Ketika Hukum Tidak Memberikan Efek Jera dan Sarat Kepentingan




Oleh: Nunung Purwaningsih,  S.E

Semakin banyaknya pejabat yang tertangkap KPK merupakan bukti lemahnya hukum. Ketika korupsi sudah menjadi tradisi maka yang terjadi adalah kerusakan dan kehancuran.  Karena pelaku tindak pidana korupsi adalah orang memiliki sifat menyimpang dan tidak dapat dipercaya atau bisa disebut dengan pendusta. Selain sifat juga karena ada peluang untuk melakukan korupsi. Sebelum lebih lanjut,  apa sebenarnya pengertian dari korupsi?  
Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal  menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. (Wikipedia).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan ada 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa (24/9/2019) lalu. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, 26 poin tersebut dianggap berpotensi melemahkan KPk lantaran mengurangi sejumlah kewenangan yang dahulu dimiliki KPK berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.(Kompas.com) 

Hukuman denda dan bui yang selama ini mendera para tersangka  korupsi, dinilai tak membuat jera. Praktek korupsi tetap marak. Masyarakat dianggap tak mampu memberikan sanksi sosial bagi koruptor. Bahkan eks nara pidana korupsi masih mendapat peluang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu atau bahkan bisa menjadi anggota dewan. Itulah hukum buatan manusia yang bersifat lemah dan terbatas. 
Islam memberikan solusi terhadap berbagai problematika kehidupan. Salah satunya yaitu terkait dengan hukuman bagi pelaku tindak kejahatan korupsi. Sistem sanksi dalam Islam merupakan sanksi yang dijatuhkan di dunia bagi pelaku kejahatan akan mengakibatkan gugurnya siksa di akhirat. Itulah alasannya mengapa sanksi-sanksi dalam Islam berfungsi sebagai pencegah (Zawajir) dan penebus (Jawabir).

Penerapan aturan haramnya korupsi dan sanksi yang keras. Sistem Islam juga menetapkan aturan haramnya korupsi/suap/kecurangan. Hukuman yang keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Sistem sanksi dalam  membuat jera pelaku korupsi/suap/kecurangan dan mencegah yang lain berbuat. Contoh pada masa Khalifah Umar bin Khatab. Berdasarkan laporan bahwa ada kecurangan, Khalifah Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubenur Bahrain), Amru bin Ash (Gubenur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubenur Mesan), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubenur Makkah), dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan. Khalifah Umar juga pernah menyita kekayaan Abu Sufyan dan membagi dua, setelah Abu Sufyan berkunjung ke anaknya Muawiyah-saat itu menjadi gubernur Syam. Wallahu a'lam bi shawab. 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak