(Oleh : Ummu Hanif – Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) rutin menyapa sejumlah wilayah.Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, dalam kurun waktu 18 tahun terakhir, wilayah Sumatera, dan Kalimantan selalu terbakar setiap tahun.” (www.detiknews.com, 2/9/2019).
Sementara itu, masih dalam sumber yang sama, Pemprov Riau sudah menetapkan status siaga darurat karhutla sejak 19 Februari hingga 31 Oktober 2019. Syamsuar mengatakan kebakaran kini banyak terjadi di Pelalawan, Indragiri Hilir (Inhil), dan Indragiri Hulu (Inhu). Akibat kabut asap ini, jumlah penderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) sejak Januari mencapai 7.269 orang. Ia mengatakan pihaknya sudah mengantisipasi dampak asap dengan membagikan 16 ribu masker medis kepada masyarakat di Pekanbaru dan sekitarnya.
Setiap orang pasti tahu bahwa penyebab kabut asap ini adalah karena karhutla. Penyebab karhutla di Indonsesia sendiri sudah banyak dikaji oleh para peneliti berbagai belahan dunia. Semua berkesimpulan bahwa ulah manusialah penyebab utamanya. Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran.
Karhutla yang berulang tiap tahun setidaknya menunjukkan bahwa selama ini penindakan terhadap para pelaku masih begitu lemah. Seolah tak pernah ada upaya untuk mengambil pelajaran. Padahal dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, seharusnya karhutla sudah bisa dicegah semaksimal mungkin oleh semua pihak, terutama oleh penguasa selaku pemberi izin pengelolahan hutan di Indonesia.
Namun, yang terjadi justru masih banyak ditemukan kebijakan/aturan tak memadai dan tak konsisten dijalankan sehingga tak bisa mencegah dan mengakhiri kebakaran lahan dan hutan. Misalnya hukuman bagi pelaku atau perusahaan yang terlibat dinilai masih terlalu ringan.
Pengulangan dan panjangnya durasi tahunan karhutla merupakan bukti tak terbantahkan adanya kelalaian fungsi dan tanggung jawabnya dalam mengelola lahan hutan. Karena selama ini tata kelola hutan di Indonesia cenderung bernuansa liberal. Hutan yang seharusnya harta bersama seluruh rakyat diberikan kepada pengusaha sebagai hak guna usaha (HGU). Sehingga tidak heran jika dari tahun ke tahun selalu ada korporasi, berbagai perusahaan yang disebut sebagai bagian dari penanggung jawab kebakaran hutan di Indonesia. Pada aspek inilah semua pihak utamanya penguasa diminta bertanggung jawab menghilangkan bencana dan petaka pada masyarakat. Penguasa dituntut untuk berani melakukan koreksi mendasar terhadap kebijakan pengelolaan hutan selama ini.
Sebab, sejatinya hutan sebagai harta kekayaan bersama seluruh rakyat keberadaannya sangat penting untuk mencegah musibah. Hutan yang ada di Indonesia mayoritas berupa hutan gambut dengan luasan sekitar 21-22 juta hektar (1,6 kali luas pulau Jawa) yang tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Papua. Hutan gambut didominasi oleh lahan gambut.Secara hidrologis lahan gambut berperan sebagai cadangan air dengan kapasitas yang sangat besar bagi suatu wilayah bahkan dunia. Sehingga pada musim hujan tidak terjadi banjir dan pada musim kemarau tidak terjadi kekeringan. Peran hidrologis ini erat kaitannya dengan karakter tanah gambut yang bagaikan spons dengan kubah-kubahnya berkedalaman hingga puluhan meter. Karakter tanah gambut juga merupakan cikal bakal batu bara muda, bila kering akan sangat mudah terbakar dan bila sudah terbakar sulit dipadamkan, mengharuskan pemanfaatan lahan dan hutan gambut harus selaras dengan karakter aslinya, yaitu agar gambut selalu basah, demikian pendapat sejumlah pakar gambut dan lingkungan, seperti Prof Azwar Ma’as, pakar Gambut dari Universitas Gadjah Mada.
Sudah saatnya kita melirik aturan pemilik hutan hakiki (Allah) dalam mengelola nikmatnya tersebut. Dan tentunya aturan itu hanya tertuang dalam ajaran Islam, yang sifatnya universal, bisa dipraktekkan dan diberlakukan untuk seluruh alam, seluruh manusia. Secara hukum, dalam Islam hutan ditetapkan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, swasta dan perusahaannya tidak lagi bebas membuka lahan sembarangan, sehingga akar masalah karhutla bisa dihilangkan bahkan dicegah sepenuhnya sejak awal.Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh pemerintah untuk kemaslahatan rakyat dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian-keuntungan ekonomi-dan kesejahteraan rakyat secara seimbang. Dalam hal ini pemerintah juga perlu untuk mendidik dan membangun kesadaran masyarakat guna berpartisipasi mewujudkan kelestarian hutan, agar manfaatnya dapat terus dirasakan oleh generasi berikutnya.
Wallahu a’lam bi ash showab