Kekerasan Pada Anak dan Perempuan Terus Berulang




Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)

Sejak tahun 2017 lalu, kasus kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Blitrar mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dicontohkan, untuk tahun 2017 kasus kekerasan perempuan dan anak jauh dibawah 100 kasus. Namun tahun 2018 lalu, meningkat menjadi 102 kasus kekerasan perempuan dan anak. Tahun 2019 jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak diprediksi kembali meningkat karena mulai Januari sampai Juli sudah ada 50 kasus yang ditangani. (Mayangkaranews.com, 24/8/2019).

“Kasus kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Blitar setiap tahun mengalami trend peningkatan, karena kesadaran melapor dari korban yang meningkat. Berdasarkan data untuk kasus kekerasan perempuan dan anak didominasi kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Kasus Pelecehan Seksual yang mayoritas dilakukan orang terdekat,” jelas Wahid Rosyidi Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Blitar.

Wahid menambahkan saat ini pihaknya melibatkan Desa untuk penanganan kasus kekerasan perempuan dan anak agar kesadaran masyarakat untuk melapor semakin tinggi. 

Demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia telah mengantarkan umat untuk bebas berekspresi. Umat digiring untuk bebas dalam mengekspresikan dirinya; bebas membuka aurat, pacaran, aborsi, lesbi, homo, prostitusi, perzinaan, dll. Parahnya, pelaku dan korban banyak dari kalangan generasi muda. Jika generasi yang didamba sebagai pelanjut estafet kepemimpinan sudah dirusak oleh pergaulan bebas dan kekerasan anak secara berulang, tentu generasi negeri ini akan bermasa depan suram.
Semakin banyaknya perempuan dan anak-anak yang menjadi korban membuat klaim demokrasi sebagai sistem yang mengusung prinsip egaliter patut diragukan. Di mana-mana demokrasi gagal memberikan jaminan kesetaraan dan perlindungan kepada kelompok masyarakat lemah, termasuk kaum wanita dan anak-anak, termasuk di AS yang disebut kampiun demokrasi.

Jika kita amati saat ini banyak sekali orang tua yang abai terhadap pengasuhan bahkan pendidikan anak-anak mereka. Demi tuntutan hidup atau lebih banyak cenderung pada gaya hidup, mereka lebih memilih untuk bekerja dan menitipkan anak-anaknya kepada orang lain untuk diasuh
Tak bisa dipungkiri bahwa maraknya kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak-anak dan perempuan adalah dampak dari liberalisme nilai-nilai sosial. Pornografi yang semakin deras ke tengah masyarakat telah mendorong bagi banyak orang melakukan kejahatan seksual. Kaum perempuan sekarang tidak lagi merasakan keamanan, bahkan di tempat umum dan keramaian sekalipun. Beberapa kali pelecehan seksual terjadi di tengah keramaian seperti angkutan umum, pasar. Anak-anak juga semakin tak terlindungi, bahkan dari perbuatan kawan sebayanya sendiri! Beberapa kasus tindak pemerkosaan justru dilakukan oleh teman sepermainan dan masih duduk di bangku SD.
Salah satu faktor timbulnya kekerasan terhadap anak dan perempuan adalah maraknya situs-situs porno di internet. Pemerintah sendiri sudah berusaha memblokir situs-situs porno. Menurut pengakuan Tifatul Sembiring, Menkominfo di era SBY, kementeriannya sudah memblokir 1 juta situs porno. Usaha ini patut diapresiasi karena belum pernah dilakukan kementerian sebelumnya. Namun, Tifatul mengakui jumlah situs porno di dunia maya terlalu banyak. Ada 3 miliar, prakiraannya. Situs porno pun seperti tak kenal mati. Diblokir satu, tumbuh seribu. Situs-situs itu hanya berganti nama atau bermunculan lagi yang baru.
Sulitnya memberangus pornografi juga tak lepas dari pembelaan kaum liberalis terhadap konten pornografi. Dengan dalih kebebasan berekspresi, kebebasan perilaku dan kebebasan seni dan budaya, pornografi terus diproduksi. Film-film yang membawa konten pornografi terus dibuat dan ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia. Sikap publik terhadap pornografi dan pelakunya juga semakin permisif. Sejumlah selebritis yang terlibat skandal video porno tetap disambut oleh publik. Media massa khususnya televisi juga seperti tak mengacuhkan lagi cacat moral yang dilakukan oleh mereka. Padahal sejumlah kasus video mesum dan pelecehan seksual di kalangan remaja terjadi setelah mereka menonton video skandal tersebut.

