By : Junaidah
(Member Penulis Ideologis)
Jangan lupakan sejarah (jasmerah). Demikian semboyan yang diucapkan Soekarno, Presiden RI pertama dalam pidatonya yang terakhir pada hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966. Ya, semboyan itu sangat tepat. Kita tak boleh melupakan sejarah, sejarah bangsa Indonesia dan umat Islam yang demikian heroik yang ramai diperingati dalam satu bulan ini, yaitu proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan Tahun Baru Hijriah. Berbagai acara digelar sejak dari tabliqh akbar sampai pawai.
Kedua peristiwa tersebut sangat layak diperingati oleh umat Islam Indonesia karena keduanya mengandung pelajaran yang sangat beharga. Proklamasi 17 Agustus adalah momentum lepasnya Bangsa Indonesia dari kafir penjajah dan berdirinya Negara Republik Indonesia. Sedangkan hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah adalah tonggak awal berdirinya daulah Islam di Madinah yang menandai bebasnya umat Islam dari tekanan dan penyiksaan orang-orang kafir Qurais.
Sejak 17 Agustus 1945 sampai saat ini, sudah 74 tahun Indonesia menyatakan diri merdeka dari penjajahan. Namun, sudahkah indonesia merdeka? Untuk menjawabnya marilah kita lihat dulu makna nya dalam kamus. Dalam KBBI(Kamus Besar Bahasa Indonesia) disebutkan bahwa merdeka berarti bebas dari penghambaan atau penjajahan, tidak tergantung dan terikat pada pihak tertentu. Dalam bahasa Arab, kemerdekaan disebut al-istiqlal yang artinya bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain. Dalam konteks yang lebih luas merdeka berarti situasi batin yang lepas dari segala rasa yang menghimpit, menekan dan membuat jiwa menderita. Dan terbukanya kehendak, harapan, dan semua potensi kemanusiaan seperti akal, budi dan jiwa manusia.
Sudah bebaskah bangsa kita? Tidak tergantung lagikah pada pihak tertentu? Tidak tertekan? Mari kita berkaca diri dan lihat dengan jujur kondisi kita di cermin fakta dan kenyataan yang dihadapi bangsa ini.
Negara merdeka tidak lagi diatur oleh pihak lain. Tetapi faktanya kita banyak didikte negara lain. Yah, lewat hutang-hutang yang mereka beri, kita telah berada dalam gengaman mereka. Hingga Mei 2019, BI mencatat hutang kita telah mencapai angka yang fantastis, Rp5.153 trilyun rupiah!
Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah lebih menguntungkan negara asing. Lihat saja kasus defisit keuangan yang menimpa BPJS saat ini. Pemerintah tidak bisa menyelesaikan sendiri, tapi malah minta bantuan ke Cina. Iurannya pun dinaikkan hingga hampir mencapai seratus pèrsen. Walhasil rakyatlah yang menanggung sendiri semua jaminan kesehatannya. Padahal semua itu adalah kèwajiban negara. Ditambah lagi listrik yang selalu naik mencekik masyarakat, pajak di semua lini kehidupan. Jangan ditanya harga barang dan jasa, tidak ada lagi yang murah. Semua mahal. Masyarakat terhimpit dalam kemiskinan yang terstruktur.
Bagaimana dengan kebebasan berpendapat? Nampaknya pasal 28 UUD 45 hanya tinggal catatan tak bermakna. Berbagai persekusi dialami oleh ulama dan kelompok yang tak sejalan dengan pemerintah. Bahkan mahasiswa cerdas yang kritis langsung kena DO oleh universitas tempat di mana dia menuntut ilmu. Begitu pula dosen yang tak sependapat, mendapat perlakuan tak adil. Di manakah kemerdekaan itu?
Bagaimana dengan kemerdekaan beragama? Ini yang sangat menyedihkan. UUD 45 pasal 29 menjaminnya. Namun prakteknya, umat Islam yang mayoritas ini justru terintimidasi saat ingin menjalankan ajaran agamanya. Atas nama toleransi umat disuruh merevisi ajaran agamanya, harus sesuai dengan pemikiran mereka, kaum liberal. Harus merangkul para homo dan lesbi. Harus menghornati para pezina atas nama hak asasi. Jika tidak, cap radikal, intoleransi, toreris, antikebhinekaan, anti-Pancasila, kadal gurun, kaum onta, dan sebutan lain disematkan. Persekusi-persekusi pun sah-sah saja dilakukan atas nama NKRI harga mati. Kriminalisasi ulama marak terjadi. Namun, ketika Papua teriak hendak merdeka dan angkat senjata, dianggap hal biasa dan dihadapi tanpa senjata. Namun, ketika anak bangsa yang lain berunjuk rasa menyampaikan aspirasi lewat acara zikir dan doa, dihadapi dengan kokangan senjata. Di manakah merdeka itu saat perlakuan tak sama atas seluruh warga?
