Oleh : Puput Yulia Kartika, S.Tr.Rad
(Koordinator Smart Muslimah Community)
Provinsi Riau kini tengah menjadi sorotan akibat tebalnya kabut asap yang dialami dalam beberapa hari belakangan ini. Kabut asap yang diakibatkan dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kian hari kian pekat dan mengakibatkan beberapa dampak buruk yang dirasakan.
Fakta menunjukkan bahwa kualitas udara di provinsi Riau dinyatakan sampai pada level titik yang berbahaya. Bahkan tak pelak, banyak warga menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang diakibatkan dari karhutla tersebut. Bahkan beberapa anggota petugas pemadaman api juga ikut mengalami penurunan kesehatan. (www.mongabay.com, 12/09/2019)
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di provinsi Riau sejatinya bukanlah pertama kalinya. Peristiwa ini selalu berulang dan terjadi setiap tahunnya. Data menunjukkan bahwa mulai dari tahun 2015 sampai November 2018 terjadi kebakaran hutan. Dan di tahun 2019 ini pun kembali terjadi. Menurut data per 1 Januari - 9 September 2019 menunjukkan, kebakaran hutan dan lahan di Riau luasnya mencapai total 6.464 hektar. (Kompas.com, 13/09/2019)
Sungguh ironis, bagaimana bisa hal ini terjadi kembali. Seolah-olah kebakaran hutan ialah sebuah "kejadian tahunan" yang tak bisa tertangani. Lantas apa sebenarnya yang menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan terus terjadi dan terulang kembali?
Bila kita perhatikan, proses kebakaran hutan dan lahan di provinsi Riau bukanlah hanya sebuah fenomena alam yang terjadi. Melainkan ada pula akibat 'ulah-ulah tangan manusia' yang berusaha merusak hutan dan lahan demi meraup kepentingan pada kantong-kantong pribadi dan perusahaan pada segelintir orang.
Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam siaran pers BNPB, bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi menunjukkan adanya adanya praktik 'land clearing' dengan cara mudah dan murah memanfaatkan musim kemarau. Bahkan hingga 16 September 2019, polisi sudah menetapkan 185 tersangka perseorangan dalam kasus karhutla. Dan 4 korporasi menjadi tersangka terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar dan Kalteng. (Tirto.id, 17/09/2019)
Banyaknya para tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan ini seolah-olah menunjukkan bahwa tidak adanya rasa takut akan jeratan hukum yang diakibatkan oleh ulah ini. Hal ini menggambarkan bahwa sejatinya lemahnya tindak hukum yang dilaksanakan di negeri ini, sehingga memberikan peluang bagi para tangan-tangan jahat yang ingin merusak alam demi meraup pundi-pundi rupiah dengan cara yang licik. Sehingga mereka tak berpikir akibat dari perbuatan yang mereka lakukan.
Selain itu, tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menangani solusi kebakaran hutan dan lahan menjadi PR besar tersendiri. Pemerintah yang seharusnya menjadi periayaah (mengurusi) urusan umat, seharusnya menjadi garda terdepan dalam menangani kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dan mencari solusi agar peristiwa kebakaran hutan dan lahan ini tidak menjadi sebuah bencana tahunan yang terus berulang kembali.
Hal ini berbeda didalam sistem pemerintahan Islam, dimana islam memandang bahwa hutan termasuk dalam kategori kepemilikan umum. Sebagaimana didalam haditsnya Rasulullah Saw bersabda :
"Kaum muslim berserikat dalam tiga hal : air, padang rumput, dan api. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hadits tersebut menyatakan bahwa benda-benda yang menguasai hajat hidup orang banyak maka kepemilikan atas benda tersebut bersifat umum, seperti barang tambang dan termasuk didalamnya hutan.
Kepemilikan umum ini, hanya negara yang boleh mengelola dan mengatur pemanfaatannya. Tidak boleh dimiliki individu maupun perusahaan baik swasta maupun asing dan aseng. Dan hasil dari pengelolaan kepemilikan umum ini dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas umum seperti pembangunan jalan raya, jembatan, pembangunan dan pembiayaan sekolah dan rumah sakit.
Dengan kepemilikan seperti ini, yang pasti dapat mencegah dari tindakan-tindakan jahat yang justru merugikan rakyat, sebab negara lah yang memiliki wewenang total dalam mengelola hutan ini.
Terlebih ketika ada khalifah sebagai pemimpin atau wakil umat, maka ia akan betul-betul mengurusi rakyat dengan baik dan benar. Serta akan menindak tegas setiap pelaku yang berusaha merusak atau menghancurkan hutan demi meraih keuntungan pribadi atau perusaahan. Sehingga dengan seperti ini kebakaran hutan akibat ulah manusia pasti tidak akan terjadi.
Dan terwujudnya sistem kepemilikan dalam Islam ini, hanya akan terwujud ketika negara ini menerapkan aturan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyyah 'ala minhajin nubuwwah.
Wallahu'alam bii ashshawab