, yang mampu menjaganya untuk bersatu dibawah panji Islam, di bawah bendera tauhid. Dengan satu pemimpin dan satu Negara kesatuan yaitu KHILAFAH ISLAMIYAH. Karena hanya dengan Islamlah negara menjadi sejahtera, akidah pemudanya ikut terjaga, system perekonomian pun tertata dan yang pasti hegemoni barat pun akan dapat dicampakkan dengan kemuliaan ISLAM.
Sejarah keemasan islam telah mengukir prestasi, bagaimana sistem khilafah pernah berjaya selama 1400 tahunan dalam satu negara yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Khalifah berkewajiban menjaga keutuhan wilayah negara kaum muslimin di seluruh dunia, negara wajib mensejahterakan seluruh wilayahnya juga mendidiknya, termasuk Papua sebagai bagian wilayah dari Indonesia.
Islam telah mengajarkan
kesatuan dan persatuan ditengah-tengah kaum muslimin, karena menjaga kesatuan dan persatuan kaum muslimin hukumnya wajib.
Allah SWT berfirman ;