Jika kita amati saat ini banyak sekali orang tua yang abai terhadap pengasuhan bahkan pendidikan anak-anak mereka. Demi tuntutan hidup atau lebih banyak cenderung pada gaya hidup, mereka lebih memilih untuk bekerja dan menitipkan anak-anaknya kepada orang lain untuk diasuh. Mereka kurang sekali meluangkan waktu untuk memperhatikan pertumbuhan sang buah hati. Kalaupun bisa menemani itupun sambil menonton televisi, dengan acara yang juga tidak seharusnya diikuti oleh anak-anak. Orang tua terkadang tak segan memarahi bahkan membentak ketika anak melakukan kesalahan. Sehingga menjadi trauma tersendiri bagi memori kecil mereka. Tidak sedikit dari anak-anak ini  yang tidak mengerti tata krama dalam bersosialisasi, berani membantah ketika dinasehati. Bahkan dari mulut kecil mereka tidak jarang terlontar kata-kata yang tidak pantas.
Sungguh suatu yang ironi namun banyak kita jumpai di masa sekarang ini. Seyogyanya pada usia tersebut anak seharusnya lebih banyak mendapat pendidikan yang tidak membebani pikiran mereka, dimana mereka juga bisa melakukannya sambil bermain-main. Dipahamkan tentang Akidah, dikenalkan dengan Penciptanya melalui ciptaan-ciptaanNya. Didekatkan langsung terhadap fakta agar dia menyerap dengan inderanya sekaligus memberikan informasi terdahulu tentang fakta. Mengajari tentang adab dalam keseharian, memberikan contoh langsung sehingga mereka akan lebih mudah melaksanakan. Kadang ada orang tua yang dengan santainya menyuruh anaknya melakukan kebaikan, tapi justru mereka tidak mendapat contoh nyata dari orang tua.

Anak-anak adalah generasi penerus peradaban, mereka akan menjadi pemimpin bagi bangsa ini kelak. Jika kita tidak memaksakan diri untuk meluangkan waktu bersama mereka sekarang, lalu kapan lagi? Jangan sampai kita menyesal dengan pilihan yang kita prioritaskan untuk kesenangan dunia, namun akhirnya membawa kesengsaraan untuk selamanya. Sudah seharusnya kita kembali pada pola pengajaran sesuai Islam, yang sudah nyata  melahirkan generasi-generasi dengan karya sepanjang zaman seperti Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu Sina dll. Semua bisa terjadi ketika sistem islam diterapkan, dan itu tidak akan terwujud jika kita hanya berpangku tangan.

Untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak, dengan hanya menerapkan hukum saat ini dalam sistem ini tidaklah cukup. Hal ini karena jelas bahwa undang-undang telah gagal untuk memecahkan masalah ini. Penerapan sistem Islam secara komprehensif diperlukan untuk benar-benar mencegah terjadinya masalah ini. Penerapan sistem Islam akan meminimalkan faktor terkecil sekalipun yang dapat memicu terjadinya kejahatan seksual dan juga perilaku seksual menyimpang lainnya. Hal ini akan tercapai lewat pelarangan langsung pornografi dan tindakan lain yang memberikan kontribusi masyarakat kepada tindakan seksual atau mendorong terjadinya hubungan di luar pernikahan. Hal ini bersama-samaakan menciptakan suasana taqwa dan nilai-nilai luhur dalam masyarakat.
Namun, jika ada orang-orang masih melakukannya, maka sistem hukum Islam (uqubat) akan menjadi benteng yang dapat melindungi masyarakat. Ini dilakukana melalui penerapan hukuman yang berat, dan keras terhadap pelakunya untuk memastikan bahwa pelaku itu tidak mengulangi perbuatannya dan agar orang lain juga tidak mengikuti jejak mereka.

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak