Oleh : Nur Arofah
Provinsi Riau beberapa hari terakhir terkepung kabut asap, mengakibatkan jarak pandang di Ibu kota Pekanbaru hanya mencapai 300 meter.
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan ( Karhutla) yang semakin pekat mulai berdampak buruk pada aktivitas di bandara internasional Sultan Syarif Kasim II di kota Pekanbaru, Riau. BERITAGAR. Jum'at (13/9/2019).
Beberapa maskapai penerbangan menunda jadwal penerbangan bahkan ada yang membatalkannya untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.
Dalam hal kesehatan warga amat buruk. Hampir semua mengalami gangguan ISPA, batuk hingga berujung kematian.
Namun, presiden tidak melakukan tindakan yang membawa perubahan signifikan dalam bencana ini. Bahkan Menhumkam, Wiranto, sempat mengeluarkan pernyataan yang amat menyakitkan rakyat, sesaat setelah kunjungannya ke Kepulauan Riau menyatakan,
"Ketika saya melihat dengan presiden, antara realitas dengan yang dikabarkan, dengan yang ada itu sangat berbeda. Ternyata kemarin waktu kita di Riau tidak separah yang diberitakan". Kata Wiranto, di konpers kantornya Jak-Pus. Rabu (18/9/2019).REPUBLIKA.CO.ID
Dimana hati nuranimu wahai penguasa. Sudah banyak korban akibat kepungan asap di Riau. Korban dari berbagai usia berjatuhan kau anggap tidak parah.
Dari sekian korban ada bayi putra pasangan Lasmayani Zega dan Evan Zendrato, baru berusia 4 hari harus kehilangan nyawanya karena tidak bisa menghirup udara bersih.
Evan zendrato berkisah, anaknya lahir dalam keadaan normal dan sehat pada senin (16/9/2019).
"Anak dan isteri saya normal waktu lahiran kemarin. Keduanya dinyatakan sehat oleh bidan", ujarnya. Bayinya lahir dengan berat 2,8 kg dan panjang 49 centimeter.
Saat di rumah, anaknya mulai batuk dan demam mencapai 40 derajat celcius pada selasa malam (17/9). Karena bayinya terus menangis, Evan menyatakan tak bisa tidur dan asap semakin pekat.
Sempat demamnya menurun setelah diberi obat penurun panas.
Namun tak lama suhunya kembali naik 41 derajat celcius disertai batuk pilek. Setelah diperiksa bidan meminta dirujuk ke RS Syafira, berjarak 40 kilometer. Dalam perjalanan itulah korban bayi meninggal dunia. Sumber kutipan; REPUBLIKA.CO.ID (21/9/2019).
Masih banyak pula korban-korban berjatuhan di Kalimantan, Sumatera dan yang terparah di Kepualauan Riau.
Akibat selimut asap, mereka tidak bisa merasakan kebebasan aktivitas yang membutuhkan interaksi di luar rumah. Sekolah ditutup, ibu-ibu hamil terganggu kesehatannya.
Padahal Islam telah mengatur semua aspek kehidupan tanpa terkecuali termasuk lingkungan, hal apapun diperhatikan dalam Islam .
Ada tiga hal yang merupakan milik umum; Api, air dan padang gembalaan.
Hutan dan lahan merupakan milik umum yang harus dikuasai negara dan untuk kemakmuran rakyat. Hutan dan lahan tidak boleh diserahkan ke swasta apalagi asing dan aseng.
Ketika pengelolaan hutan dan lahan dikuasai penuh oleh negara, akan mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian Hutan dan lahan tersebut.
Negara punya kewajiban mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk kelestarian dan manfaat Hutan dan lahan untuk generasi selanjutnya.
Ketika sistem kapitalisme demokrasi masih dianut negara, problem Karhutla dan asap yang selalu membawa korban tidak kunjung selesai.
Maka dari itu, menerapkan Islam kaffah dalam bingkai negara amatlah penting dan wajib hingga problematika umat akan terselesaikan. Para pelaku pembakar hutan dan lahan akan ditindak tegas. Karena telah membahayakan kesehatan masyarakat, kerusakan lingkungan hingga kematian.
Hanya dengan Islamlah solusi tuntas problematika kehidupan karena "Islam rahmattan Lil'alamiin"
Dalam pengurusan apapun Allah mengaturnya.
"....Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah. Maka mereka itu adalah orang orang yang fasik".(TQS Al Maidah : 47)
Wallahu A'lam bishowab
Jagakarsa 24 september 2019
Tags
Opini