Jangan lupakan sejarah! Para ulama dan umat Islam ini berdarah-darah mengusir penjajah. Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, K.H. Hasyim Azhari, dan masih banyak lagi bersama santrinya berada di garis depan mengobarkan semangat juang. Bung Tomo dengan teriakan takbir mengobarkan semangat rakyat Surabaya hingga mereka rela mengorbankan jiwa dan raga.
Jangan lupakan sejarah! Mari belajar dari sejarah. Jika Indonesia yang sudah 74 tahun ini mengaku merdeka namun masih terpasung dan terjajah, maka empat belas abad yang lalu Rosulullah berhasil melepaskan umat Islam dari tekanan dan penyiksaan kaum Quraisy hanya dalam waktu sepuluh tahun dakwah beliau. Beliau berhasil membawa umat Islam merdeka dan berdaulat dengan berdirinya daulah Islam di Madinah. Dan hanya tiga belas tahun di Madinah sempurnalah Islam yang kokoh dalam sebuah bentuk negara yang berdaulat, yang kemudian diteruskan oleh para khalifahnya.
Pada masa Khalifah Umar bin Khatab (634-644 M / 13-23 H) umat Islam sudah bisa berhadap-hadapan bahkan mampu mengalahkan bangsa Persia dan Romawi, imperium besar masa itu. Hal itu dapat dilakukan hanya dalam waktu 23 tahun sejak berdirinya negara Islam Madinah. Bahkan pada masa-masa selanjutnya kekuasaan daulah Islam sampai mencapai dua pertiga belahan dunia, hingga ke Andalusia, Spanyol. Saat bangsa-bangsa Eropa berada dalam keterpurukan, umat Islam menjadi mercusuar peradaban dunia, pusat kemajuan ilmu dan teknologi.
Jangan lupakan sejarah. Mari belajar dari sejarah yang demikian terang benderang. Mengapa hanya dalam waktu singkat Rosul bisa menjadikan umat Islam umat terhormat? Sementara kita kini sudah 74 tahun mengaku merdeka nyatanya masih terjajah dan sengsara. Kekayaan negeri kita dikeruk dan dikuasai bangsa asing. Tidak hanya satu negara bahkan banyak negara, Amerika, negara-negara Eropa, dan kini Cina.
Bagaimana cara Rosul memerdekakan dan mengangkat derajat kaum muslimin? Itulah yang harus kita pelajari dan contoh. Beliau adalah contoh teladan kita, tidak hanya dalam akhlak dan ibadah, tetapi juga dalam mendirikan negara. Beliaulah sebaik-baik negarawan dan panglima. Jauh sebelum hijrah ke Madinah beliau telah membina kaum muslimin dengan Islam. Membentuk jiwa-jiwa Islam yang militan, yang ikhlas berjuang dan bekorban menegakkan agamanya. Menyiapkan umat yang nanti akan mendukung beliau di Madinah mendirikan negara Islam. Lalu, setelah itu beliau hijrah ke Madinah, membentuk negara berdaulat. Di Madinahlah, setelah negara Islam berdiri, ajaran Islam dapat diterapkan dengan sempurna hingga mendatangkan kemakmuran dan keamanan yang tidak hanya dinikmati kaum muslimin tapi juga nonmuslim.
Jadi, momentum hijrah bukanlah pelarian beliau menghindari siksaan orang Quraisy tapi tonggak awal mendirikan negara yang sudah beliau rencanakan jauh-jauh hari. Negara yang mengemban dan menerapkan Islam. Dengan diemban oleh negara, ajaran Islam yang rahmatallilalamin dapat diwujudkan.
Marilah kita contoh dan teladani cara beliau mendirikan daulah Islam yaitu dengan dakwah Islam, membina umat agar menyadari kembali keluhuran agamanya sendiri. Marilah kita belajar dari sejarah.